Guru Mengajar Keliling ke Rumah Siswa, Kesulitan Mengajar Daring di Daerah Pedalaman
Untuk daerah-daerah terpencil, bukan saja siswa tidak memiliki ponsel dan kuota, tapi jaringan internet pun tidak ada.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Proses belajar mengajar secara daring menimbulkan sejumlah persoalan, baik bagi siswa dan orangtua maupun tenaga pengajar.
Untuk daerah-daerah terpencil, bukan saja siswa tidak memiliki ponsel dan kuota, tapi jaringan internet pun tidak ada.
Hal ini seperti terjadi di Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus.
Guru di SDN 4 Datarajan, Ulu Belu, terpaksa harus berkeliling setiap hari mendatangi rumah-rumah para siswanya untuk memberikan pelajaran secara tatap muka.
• Kisah Siswa di Bandar Lampung Demi Ikut Belajar Daring, Jualan Mi Tek-tek hingga Pempek
• Bupati Tanggamus Dewi Handajani: Kadisdag Mairosa Meninggal saat Bertugas
• Dua Napi di Lampung Tengah Terima Remisi Bebas
• Jaksa Fedrik Adhar Meninggal Akibat Covid-19
Candra, guru SDN 4 Datarajan menceritakan, pola belajar luar jaringan atau luring itu terpaksa dipakai pihak sekolahnya karena berbagai alasan.
Seperti, sulitnya jaringan internet, siswa tidak memiliki ponsel pintar hingga kesulitan orangtua memenuhi kuota internet.
Dengan belajar luring, para siswa akan kumpul berkelompok 5-10 orang di salah satu rumah dan guru akan datang ke sana untuk mengajar.
Setelah selesai di satu kelompok, guru akan kembali keliling ke kelompok lainnya. Hal tersebut dilakukan setiap hari.
"Cukup merepotkan sebenarnya, karena dulu langsung datang ke sekolah, sekarang harus cari-cari dulu rumah siswa. Jadi dari segi perjalanan lebih tidak pasti," terang Candra, Senin (17/8/2020).
Candra meneruskan, proses belajar juga cukup menyita waktu.
Sebab, satu materi harus diberikan secara bergiliran ke kelompok-kelompok siswa.
"Jadi materinya lebih lama terselesaikan. Misal, hari ini materi A, Senin ke kelompok 1, besoknya ke kelompok 2, seterusnya sampai semua kelompok menerima materi baru kemudian bisa pindah ke materi B," ujarnya.
Saat proses mengajar itu, para guru juga harus membawa alat peraga seperti papan tulis berukuran kecil.
Jika lupa maka harus kembali ke sekolah dulu.
Di sisi lain, para siswa terkadang belum siap belajar saat didatangi.
Ada yang belum mandi, tidak bawa buku, dan lainnya.
Selama proses belajar keliling ini, kata Candra, catur wulan lalu dirinya menggunakan dana pribadi.
Belajar di Sekolah
Bukan cuma di Ulu Belu, anak-anak di Pulau Rimau, Lampung Selatan, juga terpaksa sekolah di luar jaringan atau luring.
Ini karena para siswa tidak memiliki ponsel pintar, begitu juga orangtua mereka.
Ditambah lagi, jaringan internet tidak mendukung di daerah tersebut.
Guru SDN 5 Sumur di Pulau Rimau, Sudarso, mengatakan, pihak sekolah melakukan sekolah tatap muka 3 kali dalam sepekan dengan waktu terbatas sejak Juli lalu.
“Kita tetap melakukan tatap muka di sekolah, tetap tidak full setiap hari. Hanya 3 kali dalam sepekan. Itu pun hanya 3 sampai 4 jam,” ujar Darso.
Pertemuan di sekolah ini, lanjutnya, hanya untuk memberikan buku tugas bagi anak didik.
Serta membahas tugas yang sebelumnya diberikan kepada siswa untuk dikerjakan di rumah. Protokol kesehatan dan jaga jarak diterapkan.
“Kalau di Kalianda dan Sidomulyo atau daerah lainnya, mungkin bisa daring. Tapi kalau di pulau tidak bisa. Kita tidak bisa memaksakan untuk daring,” katanya.
Mengajar berkeliling ke rumah-rumah siswa juga dilakukan guru di Pesisir Barat.
Namun tidak full setiap hari. Proses belajar masih digabung dengan daring.
"Jadi siswa yang tidak memiliki hape atau kuota, belajar barengan dengan temannya yang memiliki ponsel. Namun untuk siswa yang rumahnya jauh tapi memiliki hape android bisa belajar sendiri di rumahnya. Setiap hari saya pantau lewat telepon atau video call. Tapi satu bulan sekali saya datangi ke rumah siswa untuk memantau capaian belajar siswa," jelas guru di SMPN 9 Krui, Pesisir Barat, Agris Savitri.
Kerja Upahan
Proses belajar daring juga menimbulkan persoalan bagi para orangtua siswa.
Mereka terpaksa harus memutar otak mencari uang guna membelikan sang anak ponsel android.
Orangtua siswa di SMPN 5 Krui, Sahroni, menuturkan, dirinya harus rela bekerja upahan untuk bisa membelikan anaknya android.
"Anak saya yang sekolah SMP ada dua, satu baru masuk, satunya kelas 2. Semuanya butuh android untuk belajar," cerita Sahroni.
Dirinya hanya bisa memberikan 1 handphone untuk digunakan bersama secara bergantian.
Itu dilakukan agar anak bisa mengikuti perkembangan pembelajaran dengan tuntutannya harus daring.
Diakuinya, sebagian besar masyarakat di tempat tinggalnya berpenghasilan dari pertanian.
"Saya juga petani dan hasil pertanian lagi nggak ada nilainya saat ini," keluhnya.
Dia berharap ada dukungan pemerintah terkait proses pembelajaran anak ini.
Terlebih jaringan internet juga tidak stabil.
Belum akses jalan masih sulit untuk keluar ke ibu kota kabupaten.
Kepala Sekolah SMP N 5 Krui Tasman membeberkan, akses kendaraan baru bisa dilalui roda dua itupun yang sudah dimodifikasi sehingga bisa menyusuri pinggiran pesisir pantai dan melewati muara sungai untuk sampai di desanya.
Terkait pembelajaran daring, menurutnya kesulitan ada pada jaringan selularnya yang kerap hilang timbul.
"Kalau nggak pakai antena nggak ada sinyal. Kalaupun ada sinyal dari operator lainnya, kendalanya orangtuanya sulit belikan kuota dan sinyal juga hilang timbul," ungkapnya.(Tribunlampung.co.id/tri/ded/lis)