Sementara itu, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Lampung, Deni Suryawan mengapresiasi kenaikan upah buruh mulai tahun 2025.
Menurutnya, peningkatan upah ini merupakan hak buruh yang memang harus dibayar oleh perusahaan.
"Kami tentu mengapresiasi kenaikan upah ini karena itu memang hak pekerja. Tentu ini baik, tapi beban para pekerja juga tidak kalah berat dengan resiko yang mereka hadapi dalam pekerjaannya " ujar Deni
Sementara, Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI KSN) menyebut wacana kenaikan upah 6,5 persen tak berpengaruh banyak terhadap kesejahteraan buruh.
Ketua, FPSBI KSN Lampung Johanes Joko Purwanto mengatakan, hal itu lantaran pemerintah memberlakukan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Sebelumnya kan ada rangkaian kebijakan Tapera 5 persen dan kenaikan PPN 12 persen, dan juga alasan kenaikan 6,5 persen itu kan karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi," kata Joko saat dikonfirmasi, Rabu (4/12)
"Sebenarnya jika kenaikannya hanya 6,5 persen buruh kemudian harus menanggung banyak beban," kata dia.
Di samping itu, Joko pun menyoroti perbedaan Upah minimum di setiap daerah yang berbeda berbeda.
"Itu juga kenapa buruh daerah termasuk Lampung banyak yang berangkat ke ibukota provinsi atau Jabodetabek yang upahnya lebih besar," ucapnya.
Dia pun menyebut bahwa solusi terkait gaji buruh dan pekerja semestinya dengan kebijakan standar kelayakan upah nasional.
"Padahal standar harga kebutuhan sama semua seperti minyak goreng dan gas ada HET-nya. Jadi kita ingin standar kelayakan upah ini sama, karena hampir setiap daerah beda semua upah minimumnya," ujar Joko.
Lebih lanjut, Joko menegaskan bahwa kenaikan upah 6,5 persen tidak akan berpengaruh bagi buruh dan pekerja jika Tapera dan PPN tetap dinaikkan.
"Seperti saya yang sudah punya rumah, lalu iuran tapera itu untuk apa? Menurut saya ini iuran yang tidak jelas peruntukannya," pungkasnya.
(tribunlampung.co.id/hurri agusto)