Tanggamus

Kenaikan Harga Pupuk, Petani di Tanggamus Menjerit: Seharusnya Ada Solusi Jitu

Para petani di Gisting, Tanggamus mengeluhkan kenaikan harga pupuk. Harga pupuk tak sebanding dengan hasil panen.

Editor: Dedi Sutomo
Dokumentasi
Ilustrasi - Petani di Gisting, Tanggamus mengeluhkan kenaikan harga pupuk bersubsidi dan non subsidi saat ini. 

Tribunlampung.co.id, Tanggamus – Para petani di Gisting, Tanggamus mengeluhkan kenaikan harga pupuk.

Pasalnya, kenaikan harga pupuk saat ini tak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan.

Akibatnya, para petani kondisnya kian terjepit

Seperti diungkapkan oleh Nur, seorang petani di Gisting, Tanggamus.

Dirinya mengatakan, harga pupuk baik subsidi maupun nonsubsidi, kini mengalami kenaikan hingga mencapai 20 persen.

Baca juga: Sempat Terjatuh dari Motor, Pelaku Begal di Lampung Tengah Tinggalkan Motor Curian

Baca juga: Pemkab Lampung Selatan akan Kenakan Denda Rp 50 Juta bagi Pemasang Spanduk Liar di Pohon dan Tiang

"Phonska yang tadinya Rp 140.000, sekarang Rp 170.000 per karung," ungkap Nur, Kamis (26/5/2022).

"Pupuk organik juga naik, tadinya Rp 45.000, jadi Rp 60.000 per karung," sambungnya.

Selain pupuk, obat-obatan pertanian juga mengalami kenaikan mencapai 10 persen dari harga sebelumnya.

Tak hanya itu, harga suku cadang alat produksi pertanian pun turut naik.

"Contohnya, mulsa per gulung tadinya Rp 530.000, sekarang Rp 600.000," ungkap Nur.

"Per gulung itu sekitar 300 meter panjangnya," imbuh dia.

Imbasnya, keuntungan yang diperoleh Nur beserta petani lainnya dari hasil tani mengalami penurunan.

Walaupun harga komoditas yang dijual juga ikut naik, para petani hanya mendapatkan laba yang sangat tipis biaya produksi yang makin tinggi.

Baca juga: Residivis Kasus Penganiayaan di Bandar Lampung Jadi Korban Penusukan Orang Tak Dikenal

Baca juga: Pelaku Pencurian Motor di Bandar Lampung Beraksi di Tempat Bimbel, Satu Unit Motor Honda BeAT Raib

Semestinya, jika kebutuhan produksi pertanian menjadi mahal, harga komoditas pertanian juga bisa digenjot agar tak ada pihak yang merasa dirugikan.

"Di petani, cabai rawit sekarang harganya berkisar Rp 35.000 - Rp 40.000 per kilogram, cabai merah keriting dihargai Rp 25.000 - Rp 30.000 per kilogram, dan tomat harganya Rp 4.000 - Rp 5.000 per kilogram," urai Nur.

Ia berharap, naiknya harga kebutuhan produksi pertanian tidak sampai membebani para petani.

"Naik gak papa, asal jangan berlebihan," ujarnya.

Senada, Agus Mualim petani cabai rawit di Pekon Gisting Atas juga mengharapkan pemerintah bisa memberikan solusi yang jitu guna menangani persoalan yang berulang kali terjadi.

"Ini kan bukan persoalan baru, seharusnya ada solusi jitunya," ujar Agus.

Sekalipun harga komoditi hasil tani ikut naik seperti naiknya kebutuhan produksi pertanian, hal itu tidaklah signifikan.

"Ini menjadi kondisi persoalan yang dilematis bagi petani. Jika tanah tidak diolah, sudah pasti tak ada sumber ekonomi," terang Agus.

"Jika diolah, harga pupuk mahal, komoditi murah," tutupnya.

Para petani pun mengaku, janji pemerintah yang ingin memperhatikan nasib para petani seola hanya menjadi pelipur lara sesaat.

Pada kenyataannya, petani kerap terabaikan nasibnya. Dan selalu menjadi pihak yang dirugikan.

Penyelewengan Pupuk Bersubsidi di Pringsewu

Kejaksaan Negeri Pringsewu mengungkap adanya dugaan tindak penyelewengan pupuk subsidi.

Kini kasus penyelewengan pupuk subsidi itu sudah masuk ke tahap penyidikan.

Kepala Seksi Intelijen Kejari Pringsewu Median Suwardi mengatakan, dugaan tersebut didapat dari hasil operasi intelijen terkait pupuk.

"Dugaan adanya praktik mafia pupuk di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu tahun anggaran 2021," ujar Median Suwardi, mewakili Kepala Kejaksaan Negeri Pringsewu Ade Indrawan, Selasa (24/5/2022). 

Ia mengaku, selama ini Kejari Pringsewu telah menyelidiki distribusi pupuk subsidi.

Untuk mendukung operasi itu sudah diterbitkan surat perintah operasi intelijen nomor sp-ops- 01 /l.8.20/dek.1/01/2022 tanggal 24 Januari 2022. 

Selanjutnya putusan itu diperpanjang dengan surat perintah operasi intelijen nomor: sp-ops-01.a/l.8.20/dek.1/03/2022 tanggal 10 Maret 2022.

Dalam proses penyelidikan, dimintai keterangan dari 35 pihak terkait.

Serta mengumpulkan beberapa peraturan terkait penyaluran dan pendistribusian pupuk bersubsidi yang menjadi acuan. 

Aturan itu harus dipedomani oleh para pihak dari tingkat kelompok tani sampai produsen pupuk bersubsidi.

Kemudian dilanjut dengan pengumpulan informasi alur distribusi pupuk subsidi di Pringsewu tahun anggaran 2021.

"Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh tim operasi intelijen terdapat beberapa indikasi yang menyebabkan penyaluran dan pendistribusian pupuk bersubsidi tidak tersalurkan sebagimana mestinya," jelas Suwardi.

Ia menambahkan, ada beberapa indikasi yang menyebabkan penyaluran dan pendistribusian pupuk bersubsidi tidak tersalurkan. 

Mulai dari sistem distribusi yang mestinya dalam penyaluran dan pendistribusian pupuk bersubsidi, pihak yang berhak menerima pupuk bersubsidi adalah para petani yang tergabung dalam kelompok tani. 

Kelompok tani memberikan data diri anggotanya sesuai KTP, bagi yang memiliki luas lahan yang tidak lebih dari 2 hektare. 

Selain itu, anggota kelompok tani tersebut terdaftar dalam E-RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok secara elektronik) yang telah dikeluarkan Kementerian Pertanian. 

Lalu, adanya petani yang tidak terdaftar namanya dalam RDKK namun dapat melakukan penebusan pupuk bersubsidi telah melanggar ketentuan pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.

Lalu pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.

"Dengan tidak maksimalnya verifikasi dan validasi serta pengawasan terhadap data kelompok tani dan juga teknis penyaluran pupuk bersubsidi ke kelompok tani menyebabkan manipulasi RDKK," terang Suwardi. 

Ia menambahkan, dampaknya terjadi manipulasi data dalam RDKK.

Dan itu telah melanggar ketentuan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 67/Permentan/Sm.050/12/2016 Tentang Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).

"Harga penebusan pupuk bersubsidi yang ditebus anggota kelompok tani, yakni untuk Urea Rp 125.000, lalu pupuk NPK sebesar Rp 150.000. Padahal sesuai HET, Urea sebesar Rp 112.500 dan NPK Rp 115.000," terang Suwandi. 

Ia mengaku, dengan fakta tersebut maka telah melanggar ketentuan pasal 12 ayat 2 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 Tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Dengan demikian, ada dugaan mafia di wilayah hukum Pringsewu.

Sebab ditemukan berbagai indikasi perbuatan melawan hukum.

Sehingga menyebabkan tidak optimalnya distribusi pupuk subsidi di Kabupaten Pringsewu yang berpotensi merugikan keuangan negara. Maka penanganan masalah tersebut ditingkatkan ke tindak pidana khusus. 

Suwardi menjelaskan, dari hasil operasi oleh tim intelijen, ditemukan pelanggaran dalam penyaluran dan pendistribusian pupuk bersubsidi kepada kelompok tani. 

Hal itu sudah mengakibatkan proses penyaluran serta pendistribusian pupuk bersubsidi kepada para kelompok tani menjadi tidak tepat sasaran. 

"Sehingga menimbulkan adanya kelangkaan pupuk bersubsidi yang terjadi di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu," jelas Suwardi.

(Tribunlampung.co.id/Nanda Yustizar Ramdani/Tri Yulianto)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved