"Yang menurut JPU didapat perbedaan penilaian atas fakta-fakta persidangan, kalau kemarin kesannya ada fakta yang hilang," katanya.
"Setelah diluruskan bukan fakta yang hilang, namun fakta tersebut dimunculkan didakwaaan TPPUnya," imbuhnya.
Subari pun menampik jika pihaknya mengajukan banding lantaran tidak puas terhadap hasil putusan sidang.
"Kami banding tidak berkaitan dengan strafmaat (ukuran hukuman), strafmatnya kami kira sudah cukup di 15 tahun tuntutan, putusannya di 12 tahun, dan uang pengganti sebesar Rp 66 milar dikabulkan," sebutnya.
• JPU KPK dan Zainudin Hasan Banding, Ini Komentar Humas PN Tipikor Tanjungkarang
Subari pun menjelaskan alasan kuat pihaknya mengajukan banding karena adanya perbedaan pendapat pada pasal 12 B terkait dakwaan gratifikasi.
"Permasalahannya itu ada di Pasal 12 B didakwaan gratifikasi, kami mengemukakan fakta-fakta adanya (aliaran) dari perusaha di Kalimantan itu," serunya.
"Yang secara berturut-turut, yakni Rp 100 juta hampir setiap bulan, kemudian ada beberapa Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar," tambahnya.
Menurutnya, penerimaan sejumlah uang tersebut dijadikan fakta gratifikasi termasuk pembelian Villa dari Thomas Riska.
"Tapi kalau berdasarkan yang kami dengar, dari putusan hakim yang dijadikan fakta perbuatan gratifikasi hanya sebatas pemberlian villa aja, dan ini digeser fakta mengenai penyertaan saham mendapat transfer itu (Perusahaan Kalimantan) masuk TPPU," terangnya.
Subari menegaskan dalam dakwaan TPPU sebagaimana diketahui harus ada pidana asalnya.
"Seperti apa, hasil dari pada korupsinya diapakan, kalau 12 B isinya hanya mengenai gratifikasi semata, tetapi tiba-tiba di TPPU muncul adanya penyertaan transfer uang, ini kan lucu, kami lihat adanya sedikit kerancuan pada tindak pidana awal, jadi kami minta ditempatkan seperti yang kami tempatkan," bebernya.
• Zainudin Hasan Divonis 12 Tahun Penjara, Jaksa KPK Resmi Ajukan Banding Ini Alasannya
Saat disinggung apakah dari hasil fakta putusan ini merugikan pihaknya, Subari mengaku tidak merasa dirugikan.
"Putusan gak dirugikan tapi konstruksi hukumnya terjadi perbedaan penilaian, mungkin kami belum melihat putusan secara lengkap tapi kami kehilangan pidana asal sehingga tidak bunyi," tegasnya.
Saat ditanya pengemukakan fakta yang dikesampingkan ini apakah untuk pengembangan perkara, Subari mengaku belum berfikir sampai kesana.
"Kami belum berfikir pengembangan perkara, kami fokus pada perbuatan dan pidana Zainudin," sebutnya.
"Yang jelas penerimaan itu sebelum ia menjadi bupati, tetapi yang kita hitung sejak dia menjabat, kan sebagai pejabat publik dilarang menerima sesuatu yang diperkirakan ada Rp 3 miliar lebih," tandasnya.
(tribunlampung.co.id/hanif mustafa)