Tribun Bandar Lampung

Rapat 4 Jam: Perwakilan Buruh dan PT Eight International Kukuh Pendapat Masing-masing

Penulis: Romi Rinando
Editor: Yoso Muliawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pertemuan PT Eight International dan para buruh yang difasilitasi Komisi IV DPRD Bandar Lampung, Kamis, 28 Februari 2019.

Laporan Reporter Tribun Lampung Romi Rinando

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Pertemuan PT Eight International dan perwakilan buruh berakhir deadlock alias buntu, Kamis (28/2/2019). Rapat yang difasilitasi Komisi IV DPRD Bandar Lampung itu berlangsung selama empat jam.

Mediasi yang dipimpin Ketua Komisi IV DPRD Bandar Lampung Handrie Kurniawan itu turut dihadiri Kepala Dinas Tenaga Kerja Bandar Lampung Wan Abdurahman dan sekitar 50 karyawan PT Eight International.

Namun, kedua belah pihak ngotot dengan pendapat masing-masing, sehingga tidak tercapai kata sepakat.   

Dalam rapat, ada sejumlah tuntutan dari para buruh. Di antaranya, mempekerjakan kembali tujuh karyawan yang sudah diberhentikan dan meminta perusahaan membayar gaji sesuai upah minimum kota (UMK).

Pihak buruh menuding perusahaan yang bergerak di bidang ekspor tali tambang itu sewenang-wenang karena telah memberhentikan tujuh pekerja tidak sesuai prosedur. Selain itu, pembayaran upah tidak sesuai standar UMK dan UMP.

“Kami minta ketujuh karyawan yang sudah diberhentikan dipekerjakan kembali. Mengenai upah, jangan di bawah UMK. Bukan menggaji buruh berdasarkan satuan hasil. Hitung-hitungnya itu dari mana dan mana peraturannya?” kata Wiwin, perwakilan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia.

Taat Badarudin dari FSPMI menambahkan, perusahaan dinilai telah melakukan union busting atau pemberangusan serikat buruh di perusahaan. Padahal, keberadaan serikat itu untuk menjamim terpenuhinya hak-hak buruh dan agar perusahaan tidak melakukan tindakan semena-mena.  

“Kami berserikat ini bukan untuk gaya-gayaan. Tapi, kami ingin hak-hak buruh dan karyawan terjamin,” tukasnya.

Sementara pihak perusahaan yang diwakili kuasa hukum, Osep Dody, menyatakan, keputusan perusahaan untuk memberhentikan ketujuh pekerja sudah menjadi harga mati. Pihak perusahaan siap membayar hak-hak pekerja yang sudah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut.

Bahkan, kata dia, manajemen perusahaan yang berpusat di Sri Lanka itu siap menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah PHK.

“Kalau PHK, itu sudah harga mati. Pihak perusahaan ada penilaian dan alasan tersendiri terhadap mereka yang di-PHK. Kami siap membayar pesangon mereka,” jelas Osep.

Terkait UMK, Osep mengatakan, pihak perusahaan dalam membayar gaji menggunakan dua sistem, yakni melalui satuan waktu dan satuan hasil.

Dari jumlah total 160 pekerja di perusahaan, sebanyak 105 pekerja digaji menggunakan pengupahan model satuan waktu atau gaji bulanan. Sementara 55 pekerja sisanya menggunakan satuan hasil atau produktivitas.

“Di perusahaan ini ada dua sistem pengupahan. Satuan hasil dan satuan waktu. Artinya, no work, no pay. Kami minta buruh tidak melakukan aksi mogok yang bisa menghambat aktivitas perusahaan," tandasnya.   

Halaman
12

Berita Terkini