Lampung Selatan
Melongok Kampung Khilafatul Muslimin di Lampung Selatan, Tak Boleh Merokok dan Wajib Pakai Jilbab
Kampung Khilafah ini berdiri di atas lahan seluas tiga hektare di Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Kecamatan Jati Agung.
Tribunlampung.co.id, Lampung Selatan - Kampung Khilafatul Muslimin di Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, kini menjadi sorotan.
Ini setelah Pemimpin Khilafatul Muslimin Abdul Qodir Baraja ditangkap polisi pada Selasa (7/6) di Bandar Lampung.
Kampung Khilafah ini berdiri di atas lahan seluas tiga hektare di Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Kecamatan Jati Agung.
Kampung itu terlihat seperti komplek perumahan pada umumnya dengan terdapat puluhan rumah dan fasilitas umum seperti air bersih, tempat pendidikan Alquran dan masjid.
Salah satu pengurus jamaah Khilafatul Muslimin yang menjabat Amir wilayah Natar, Zuliadi (45) mengatakan, Kampung Khilafah berdiri sejak 2004 lalu.
Baca juga: Penghapusan Tenaga Honorer, Pemkab Lampung Selatan Buat Program Satpol PP Petani Milenial
Baca juga: Kesbangpol Lampung Selatan Tidak Mengakui Keberadaan Kelompok Khilafatul Muslimin
Dinamakan kampung Khilafah lantaran penduduknya yang merupakan jamaah Khilafatul Muslimin.
"Dari tahun 2004, kurang lebih 2 hektare tanah kavlingan dihibahkan untuk Khilafatul Muslimin. Kalau untuk saya sekarang ini beli kavlingan dan sistemnya berunding sama pemilik tanah, cash boleh dicicil boleh semampunya," katanya, Kamis (9/6).
"Yang 1 hektare itu diwakafkan, perencanaan untuk dibuat klinik. Jadilah komplek ini, kami menyebutnya kampung khilafah karena memang disini warga jamaah isinya," ujarnya.
Zuliadi menjelaskan, terdapat kurang lebih 40 keluarga yang menempati kampung tersebut.
Aktivitas warganya rata-rata pedagang, dan buruh.
Ada juga karyawan dan sopir ekspedisi.
"Biasanya kalau pagi sepi di sini. Kalau habis zuhur terutama yang dagang sudah pada pulang," jelasnya.
Zuliadi mengatakan kegiatan sosial yang dilakukan jamaah Khilafatul Muslimin yang menempati kampung itu juga sama seperti komplek-komplek pada umumnya.
"Secara interaksi kita seperti masyarakat lain. Kalau ada yang meninggal atau ada kerjaan apa misalnya gotong royong. Asal ada informasi dan bisa hadir pasti kita hadir. Artinya, secara umum kalau dibilang eksklusif ya enggak," tuturnya.
Zuliadi menambahkan, terdapat aturan khusus bagi masyarakat luar yang datang atau berkunjung ke Kampung Khilafah itu tersebut.
"Kita ikut aturan yang ada di negara ini. Kita punya aturan yang agak khusus. Paling ya ibu-ibu yang masuk ke sini harus pakai jilbab. Kemudian yang nggak nutup aurat, suruh nutup aurat. Kalau yang merokok nggak boleh merokok. Selebihnya, sama seperti kampung-kampung yang lain," ujarnya.
"Jadi, kami tegaskan disini bahwa sebutan kampung khilafah ini hanya sebutan sebuah komunitas. Dimana, yang tinggal di kampung khilafah ini adalah warga Jamaah Khilafatul Muslimin. Kami open tidak eksklusif. Mau datang mau melihat mau ada hubungan bisnis atau segala macam kami sangat senang. Kami tidak menutup diri," kata dia.
Ada Pesantren
Selain memiliki Kampung Khilafah, kelompok Khilafatul Muslimin juga ternyata memiliki pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin Margodadi yang berada di Desa Margo Lestari Kecamatan Jati Agung.
Berdasarkan data yang dihimpun, pondok pesantren itu masih beraktivitas secara normal paska ditangkapnya ketua umum Khilafatul Muslimin Abdul Qodir Hasan Baroja
Bahkan kegiatan keagamaan dan belajar mengajar pun masih berjalan normal di pondok pesantren. Pesantren tersebut terbagi menjadi 2 bagian.
Pertama tempat para santri setingkat SMP dan SMA. Pada bagian sebelahnya pendidikan setingkat perkuliahan.
Salah seorang pengajar yang juga penanggungjawab pendidikan di PPUI, Imron mengatakan, pesantren itu berbasis akselerasi Kekhalifahan dengan pendidikan setara SD selama 3 tahun, setara SMP 2 tahun setara SMA 2 tahun dan setara Universitas 2 tahun.
"Kita kan pesantren tradisional, waktunya kita singkat aja. Umumnya SD itu 6 tahun, kita yang setingkat SD itu 3 tahun. Kemudian setelahnya 2 tahun. Yang di depan itu setingkat kuliah. Sering disebutnya kampus PPUI," ujar Imron, Kamis (9/6/2022).
"Jadi mereka lulus itu saat mereka akil baligh sudah mimpi basah gitu. Nah itu mereka sudah lulus enggak sekolah lagi, tapi belajarnya tetap. Namanya kehidupan ini kan kita belajar semua ya," lanjutnya.
Imron menyebut, pembelajaran yang dilaksanakan sama seperti pesantren pada umumnya.
"Namanya Kegiatan Ibadah Belajar Mengajar (KIBM). Jadi yang mengajar itu ibadah yang belajar juga ibadah. Bahasa Indonesia ada,bBahasa Inggris ada, matematika ada, cuman kita sebut Ilmu Hisab," katanya.
"Cuman 3 itu yang umum, selebihnya pelajaran agama Islam. Kalau di kampus itu pelajaran seperti ilmu-ilmu kehidupan. Ada keahlian seperti bengkel itu. Tahun lalu ada pelajaran elektronik," jelasnya.
Imron menuturkan, kegiatan para santri di pondok pesantren juga sama seperti pondok pesantren lainnya. Seperti, salat, baca Alquran, makan bersama.
"Ketika sore kemudian mereka bersih-bersih, nyapu-nyapu. Salad magrib. Kemudian makan malam seperti biasa sebelum Isya. Setelah isya, belajar malam kemudian tidur," ujarnya.
Salah seorang warga desa Sumber Jaya yang enggan disebutkan namanya mengatakan, tidak ada penduduk setempat yang mengikuti PPUI Khilafatul Muslimin itu.
Ia mengatakan santri yang berada di pondok tersebut mayoritas berasal dari luar daerah Lampung Selatan.
"Kalau dari warga sini malah enggak ada. Kemarin itu ada yang dari Jawa Timur Surabaya. Kebanyakan orang luar Lampung Selatan," katanya.
Tak Ada Izin
Terkait kelompok Khilafatul Muslimin Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lampung Selatan Puji Sukanto mengatakan, mereka tidak memiliki izin dan tidak pernah melaporkan keberadaannya ke Pemkab Lampung Selatan.
Sehingga, Puji menegaskan pihaknya pun tidak mengakui adanya keberadaan kelompok tersebut.
"Kompok tersebut tidak pernah melaporkan keberadaannya dan tidak terdaftar serta memiliki izin. Sehingga Pemerintah Daerah tidak mengakui keberadaan ormas tersebut," kata Puji, Kamis.
Meski tidak terdaftar, kata Puji, pihaknya bersama TNI/Polri dan pihak terkait lainnya pernah berkoordinasi dan melakukan sosialisasi ke kelompok tersebut.
Kepala Desa Karang Sari, Romsi mengatakan, upaya pemasangan bendera Republik Indonesia pernah dilakukan pihaknya bersama kepolisian saat perayaan peringatan HUT Kemerdekaan namun kelompok Khilafatul Muslimin yang berada di Kampung Khilafah tersebut menolak.
Romsi mengatakan, kelompok tersebut juga tidak mau mengurus atau membuat dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) apabila tidak ada keperluan.
"Identitas kependudukan itu mereka mau mengurus ketika membutuhkan. Contohnya waktu itu mau pembuatan surat tanah karena tanah mereka terkena pembebasan lahan tol namun ada persyaratan yang harus dipenuhi," katanya.
Romsi mengungkapkan meski tidak mau mengibarkan bendera Merah Putih dan membuat KTP, tidak ada pergerakan atau kegiatan yang mencurigakan serta merugikan masyarakat dilakukan oleh kelompok tersebut.
Hal tak jauh berbeda diungkapkan Kepala Desa Margodadi Noven Fahri.
Ia menjelaskan, Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin yang berada di Desa Margodadi tidak pernah mengibarkan bendera Merah Putih.
"Betul mereka tidak pernah pasang bendera dan sekitar kami itu tidak ada yang sekolah di situ," katanya.
(Tribunlampung.co.id/dominius desmantri barus)