Tribunlampung.co.id – Wacana menggunakan sistem e-Voting pada pelaksanaan Pemilu 2024 masih terus menggelinding.
Wacana tersebut pertama kali disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai, penerapan e-Voting untuk skala nasisonal pada pemilu 2024 masih membutuhkan untuk belajar dari negara-negara lain yang telah menerapkannya, jika ingin diterapkan di pemilu mendatang.
Dikatakannya, e-voting memang cocok digunakan untuk pemilu skala keci, seperti Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak 2021.
"E-voting untuk kepala desa, iya. Tapi sekarang jumlahnya kecil, tapi untuk tingkat nasional, saya mau belajar dari India yang melakukan e-voting, tapi banyak negara-negara besar yang enggak mau melaksanakan e-voting, lebih senang yang manual," kata Tito ditemui usai rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Menurutnya, penggunaan e-voting justru rawan terjadi manipulasi data yang dilakukan oleh hacker atau peretas.
Karenanya, sejumlah negara lebih menyukai sistem manual untuk pemungutan suara pemilu.
"Karena semua digital kan datanya. Sehingga banyak juga yang mau manual ngitungnya. Amerika kan juga manual," ujarnya.
Mantan Kapolri ini menambahkan, saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai politik (parpol) lebih menyukai sistem manual.
Hal itu, kata dia, karena sistem manual dalam Pemilu dapat diawasi di setiap tahapannya.
"Dimulai dari TPS di tingkat kecamatan, itu semua bisa diawasi angkanya itu bergeraknya," jelas dia.
Tito mengakui, sistem e-voting memanglah memiliki keunggulan dalam kecepatan. Namun, banyak pihak yang khawatir kecepan tersebut justru bisa menimbulkan kesalahan, khusunya pada data angka.
"Kalau e-voting memang cepat, tapi mereka teman-teman takut kalau nanti terjadi angka yang salah atau di-hacking, di-hijack.
“Sehingga akhirnya angkanya berubah. Kira-kira begitu plus minusnya," ujar Tito.
Dalam rapat, Tito mengklaim pelaksanaan Pilkades serentak di tahun 2021 telah menggunakan sistem e-voting.
Ada 155 desa telah dicoba menggunakan e-voting saat Pilkades.
"Memfasilitasi penerapan e-voting. Jadi, e-voting sudah dilaksanakan dalam Pilkades di 155 desa di tahun 2021," kata Tito dalam raker Komisi II DPR, Selasa.
Adapun usulan Pemilu 2024 menggunakan e-voting pertama kali diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate. Menurut Johnny, sistem pemungutan suara Pemilu dengan e-voting sudah banyak dilakukan di beberapa negara.
“Pengadopsian teknologi digital dalam giat Pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate.”
“Baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu,” kata Johnny dalam keterangan tertulis, Selasa (22/03/2022) lalu.
Salah satu negara yang terdepan dalam pengadopsian pemungutan suara digital yakni Estonia.
Ia mengatakan, Estonia sudah melaksanakan Pemilu melalui sistem e-voting yang bebas, adil dan aman sejak tahun 2005.
DPRD Lampung Nilai e-Voting Miliki Sejumlah Kelemahan
Usulan untuk menggunakan sistem e-voting pada Pemilu 2024 dinilai banyak kalangan memiliki sejumlah kelemahan.
Sistem tersebut, dinilai berpotensi untuk bisa memunculkan terjadinya ‘kongkalikong’ politik.
Seperti dikatakan oleh Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Lampung, Watoni Noerdin.
Menurut dirinya, potensi untuk memanipulasi data dengan e-voting sangat mungkin.
Sebab, teknologi bisa digunakan dengan bebas sesuai fitur yang diciptakan.
"Jadi harus betul betul fair karena kehawatiran itu bisa jadi sarana Kong kalikong, kalo kerahasiaan bisa dijaga mungkin gak ada masalah," kata Watoni Noerdin, Selasa (29/3/2022) kemarin.
Anggota Komisi I DPRD Lampung ini mengatakan, pemungutan suara secara online butuh persiapan teknis yang matang.
Seperti perlengkapan, infrastruktur, dan jaringan yang memadai.
"Itu harus kita jamin dulu yang namanya jangkauan sinyal terjangkau apa tidak. Kalo tidak artinya kita sudah melanggar hak asasi manusia (HAM) secara tidak langsung," ujar Watoni.
"Artinya ini harus tuntas, tidak hanya menawarkan tetapi perangkat nya tidak tersedia dengan sempurna," jelas Watoni.
Sikap serupa juga disampaikan oleh DPD I Golkar Lampung.
Sekretaris DPD Golkar Lampung Ismet Roni menganggap, e-voting itu masih sebatas wacana yang diusulkan.
"Itu kan masih wacana, pada prinsipnya wacana hanyalah wacana sebelum ada keputusan itu tidak bisa dilakukan," kata Ismet Roni.
Ismet mengaku Golkar tegak lurus dengan keputusan pemerintah.
Saat ini, proses pemungutan suara masih disepakati dengan cara offline atau datang langsung ke TPS.
"Golkar prinsipnya ikut keputusan pemerintah. Tapi saya kira itu butuh kajian mendalam, dan saat ini yang berlaku offline," kata Ismet Roni.
Rawan Diretas
Sedangkan Peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata mengatakan, pemungutan suara melalui e-voting rawan diretas.
Dikatakan oleh Dian, ide e-voting bukanlah hal baru.
Melainkan sudah sejak lama dan bahkan pernah digunakan oleh negara-negara maju di luar negeri seperti Amerika Serikat.
"Ide Kominfo itu ide lama di beberapa negara maju. Seperti Amerika, e-voting ini tidak digeliatkan lagi dan mulai ditolak karena mudah di-hack," kata Dian Permata, Selasa (29/3/2022) kemarin.
"Donald Trump saja bisa kena hack, apalagi kita. Maka ini harus betul-betul disiapkan. Bukan hanya masalah teknis, tapi juga security (keamanan)," jelasnya.
Kendati begitu, Dian mengapresiasi niat baik Menkominfo yang ingin menyederhanakan kerumitan proses pemilu di Indonesia.
Namun, dia berharap jika hal tersebut ingin dilakukan, maka harus disiapkan sarana dan prasarananya.
"Ya tapi memang ini terobosan untuk rumitnya pemilu. Maka harus dipastikan infrastrukturnya," kata Dian.
( Tribunlampung.co.id / Kiki Adipratama )
Artiken ini sebagian telah tayang di Kompas.com