Berita Terkini Nasional
Sosok Pendeta Jalanan Agus Sutikno, Penampilan Urakan Berhati Mulia Urus Ratusan Anak Telantar
Penampilan Agus Sutikno jauh dari bayangan umum tentang sosok seorang pendeta. Tubuhnya penuh tato. Rambutnya pun gondrong.
Tribunlampung.co.id, Semarang -- Penampilan Agus Sutikno tampak urakan. Jauh dari bayangan umum tentang sosok seorang pendeta. Tubuh Agus Sutikno bahkan penuh tato. Rambutnya pun gondrong.
Tapi di balik kesan penampilannya yang urakan dan nyentrik, Agus Sutikno yang berprofesi sebagai pendeta ternyata punya aksi mulia di daerah Semarang, Jawa Tengah.
Agus Sutikno berhasil menyekolahkan ratusan anak mulai dari tingkatan SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.
Agus Sutiko dikenal dengan julukan "Street Preacher" atau "Pendeta Jalanan".
Agus sebenarnya tidak suka dipanggil pendeta meskipun secara resmi ia adalah pemuka agama Kristen di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Jawa Tengah.
Agus Sutikno adalah pendiri sebuah yayasan bernama Yayasan Hati Bagi Bangsa terjun ke kampung-kampung kumuh dan bergaul dengan kaum marginal di Kota Lumpia, termasuk pekerja seks, anak-anak jalanan, pengidap HIV/AIDS, dan transgender.
Dengan komitmen dan dedikasinya, pada tahun 2015, Agus mendirikan Yayasan Hati Bagi Bangsa yang berlokasi di Jalan Manggis II, Kelurahan Lamper Lor, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Saya sudah menyekolahkan hampir 200 anak tanpa bantuan pemerintah. Bagi saya, penampilan itu tidak penting, yang penting adalah kita bisa bermanfaat untuk semua orang," ucap Agus, melansir Kompas.com, Rabu (5/2/2025),.
Agus menerima anak-anak telantar tanpa syarat apa pun.
Kini, ratusan anak jalanan yang ia bantu telah berhasil bersekolah hingga jenjang sarjana.
Menurut Agus, pendidikan adalah hak dasar bagi semua anak di Indonesia.
Ia berupaya semaksimal mungkin membantu masyarakat dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.
"Merawat anak-anak, ngobatin orang sakit, memberi orang kelaparan, menurut saya adalah ibadah," ujarnya.
Bagi Agus, nilai-nilai kemanusiaan harus diperjuangkan tanpa memandang suku, agama, atau kepercayaan.
"Pada dasarnya yayasan ini punya Tuhan, saya hanya sebagai hambanya saja," tambahnya.
Agus menyebut bahwa tato yang ada di tubuhnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
"Tato ini sudah ada jauh sebelum saya mengenal Tuhan, saat saya masih nakal-nakalnya," kata Agus.
Ia mengaku sering mendapat stigma negatif dari masyarakat, tetapi memilih untuk tetap fokus pada tujuannya.
Menurut dia, penampilan bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah tindakan dan dampak yang dihasilkan.
"Masalah baju atau penampilan itu tidak penting, yang penting adalah bagaimana hidupmu bermanfaat untuk orang lain. Wajar kalau manusia melihat penampilan, yang penting tetap hasil akhirnya," ujarnya.
Agus juga mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dipanggil pendeta meskipun secara resmi ia adalah pemuka agama Kristen di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Jawa Tengah.
"Agama bagi saya adalah sumber konflik. Maka, untuk menengahinya yaitu dengan aksi-aksi kemanusiaan karena kemanusiaan di atas ritual keagamaan," tegasnya.
Agus berharap agar apa yang telah ia lakukan dapat terus berlanjut dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
"Prinsip saya sekarang, jangan mati sebelum berguna. Apa pun yang kamu percayai, hidupmu harus berguna untuk orang lain," pungkas Agus.
Dirasakan anak asuh
Dedikasi Agus pun dirasakan oleh anak asuhnya yang semula hidup dengan pahitnya dunia jalanan di Kota Semarang.
"Dulu saya jualan nasi bungkus di sekitar Peterongan hingga Simpang Lima Kota Semarang. Hal tersebut saya lakukan untuk melanjutkan sekolah," terang Alloysius Yefta Raffael di Yayasan Hati Bagi Bangsa, kepada Tribun Jateng, Rabu (25/12/2024).
Yayasan yang didirikan oleh Agus tersebut kini menjadi tempat tinggal Raffael dan rekan-rekannya.
Sepenggal pengalaman pahit juga diceritakan Raffael, meski sudah berjuang keras dengan berdagang nasi namun tetap saja uang yang ia kumpulkan tidak mencukupi untuk melanjutkan pendidikannya di SMA.
Belum lagi adanya Pandemi Covid 19, membuat Raffael harus menelan pil pahit.
Namun doa dan perjuangannya menemukan titik cerah. Ia dipertemukan dengan Agus.
Raffael pun diajak untuk ke Yayasan Hati Bagi Bangsa dan Raffael bisa melanjutkan pendidikannya lantaran dibiayai oleh yayasan tersebut.
Bahkan Raffael sangat bersyukur, kini ia bisa melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah.
Ia berujar tanpa Yayasan Hati Bagi Bangsa dan peren Agus, Raffael tak akan bisa mewujudkan impian untuk mengeyam pendidikan.
"Tidak hanya sebagai ayah, Pendeta Agus sudah seperti pendidik dan pengayom, ia sosok yang sangat luar biasa," terangnya.
Yayasan Hati Bagi Bangsa sendiri didirikan oleh Agus pada 2015 silam untuk memberikan harapan kepada baru masyarakat marjinal.
Tak hanya anak jalanan yang putus sekolah, yayasan tersebut juga membantu pekerja seks, pencandu narkoba, lansia terlantar hingga ODHA di Kota Semarang.
Agus sendiri berujar hingga kini telah menyekolahkan 200 anak jalanan, merawat lansia hingga balita.
Setiap hari dikatakannya kegiatan untuk membantu masyarakat terpinggirkan selalu dilakukan.
Bahkan setiap bulan pembagian sembako dan uang saku untuk anak-anak yayasan dilaksanakan.
"Jadi tidak hanya saat Natal atau Lebaran saja, setiap hari kami selalu ingin melakukan hal-hal baik," terang Agus.
Langkah untuk menyadarkan orang-orang pengguna narkoba hingga ODHA dikatakan Agus juga masih dilakukan sampai detik ini.
Ia juga berujar tentang anak-anak jalanan yang sebenarnya kehilangan sosok ayah.
Untuk itu Agus hadir di jalanan, karena ia ingin menghadirkan sosok ayah yang bisa merangkul tanpa memukul.
Agus juga mengesampingkan padangan negatif tentang penampilannya, karena ia ingin menyalurkan berkat tuhan ke masyarakat terpinggirkan.
"Memang biasanya Pendeta rapi, berbeda dengan saya. Anggapan negatif saat melihat saya pasti ada namun tidak saya gubris. Tapi setelah melihat apa yang saya lakukan selama 18 tahun pandangan tersebut berubah," tutur Agus.
Baginya welas asih menjadi hal utama dan menjadi sifat dari tuhan yang seharusnya diteruskan oleh manusia tanpa memandang ras, suku maupun agama.
Bahkan ia mengatakan welas asih harus diwujudkan secara nyata ke sesama manusia.
Yang spesial, Agus tak pernah memaksa anak asuh dan orang yang ikut di Yayasan Hati Bagi Bangsa untuk masuk Agama Kristen.
"Apa yang saya lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan murni tentang kemanusiaan. Masih ada anak asuh saya yang memakai jilbab juga," kata Agus.
Ditambahkannya selama 18 tahun, Agus dan Yayasan Hati Bagi Bangsa tak pernah meminta bantuan ke pemerintah ataupun menyodorkan proposal.
Meski membutuhkan biaya tak sedikit, namun Agus percaya, tangan tuhan tak pernah diam membantu umatnya.
Ia menceritakan hal-hal yang tidak bisa dihitung atau diluar rasio manusia kala menjalani hidup untuk membantu sesama.
"Saya juga bingung kalau ditanya tentang itu, 18 tahun ini saya mengalami banyak hal yang tak masuk akal. Namun saya percaya tuhan yang mengutus saya membantu saya," papar Agus.
Sebelum mengakhiri perbincangan Agus mengatakan, Natal bukan hanya milik Nasrani namun seluruh orang untuk mewujudkan welas asih kepada sesama. (*)
(Tribunlampung.co.id)
Oknum Kapolsek di Kendal Digerebek Warga di Rumah Janda Jumat Dini Hari |
![]() |
---|
Kemlu RI Bantu Pemulangan Jenazah Yurike Sanger, Istri ke-7 Soekarno |
![]() |
---|
Budi Arie Diisukan Akan Jadi Dubes, Roy Suryo Ungkap Hal Menakutkan |
![]() |
---|
KPK Ungkap Status Uang yang Dikembalikan Ustaz Khalid Basalamah |
![]() |
---|
Raup Untung Rp538 Juta dari Pasien, Dokter Gadungan Ngaku Khilaf |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.