Berita Nasional
Alasan Menolak UU Cipta Kerja dan Ancaman Mogok Nasional Mulai Hari Ini
Alih-alih jaminan kesejahteraan, masyarakat ditimpa beban pengesahan UU Cipta Kerja.
Para akademisi ini menolak UU Cipta Kerja karena menabrak banyak aturan, bahkan nilai-nilai Pancasila.
"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.
Dalam pandangan para akademisi ini, setidaknya ada lima permasalahan mendasar dalam UU Cipta Kerja.
Pertama, masalah sentralisasi yang dianggap menyerupai kondisi Orde Baru.
Sebab, terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan Presiden.
Kedua, UU Cipta Kerja anti-lingkungan hidup di mana terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis risiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.
Ketiga, persoalan liberalisasi pertanian. Dalam aturan tersebut, tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik.
Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM).
Pada pasal-pasal tertentu hanya mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hingga hak warga.
Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU.
Sebab, konsep Omnibus Law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai prosedur.
Terlebih, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hingga Senin (5/10/2020), pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda tangan penolakan.
Akademisi terebut antara lain, Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Muhammad Fauzan dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Abdil Mughis Mudhoffir, Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, hingga Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.