Liputan Eksklusif Tribun
Bungker Jepang Bisa Jadi Objek Wisata Sejarah, DPRD Siap Dukung
Komisi V DPRD Lampung mendorong agar bungker dan goa peninggalan Jepang di Tanggamus dan Bandar Lampung bisa menjadi cagar budaya.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Komisi V DPRD Lampung mendorong agar bungker dan goa peninggalan Jepang di Tanggamus dan Bandar Lampung bisa menjadi cagar budaya.
Tak hanya itu, bungker dan goa Jepang juga bisa menjadi objek wisata sejarah.
Anggota Komisi V DPRD Lampung Apriliati menjelaskan, sepanjang bungker dan goa Jepang memenuhi kriteria sebagai cagar budaya, pihaknya mendukung upaya pengusulannya menjadi cagar budaya.
"Untuk menentukan suatu objek masuk sebagai cagar budaya, tentu ada kriteria-kriterianya. Sepanjang memenuhi kriteria dan ke depannya menguntungkan bagi suatu daerah, saya pikir bisa saja menjadi cagar budaya," ujarnya, Sabtu (22/8/2020).
• Bungker Jepang Jadi Tempat Sampah, Tiga Bungker di Tanggamus Terbengkalai
• Bungker di Bandar Lampung Ditutup Batu Coran, Ada 3 Bungker Peninggalan Jepang
Apriliati menilai bungker dan goa di Kabupaten Tanggamus maupun Kota Bandar Lampung bahkan berpotensi menjadi objek wisata sejarah.
Apalagi, Lampung memang termasuk daerah tujuan wisata.
"Tidak menutup kemungkinan bungker peninggalan Jepang menjadi objek wisata sejarah untuk turis domestik maupun mancanegara," kata ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD Lampung ini.
Terlebih jika terkait pendidikan dan kebudayaan, Apriliati menyebut bungker bisa menjadi bahan atau rujukan pembelajaran siswa dan mahasiswa sebagai situs bersejarah.
DPRD Lampung pun, menurut Apriliati, siap mendukung dalam bentuk usulan rancangan peraturan daerah jika memang mendesak.
"Kalaupun misalnya mesti dengan peraturan daerah, kami siap untuk mengacu ke arah sana," ujarnya.
Sementara arkeolog Lampung, Made Giri Gunadi, mengungkap bungker peninggalan Jepang tidak hanya ada di Tanggamus dan Bandar Lampung.
Menurutnya, di Lampung Barat dan Pesisir Barat juga terdapat bungker dan goa Jepang.
"Saya pernah turun melakukan penelitian bersama Balai Arkeologi Jawa Barat (Wilayah Kerja Jabar, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung). Penelitian (bungker dan goa) yang di Lampung Barat dan Pesisir Barat, sampai menyeberang ke Pulau Pisang," katanya.
Merujuk Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terang Made, setiap daerah berhak mengajukan usulan cagar budaya.
"Terkait layak tidaknya menjadi cagar budaya, tentu akan layak ketika memenuhi persyaratannya. Untuk penetapannya, ada jalurnya," ujar Made.
Tahapan itu mulai dari pendaftaran dari pemerintah daerah masing-masing.
Lalu penilaian dari tim ahli cagar budaya. Hasilnya berupa rekomendasi yang diajukan ke pemda untuk ditetapkan oleh pemda itu sendiri.
"Kalau tingkat provinsi, gubernur yang menetapkan. Dalam tahap penilaian, akan ada tim ahli cagar budaya yang meneliti. Baik arkeolog, antropolog, masyarakat adat, dan lainnya. Paling sedikit berjumlah lima orang," papar Ahli Madya Pamong Budaya Museum Lampung ini.
Penelusuran Tribun Lampung, terdapat tiga bungker peninggalan Jepang di Tanggamus.
Persisnya di Pekon Kagungan, Kecamatan Kota Agung Timur. Sayangnya, tiga bungker tersebut terbengkalai dan tidak terurus.
Sementara di Bandar Lampung, bungker Jepang tersebar di sejumlah tempat.
Di antaranya, di depan kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bandar Lampung, di sekitar SMA Negeri 2, serta di kawasan Sumur Putri, Kecamatan Telukbetung Utara.
Kemudian di Jalan Nusa Dua, belakang gereja Lungsir; di Jalan Ikan Kiter, Telukbetung Selatan; di Jalan Teluk Bone, Telukbetung Barat; di Srengsem, Panjang; dan di sekitar SMPN 25.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, cagar budaya berarti warisan budaya yang bersifat kebendaan.
Berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
Perlu upaya pelestarian terhadap cagar budaya melalui proses penetapan. Pelestarian tersbeut penting, karena cagar budaya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. (tribunlampung.co.id/lis)