Sengketa Lahan di Lampung Timur

244 KK Terdampak Pencaplokan Lahan di Register 38 Gunung Balak Lampung Timur

Hal itu disampaikan dalam unjuk rasa ratusan petani penggarap lahan Register 38 Gunung Balak, Lampung Timur di kantor ATR/BPN Lampung, Kamis.

Penulis: Vincensius Soma Ferrer | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/V Soma Ferrer
Ratusan petani penggarap lahan hutan Register 38 Gunung Balak, Lampung Timur menggeruduk Kantor Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Lampung, Kamis (30/11/2023). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Sebanyak 244 kepala keluarga terdampak akibat dugaan pencaplokan lahan di Register 38 Gunung Balak, Lampung Timur.

Hal itu disampaikan dalam unjuk rasa ratusan petani penggarap lahan Register 38 Gunung Balak, Lampung Timur di kantor ATR/BPN Lampung, Kamis (30/11/2023).

Demonstrasi itu berkenaan dengan 401 hektare lahan petani penggarap di Desa Wana, Lampung Timur yang tiba-tiba diterbitkan sertifikat tanah atas nama orang lain.

Dalam demonstrasi, petani penggarap meminta agar ATR/BPN Lampung untuk mencabut kembali sertifikat tersebut.

Sebab, sedikitnya 244 KK terdampak atas terbitnya sertifikat itu.

"Lebih dari 244 KK yang menggarap lahan terdampak," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi, mendampingi petani penggarap.

Dijelaskan, 244 KK penggarap lahan Register 38 Gunung Balak, Lampung Timur itu tersebar di delapan desa.

Rinciannya, Desa Sripendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin Jaya, Desa Wana, Desa Srimenanti, Desa Giring Mulyo, Desa Sribhawono, dan Desa Brawijaya.

Petani menduga ada peran mafia tanah dalam proses penerbitan sertifikat hak milik (SHM) yang disebut masih menjadi bagian lahan Register 38 Gunung Balak tersebut.

"Tuntutan yang disampaikan oleh para petani yakni bongkar dugaan adanya mafia tanah di lahan garapan petani penggarap," jelas Sumaindra.

Petani juga meminta adanya penegakan keadilan atas pencaplokan lahan itu.

"Termasuk juga untuk mencabut status kepemilikan atas tanah atas nama orang lain yang terbit di atas lahan petani penggarap," tambahnya.

Disebutkan, masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak 1968 secara turun-temurun sampai saat ini.

Kemudian pada tahun 2021 terbitlah sertifikat atas nama orang lain tanpa sepengetahuan masyarakat penggarap.

(Tribunlampung.co.id/V Soma Ferrer)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved