Tribunlampung.co.id - Pasangan suami istri atau Pasutri di Lampung merasa tertipu setelah bayi yang diadopsi dari Bogor dijemput polisi.
Sebab, bayi yang diadopsi pasutri di Lampung tersebut tersangkut dalam kasus tindak pidana perdagangan orang yang tengah diusut Polres Bogor.
Alhasil pasutri asal Lampung ini harus merelakan anak pungutnya diambil penyidik Polres Bogor untuk dipertemukan kepada orang tua kandungnya.
Padahal pasutri dari Lampung tersebut telah mengeluarkan anggaran belasan juta untuk pengapdosian anak. Alasan pihak yang menawarkan adopsi saat itu untuk biaya operasi cesar.
Belakangan diketahui persalinannya ditanggung BPJS. Sehingga pasutri asal Lampung ini merasa diperdaya.
Baca juga: 12 Tahun Tak Punya Anak, Pasutri Lampung Tertipu Adopsi Bayi Ayah Sejuta Anak
Baca juga: Panik Punya Anak di Luar Nikah, Sejoli Pringsewu Buang Bayi ke Bandar Lampung
Pasangan suami istri (pasutri) di Lampung menjadi korban penipuan adopsi bayi dari 'Ayah Sejuta Anak'.
Pasutri di Lampung yang adopsi bayi di Bogor Jawa Barat ini, pasangan yang sudah 12 tahun nikah tidak kunjung dikaruniai anak.
Pasutri asal Lampung ini lantas adopsi bayi laki-laki dari tersangka SH merupakan 'Ayah Sejuta Anak.'
Namun setelah heboh 'Ayah Sejuta Anak', pelaku SH ditangkap Polres Bogor atas dasar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Buntut dari kasus tersebut, kepolisian turut mengusut bayi yang telah diadopsi pasutri asal Lampung.
Kepolisian Polres Bogor bersama dinas terkait telah menjemput seorang bayi dari Lampung.
Bayi di Lampung tersebut diduga dijual oleh tersangka SH penjual bayi ' Ayah Sejuta Anak'.
Baca juga: Pelaku Pembuang Bayi Berstatus Mahasiswa dari Kampus Swasta di Pringsewu Lampung
Baca juga: Sejoli Pembuang Bayi di Bandar Lampung Terancam Hukuman 5 Tahun Penjara
Bayi tersebut diserahkan dari pasutri asal Lampung yang mengadopsi menjadi orang tua angkat sang bayi.
Pasangan suami istri ini rupanya pasangan yang sudah 12 tahun menikah namun tak kunjung dikaruniai anak.
Kemudian pasangan suami istri ini mendapatkan bayi laki-laki yang bisa diadopsi dari tersangka SH.
Kapolres Bogor AKBP Iman Imanuddin menjelaskan bahwa pasangan suami istri asal Lampung ini juga merasa tertipu oleh Tersangka SH.
"Yang di Lampung juga korban, yang bersangkutan menyampaikan, pasangan suami istri yang di Lampung ini merasa dibohongi, ditipu," kata AKBP Iman Imanuddin kepada wartawan, Kamis (6/10/2022).
Tersangka SH meminta uang sebesar Rp 15 Juta kepada pasangan suami istri asal Lampung ini saat adopsi dengan alasan untuk biaya cesar, namun ternyata biaya persalinan itu ditanggung BPJS.
Pihak pasangan suami istri ini mengaku tak tahu soal proses adopsi yang mereka alami ternyata ilegal karena Tersangka SH dinilai cukup meyakinkan.
Meski begitu, pasca sang bayi diserahkan kembali dari Lampung dan dipertemukan kembali dengan ibu kandungnya di Bogor, pasangan suami istri ini berharap bisa benar-benar mengadopsi bayi tersebut sesuai aturan.
"Hasil komunikasi dengan pihak ibu kandungnya, ibu kandungnya akan menyerahkan ( bayi) selama itu proses pengangkatan anaknya tersebut berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi si ibunya memang tidak keberatan," ungkap Kapolres.
Sosok Ayah Sejuta Anak
Sosok ' Ayah Sejuta Anak' kini menjadi sorotan usai SH diamankan oleh Polres Bogor.
SH diciduk aparat kepolisian lantaran diduga terlibat kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Lalu siapa sebenarnya SH yang menyebut dirinya Ayah Sejuta Anak?
SH merupakan seorang pria berusia 32 tahun yang tinggal diwilayah Ciseeng, Kabupaten Bogor.
Di rumah yang memilki dua lantai itu menjadi tempat penampungan untuk para ibu- ibu hamil yang tak memilki suami.
Dilantai bawah, digunakan untuk para bu-ibu hamil beraktifitas.
Sementara itu, dilantai atas digunakan untuk tempat tinggal SH.
Ibu hamil yang ditampung disana bukan hanya dari wilayah Bogor, namun ada juga wanita hamil tanpa suami yang datang dari luar pulau Jawa.
"Beliau itu (SH,red) memang sudah sekitar dua tahun tinggal di perumahan di Desa Kuripan," kata Kepala Desa Kuripan, Siti Aswat Nurlita kepada wartawan, Kamis (29/9/2022).
Menurut Siti Aswat Nurlita, keseharian SH bekerja disebuah kantor marketing property.
"Pekerjaan sehari-hari dia sebagai marketing perumahan," kata Siti Aswat Nurlita.
Di rumah tersebut, SH tinggal bersama wanita hamil tanpa suami yang ditampung olehnya.
SH mengurus sendiri segala keperluan ibu- ibu hamil yang ia tampung lantaran ia merupakan seorang duda.
Selain itu, SH juga sebelumnya pernah dikeluhkan masyarakat ke desa karena dianggap mencurigakan ketika ada banyak ibu hamil.
Keberadaan penampungan ibu hamil itu pun sejak awal juga tidak dilaporkan oleh SH baik ke lingkungan maupun ke desa.
"Laporannya dari komplain masyarakat awalnya. Khawatir mungkin banyak yang demo, terus dia (SH) lapor ke desa. Kurang lebih dua bulanan sebelum penangkapan," ujar Siti Aswat Nurlita.
Saat melapor ke desa, Tersangka SH ini berbicara soal bantuan sosial, menolong sesama dan yang lainnya.
Ketika pihak desa menanyakan soal perizinan, SH mengaku perizinan menginduk ke sebuah yayasan di Tangerang, namun tetap saja SH tak melaporkan ke desa tempatnya membuka penampungan ibu hamil tersebut.
Seminggu kemudian, pemerintah setempat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi rumah Tersangka SH yang menjadi penampungan ibu hamil itu.
"Setelah sidak ke lokasi dengan Pak Camat saya lapor, bu dokter puskesmas, ternyata ( ibu hamil) dari berbagai daerah, kurang lebih 7 orang waktu saya di lokasi. Dari Bangkabelitung, Sulawesi, Lampung, Indramayu," kata Kades.
Demi mencegah hal yang tak diinginkan, temuan penampungan ibu hamil itu kemudian dilaporkan ke kecamatan lalu ditangani Dinas Sosial Kabupaten Bogor serta diselidiki Polres Bogor.
Ditampung Hanya Sampai Persalinan
Para ibu hamil yang ditampung di Yayasan Ayah Sejuta Anak dibawah naungan SH rupanya hanya sampai sang ibu tersebut melahirkan.
AM, Adik kandung dari Tersangka SH menceritakan, ibu hamil yang ingin dibantu ditampung di rumah penampungan di Ciseeng sampai persalinan.
Kemudian, sang bayi dititipkan ke panti di Tangerang Selatan.
"Sebenarnya SH di sini tujuannya sampai persalinan aja, setelah persalinan anaknya dititipkan ke panti, setelah itu pulang," kata AM saat ditemui TribunnewsBogor.com di wilayah Ciseeng, Kabupaten Bogor, Kamis (29/9/2022).
Dia mengatakan bahwa kakaknya itu juga hanya berniat membantu para ibu hamil yang bemasalah seperti yang tak ada biaya, hamil tanpa suami dan yang lainnya.
Bahkan Tersangka SH yang berprofesi di bidang properti ini pun, diakui AM, sudah banyak menghabiskan uang pribadinya sampau menjual kendaraan miliknya untuk membantu para ibu hamil yang kurang beruntung.
"Kemarin ada satu ibu hamil dia lahiran di kosan, dia ngontak, abang saya nyamperin ke sana, anaknya langsung diserahin dan gak mau tahu apa-apa lagi. Kalau niat mau dijual, bisa aja tuh dijual, tapi abang saya enggak, dibawa ke panti sama si ibunya," kata AM.
Kemudian yang menjadi permasalahan, kata dia, adalah soal uang Rp 15 juta yang disebut Polisi sebagai tarif perdagangan satu bayi.
Dia menjelaskan bahwa dari semua ibu hamil yang ditampung SH dari rata-rata sang bayi dititipkan ke panti, namun ada satu ibu hamil yang berubah pikiran dan ingin langsung mengadopsikan bayinya.
Kata AM, wanita tersebut mengadopsikan bayinya sendiri menggunakan atas nama Tersangka SH.
Kemudian setelah diadopsikan pihak orang tua angkat penerima adopsi bayi itu berinisiatif memberikan uang Rp 15 Juta sebagai bentuk terimakasih.
"Yang Rp 15 juta itu bener adanya, si yang mengadopsi itu ngasih uang dan itu inisiatif mereka sendiri," kata AM.
Uang tersebut disimpan Rp 10 juta oleh Tersangka SH untuk keperluan di tempat penampungan ibu hamil dan si wanita yang mengadopsikan bayinya oleh SH diberi Rp 5 juta.
Diduga tak terima, sang ibu hamil tersebut kemudian membuat laporan yang membuat SH ditangkap Polisi.
"Ya jadi ini kekurangpuasan si ibu hamil yang diberi cuma Rp 5 Juta, mungkin dia kurang puas dikasih segitu, dia buat laporan," kata AM.
AM mengatakan bahwa sebelum permasalahan ini terjadi, SH sebelumya juga sempat mengajukan untuk melegalkan tempat penampungan ibu hamil miliknya itu ke Dinas Sosial.
Namun sebelum tempat penampungan ibu hamil itu menjadi resmi atau legal, kasus itu keburu muncul dan Tersangka SH ditangkap Polisi.
Selain itu, kata AM, Tersangka SH ini sebelumnya juga sudah beberapa kali diundang stasiun TV nasional karena kisahnya sebagai 'Ayah Sejuta Anak' dinilai inspiratif yang membantu anak atau bayi dari para ibu hamil yang kurang beruntung.
Ditangkap Polisi
Pria berinisial SH di Kabupaten Bogor diringkus Polres Bogor atas kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berupa perdagangan bayi.
Pria tersebut juga dikenal kerap mempublikasikan aktivitasnya di media sosial Tiktok atau Tiktoker.
"Pelaku mengatasnamakan Yayasan Ayah Sejuta Anak. Saat ini tersangka sedang dalam proses penyidikan Satreskrim Polres Bogor," kata Kapolres Bogor AKBP Iman Imanuddin kepada wartawan, Rabu (28/9/2022).
Kapolres menjelaskan, kasus perdagangan anak ini berawal dari adanya laporan yang diterima Polres Bogor kemudian dibentuk tim dan dilakukan penyelidikan.
Pelaku ini, kata dia, dalam perbuatannya mengumpulkan para ibu hamil dengan sasaran ibu hamil tanpa suami dengan cara pelaku mempublikasikan informasinya via media sosial.
Kemudian nantinya setelah proses persalinan, pelaku mengiming-imingi bayi akan diserahkan ke orang lain untuk diadopsi namun hal itu dilakukan secara ilegal.
"Proses adopsinya sendiri itu dilakukan secara ilegal dan orang yang mengadopsi tersebut dimintai uang sebesar Rp 15 Juta dari setiap satu anak yang diadopsi," kata AKBP Iman Imanuddin.
Dalam pengungkapan ini, Iman mengatakan bahwa pihaknya bersama Dinas Sosial Kabupaten Bogor berhasil menyelamatkan 5 orang ibu hamil dari penampungan milik pelaku.
Termasuk pula seorang bayi yang sudah 'dijual' oleh pelaku ke Lampung.
"Satu orang yang sudah diadopsi secara ilegal atau dijual si pelaku ke wilayah Lampung juga sudah diselamatkan dan diserahkan ke Dinas Sosial Kabupaten Bogor," kata AKBP Iman Imanuddin.
Atas kasus ini, pelaku dijerat Pasal 83 jo Pasal 76 huruf F UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 300 Juta.
Artikel ini telah tayang di TribunnewsBogor.com