TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Bandar Lampung – Desakan untuk melakukan audit ulang terhadap Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sugar Group Companies (SGC), kembali mencuat.
Sontak hal tersebut memicu reaksi tajam dari sejumlah elemen masyarakat sipil di Lampung, tak terkecuali dari Aliansi Lampung Bergerak.
Koordinator Aliansi Lampung Bergerak, Rosim Nyerupa menyebut, ada kekhawatiran jika wacana audit tersebut terkesan tidak sehat dan mengarah pada tekanan politik terhadap satu perusahaan saja.
Menurut Rosim, narasi audit yang hanya menyasar satu entitas korporasi berpotensi menciptakan stigma negatif, yang berdampak luas terhadap iklim investasi di Lampung.
Rosim menegaskan, aliansi tidak menolak upaya pengukuran ulang atau penertiban aset-aset HGU. Namun, ia meminta agar langkah itu dilakukan secara adil, objektif, dan menyeluruh, terhadap seluruh perusahaan besar yang mengelola lahan ratusan hingga ribuan hektare di provinsi ini.
“Kalau memang audit ingin dijalankan, lakukan secara adil dan menyeluruh. Jangan cuma PT SGC yang disorot. Banyak perusahaan lain yang juga menguasai ribuan hektare lahan di Lampung dan tidak pernah disinggung,” tegas Rosim Nyerupa, saat jumpa pers Senin (21/7/2025).
Rosim menyebut, ada beberapa nama perusahaan yang selama ini juga mengelola lahan luas dengan status HGU. Di antaranya Sinar Mas Group, Gajah Tunggal, hingga Great Giant Pineapple (GGP).
Namun, menurutnya, nama-nama tersebut nyaris tidak pernah muncul dalam wacana audit yang tengah digulirkan oleh sebagian anggota DPR RI dan pejabat kementerian.
"Kalau bicara keadilan tata kelola pertanahan, ukur ulang semua HGU yang ada. Jangan terkesan menyasar satu pihak. Ini bukan soal membela siapa-siapa, tapi soal keadilan hukum dan kepastian bagi semua pelaku usaha," lanjutnya.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah potensi dampak sosial dan ekonomi dari narasi negatif yang terus dilekatkan pada SGC.
Menurut data yang dihimpun aliansi, perusahaan ini menopang kehidupan lebih dari 60 ribu orang di Lampung, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mereka terdiri dari petani plasma, buruh pabrik, sopir angkut, hingga keluarga mereka yang tersebar di wilayah Lampung Tengah dan Tulang Bawang.
Rosim pun menilai, narasi sepihak dan tekanan politik terhadap satu perusahaan tanpa kajian menyeluruh justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketakutan di kalangan investor lain.
Dalam jangka panjang, ini bisa merusak reputasi Lampung sebagai daerah yang ramah usaha dan terbuka terhadap investasi.
“Apakah siap menanggung risiko jika investor hengkang atau menunda ekspansi akibat situasi yang tidak kondusif ini? Ketika ekonomi sedang sulit dan rakyat susah mencari pekerjaan, seharusnya semua pihak menjaga stabilitas dan bukan menambah kegaduhan,” tegas Rosim.
Di tempat yang sama, Juru Bicara Aliansi Lampung Bergerak, Rizki Hendarji Putra, menambahkan, pihaknya tidak menolak langkah audit sebagai bentuk penegakan tata kelola pertanahan. Namun, menurutnya, audit semacam itu harus dilandasi prinsip keadilan dan tidak boleh tebang pilih.
Ia menyoroti bahwa banyak perusahaan besar yang sebelumnya bahkan sudah disorot oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait persoalan pajak, izin, maupun penggunaan lahan.
“Kami tidak menolak audit. Justru kami mendukung pengukuran ulang, asal dilakukan dengan adil dan proporsional. Jangan sampai audit ini berubah jadi alat tekanan atau alat politik untuk menghantam satu pihak saja. Itu berbahaya bagi demokrasi ekonomi dan investasi daerah,” ujar Rizki.
Ia juga mengingatkan bahwa KPK sendiri dalam berbagai kesempatan telah menyebut adanya praktik-praktik manipulatif dalam sektor pertanahan, termasuk soal kewajiban pajak dan perizinan. Namun, jika yang dijadikan sorotan hanya satu perusahaan, sementara yang lain dibiarkan, maka upaya penertiban itu justru tidak akan menyentuh akar persoalan.
“Publik bukan tidak tahu. Banyak perusahaan yang punya masalah serupa atau bahkan lebih besar, tapi tidak pernah disentuh. Kalau mau adil, buka semuanya. Jangan hanya SGC yang dijadikan kambing hitam,” tegas Rizki.
Rizki mengingatkan, bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari stabilitas hukum dan kepastian berusaha.
Mereka menyayangkan jika narasi audit ini berkembang tanpa arah yang jelas, tanpa transparansi, dan justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang lawan politik atau kepentingan bisnis lainnya.
Mereka menyerukan agar DPR RI, Kementerian ATR/BPN, serta seluruh pemangku kebijakan berhati-hati dalam menyikapi isu ini dan tidak terjebak dalam tekanan opini sesaat yang justru merusak iklim investasi daerah.
“Lampung butuh keadilan hukum, bukan kebijakan yang diskriminatif. Jangan sampai kita kirim pesan ke luar bahwa Lampung tidak ramah terhadap investor. Itu akan sangat fatal bagi pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja di masa depan,” pungkas mereka.
( TRIBUNLAMPUNG.CO.ID / RIYO PRATAMA )