Santri Ponpes di Lampung Meninggal

PSHT Sebut Santri Ponpes Miftahul Huda Meninggal Dianiaya

PSHT ikut menyoroti kasus meninggalnya MF (16), santri Pondok Pesantren Miftahul Huda 606, Desa Agom, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.

Tribunlampung.co.id/Dominius Desmantri Barus
Ketua PSHT Lampung Selatan Samidi dipanggil penyidik Polres Lampung Selatan sebagai saksi ahli dalam kasus meninggalnya santri ponpes, Rabu (6/3/2024). 

Tribunlampung.co.id, Lampung Selatan - Perguruan Silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) ikut menyoroti kasus meninggalnya MF (16), santri Pondok Pesantren Miftahul Huda 606, Desa Agom, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.

PSHT Lampung Selatan turut dipanggil penyidik Polres Lampung Selatan sebagai saksi ahli dalam kasus meninggalnya MF, Rabu (6/3/2024).

Ketua PSHT Lampung Selatan Samidi menyebut adanya penganiayaan yang menyebabkan MF meninggal dunia.

Menurut Samidi, kematian korban bukan disebabkan oleh latihan pencak silat.

Ia pun menuding kematian korban diduga akibat sanksi disiplin yang diberikan pondok pesantren itu.

Samidi dengan tegas menilai bahwa hukuman yang diberikan kepada korban terlalu melampaui batas.

Pihaknya juga tidak membenarkan tindakan tersebut.

"Dalam kasus meninggalnya santri itu sudah jelas kesalahan di pondok, bukan kesalahan di PSHT. Kenapa kok bisa pihak pondok malah memperbolehkan sanksi dari PSHT," tegasnya.

Ia mengatakan, pihaknya dicecar beberapa pertanyaan terkait prosedur di PSHT.

"Ya tadi ditanyain tentang tata cara masuk PSHT, SOP-nya bagaimana. Lalu bagaimana sanksi hukuman di kita. Kemudian gimana tata cara anggota sampai jadi warga," ucapnya.

Ia membantah ada sanksi pukulan dalam pemberian hukuman terhadap anggota yang melanggar aturan.

"Di kami tidak ada sanksi pemukulan. Kalau sanski seperti push up dan lainnya itu ada. Tapi itu juga mengukur kemampuan dan sabuk yang dimiliki anggota itu," beber dia.

"Kita tidak akan memberikan hukuman di luar kemampuan anggota tersebut," tegasnya.

Pihaknya pun sedang melakukan upaya untuk mencari tahu kebenaran dari insiden kematian santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda 606 itu.

Bantah Penganiayaan

Pondok Pesantren Miftahul Huda 606 di Desa Agom, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, membantah adanya penganiayaan terhadap santri hingga meninggal dunia.

Hal itu dikatakan Amir Hamzah selaku kuasa hukum dari Pondok Pesantren Miftahul Huda 606.

Diketahui, MF (16), santri Ponpes Miftahul Huda 606, meninggal dunia setelah diduga mendapat hukuman dari seniornya dalam kegiatan ekstrakurikuler pencak silat.

Amir Hamzah sendiri sudah memenuhi panggilan penyidik Polres Lampung Selatan, Rabu (6/3/2024).

Ia menyangkal adanya penganiayaan terhadap korban.

Menurutnya, kematian korban disebabkan oleh kelelahan setelah mengikuti sejumlah kegiatan ekstrakurikuler.

"Sebelum ikut ekstrakurikuler pencak silat itu, dia (korban) ada mengikuti ekstrakurikuler lainnya kayak pramuka, pecinta alam seperti itu. Diduga korban ini kelelahan. Lalu ada latihan setelah laga bertanding," kata Amir, Kamis (7/3/2024).

"Diperkirakan bukan karen penganiayaan. Dimungkinkan," tegasnya.

Ia mengklaim benjolan di kepala korban didapat dalam pertandingan pencak silat beberapa hari sebelumnya.

MF meninggal dunia diduga saat latihan kenaikan sabuk pencak silat di pondoknya.

Ada dugaan ia mendapatkan hukuman dari seniornya.

MF meninggal dunia di RSUD Bob Bazar Kalianda, Minggu (3/3/2024).

Sampai saat ini, Polres Lampung Selatan telah memeriksa 11 orang saksi dalam kasus kematian MF.

MF merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ecep Marwan dan Epi Yulita, warga Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.

MF duduk di kelas 1 di Pondok Pesantren Miftahul Huda 606.

Kapolres Lampung Selatan AKBP Yusriandi Yusrin mengatakan, sebelum meninggal dunia, korban bersama enam temannya sedang mengikuti latihan untuk persiapan ujian kenaikan sabuk.

"Jadi bukan saat ujian kenaikan sabuk ya, tapi lagi latihan untuk ujian kenaikan sabuk. Kalau kenaikan sabuknya nggak di pondok itu, tapi sama-sama dengan pencak silat lain se-Lampung Selatan," kata Yusriandi, Selasa (5/3/2024).

"Pada malam itu, Sabtu (2/3/2024) sekitar pukul 20.00 WIB, korban bersama enam temannya sedang melakukan latihan persiapan kenaikan sabuk dalam pencak silat yang korban ikuti," sambungnya.

Diduga saat latihan itu korban mendapat tindak penganiayaan dengan dalih mahar.

"Diduga dalam pelatihan kenaikan sabuk itu korban mendapat mahar. Mereka menyebutnya mahar. Kalau dianalogikan seperti hukuman begitu. Itu istilah yang digunakan mereka di pencak silatnya," sambungnya.

Ia menjelaskan, pihaknya juga masih mendalami arti atau makna mahar dalam peristiwa tersebut.

"Kita sudah periksa 11 orang saksi. Empat dari pelatih pencak silatnya, enam sesama santri atau teman korban yang juga ikut ekskul pencak silat, dan dari pihak pondok," kata Yusriandi.

Yusriandi menyebut penyebab korban mendapatkan mahar atau hukuman dari seniornya diduga karena korban sempat tidak hadir dalam latihan.

"Menurut keterangan sementara, korban mendapat mahar atau hukuman itu karena korban sempat tidak hadir. Maka dalam aturan mereka, korban diberikan mahar," ujarnya.

Yusriandi juga menyebut penyebab kematian korban diduga karena ada tindak pidana penganiayaan yang diduga menggunakan tangan kosong, bukan karena benda tumpul.

(Tribunlampung.co.id/Dominius Desmantri Barus)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved