Memilih Damai

Pemilih Kini Tak Peduli Calon di Pilpres 2024 Asalnya Suku Jawa atau Bukan

Ray Rangkuti menegaskan Pilpres 2024 pemilih sudah tidak peduli lagi dengan dikotomi calon yang berasal dari Suku Jawa atau Nonjawa.

KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Ray Rangkuti mengatakan, berdasarkan Survei Kedai Kopi 2021 lalu, dinyatakan sebesar 67 persen, sudah tidak peduli terhadap asal suku calon. 

Tribunlampung.co.id - Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima Indonesia) Ray Rangkuti menegaskan Pilpres 2024 pemilih sudah tidak peduli lagi dengan dikotomi calon yang berasal dari Suku Jawa atau Nonjawa.

Ray Rangkuti mengatakan, berdasarkan Survei Kedai Kopi 2021 lalu, dinyatakan sebesar 67 persen, sudah tidak peduli terhadap asal suku calon.

"Berdasarkan Survei Kedai Kopi 2021 lalu, dinyatakan sebesar 67 persen, sudah tidak peduli terhadap asal sukunya kok. Kalau diurut belakang lagi, berdasarkan lembaga survei Parameter Politik Indonesia, yang milih agama dan suku itu kecil," ujar Ray di Universitas Al-Azhar, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/20222).

Ray menyebutkan, berdasarkan lembaga survei yang disebutkanya, bahwa nantinya pemilih akan memilih pemimpin jika memiliki kedekatan dengan masyarakat dan jelas program ke depannya. 

Pernyataan Ray diungkapkan dalam Talkshow Series Memilih Damai dengan tema "Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa digelar di Universitas Al-Azhar, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/2022).

Baca juga: Hasil Survei: Erick Thohir Cawapres Paling Potensial dari Sipil Non Kepala Daerah

Baca juga: Erick Thohir Banjir Dukungan dari Pendukung Ganjar Pranowo untuk Maju Pilpres 2024

Berdasarkan fakta yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa sejak merdeka, tujuh presiden Indonesia selalu beririsan dengan suku Jawa.

Hal tersebut, membentuk stigma masyarakat bahwa tokoh yang akan menjadi presiden Indonesia harus yang berasal dari suku Jawa.

Sebagai informasi, pembawa acara dibawakan oleh Paramitha Soemantri dan Pemimpin Redaksi Warta Kota Domu Ambarita sebagai Moderator. 

Selanjutnya, Narasumber yang hadir yaitu Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Dekan FISIP Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto, Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Heri Herdiawanto, Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu dan Meutia Hatta yaitu Putri dari  Muhammad Hatta.

Kemudian, salah satu narasumber yang hadir yaitu Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima Indonesia) Ray Rangkuti.

Dalam kesempatan itu, Ray Rangkuti mengatakan, bahwa nantinya dalam pemilu 2024, sudah tidak relevan bagi masyarakat. 

"Berdasarkan Survei Kedai Kopi 2021 lalu, dinyatakan sebesar 67 persen, sudah tidak peduli terhadap asal sukunya kok. Kalau diurut belakang lagi, berdasarkan lembaga survei Parameter Politik Indonesia, yang milih agama dan suku itu kecil," ujar Ray di Universitas Al-Azhar, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/20222).

Ray menyebutkan, berdasarkan lembaga survei yang disebutkanya, bahwa nantinya pemilih akan memilih pemimpin jika memiliki kedekatan dengan masyarakat dan jelas program ke depannya. 

Ray memberikan contoh saat ini, capres 2024 yang sedang digadang-gadang oleh Partai politik seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. 

"Waktu itu saya di Solo Jawa Tengah, bertanya kepada teman, Ganjar bisa menang suara 80-100 persen, alasannya karena kemana mana nyapa masyarakat, jadinya tinggi," ujar Ray. 

Kemudian, Anies Baswedan yang sudah lalukan safari politik di sejumlah daerah di Indonesia. 

"Anies sudah kemana mana, sudah melonjak persenmya ya dibanding Prabowo Subianto," ujar Ray. 

Selanjutnya, Prabowo Subianto yang belum lakukan safari poltliknya, membuat elektabilitasnya tidak naik. 

"Karena belum jalan jalan, tapi kalau Januari  2023 ia sudah safari politik, nantinya elektabilitas akan naik, karena kita liat dilapangannya," tutur Ray. 

Tanggapan peneliti Litbang Kompas

Pada kesempatan sama, Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu menegaskan bahwa pemilihan pemimpin di Indonesia bukan berdasarkan kedekatan identitas.

Kedekatan identitas yang dimaksud Yohan adalah agama, suku, atau hal-hal yang lainnya.

"Terkait dengan hasil survei kepemimpinan nasional, masih didominasi dengan nama-nama yang selama ini juga beredar di lembaga survei yang lain ya," ujar Yohan dalam pemaparannya.

Yohan menyebutkan nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan memang menjadi tiga nama yang menguasai 60 persen lebih total suara responden. 

Artinya di bawah tiga nama tersebut, memang banyak nama-nama yang bermunculan, tapi selisihnya cuku

"Bahkan survei Kompas menyebutkan kenapa milih Prabowo, Ganjar, atau Anies, itu tidak ada yang menjawab karena sama agamanya atau karena sama sukunya," ucap Yohan.

Ia mencontohkan, Ganjar dipilih karena merakyat. Prabowo dipilih karena tegas.

Lalu, Anies dipilih karena kinerjanya, dan mungkin karena asosiasi Gubernur DKI saat itu. 

Yohan menegaskan apabila dilihat dari trend kepemimpinan dari tahun ke tahun, memang tidak ada dimensi sosiologis yang begitu menguat.

Namun demikian, ia menyadari ke depan di masa mendatang, perilaku pemilih di Indonesia memang lebih banyak digerakkan oleh sentimen sosiologi. 

"Jadi kalau ditanya suka atau enggak sama pemimpin itu, ya suka saja. Kalau ditanya alasannya apa, kadang bingung juga," jelas Yohan.

Hal tersebut menandakan dimensi psikologi akan banyak bermain ketika pemilih menentukan pilihannya dengan program kerja.

Lama kelamaan, alasan-alasan psikologis itu akan makin kuat apabila calon-calon elit politik juga menyuguhkan alasan yang sifatnya rasional.

Yohan kembali menegaskan, tidak ada pertimbangan sosiologi dalam menentukan pilihan.

"Tapi memang masih ada beberapa, namun sedikit. Jadi kalau ditanya tanpa menyebutkan nama, apakah agama atau suku menjadi pertimbangan pemilih, pasti akan ada yang menjawab iya," pungkas Yohan.

Jadi memang Yohan menyadari identitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan.

Tapi ketika memilih, Yohan yakin seseorang akan menjadi obyektif.

Dalam artian pasti lebih mengedepankan dengan melihat program kerja yang dibawa oleh elit politik itu.

Sebagai informasi, talkshow tersebut digelar atas kerja sama antara Tribun Network dengan Universitas Al-Azhar Indonesia.

Beberapa narasumber yang hadir menjadi pembicara antara lain: Ahli Antropologi dan Politikus, Meutia Farida Hatta Swasono; Dekan FISIP Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto; Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Heri Herdiawanto; Founder Lingkar Madani, Ray Rangkuti; dan Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu.

Artikel ini telah tayang di wartakota

(Tribunlampung.co.id)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved