Berita Lampung

Pengamat Fisip Unila Nilai Program MBG Perlu Desentralisasi dan Pengawasan Ketat

Sigit Krisbintoro menilai, keberlangsungan program MBG membutuhkan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi serta pengawasan ketat.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Reny Fitriani
Dokumentasi
PENGAWASAN KETAT - Pengamat kebijakan publik Fisip Unila Sigit Krisbintoro. Pihaknya menilai, keberlangsungan program MBG membutuhkan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi serta pengawasan ketat. 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung – Pengamat kebijakan publik dari FISIP Universitas Lampung Sigit Krisbintoro menilai, keberlangsungan program Makan Bergizi (MBG) membutuhkan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi serta pengawasan ketat dari pemerintah.

Menurut Sigit, secara administratif dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program MBG memang harus memiliki tiga sertifikat, yakni sertifikat laik higiene sanitasi, sertifikasi halal, dan sertifikasi keamanan pangan.

Sigit menilai pemenuhannya membutuhkan waktu dan strategi.

Dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus memiliki sejumlah sertifikat yang menjadi syarat mutlak, bukan lagi sekadar administratif. 

Usai marak temuan kasus keracunan, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menyoroti soal Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) yang semestinya wajib dimiliki setiap dapur MBG, sebagai bukti pemenuhan standar mutu serta persyaratan keamanan pangan. 

Namun, KSP justru menemukan dari 8.583 SPPG atau dapur MBG, hanya 34 SPPG yang memiliki SLHS, sehingga 8.549 lainnya belum mengantongi SLHS sampai 22 September 2025. 

“Yang perlu dilakukan pertama adalah pengawasan yang kontinu terhadap SPPG agar program MBG bisa berlangsung tanpa ada masalah keracunan makanan,” ujar Sigit, Sabtu (4/10/2025).

Kedua, lanjutnya, pemerintah sebaiknya mendesentralisasikan pengelolaan MBG kepada kelompok atau komunitas masyarakat.

Pemerintah cukup menetapkan regulasi dan melakukan pengawasan.

“Tidak perlu ada struktur dan privatisasi dalam pengelolaan MBG. Serahkan saja kepada kelompok masyarakat. Di sekolah bisa melalui komite sekolah, di desa bisa melibatkan karang taruna, PKK, atau risma. Intinya, berikan kepercayaan kelompok masyarakat untuk mengelola MBG,” paparnya.

Ia menekankan, jika pengelolaan diserahkan kepada kelompok masyarakat, maka tanggung jawab juga melekat pada mereka.

“Jadi kalau ada masalah seperti keracunan, kelompok dan komunitas masyarakat yang mengelola MBG yang bertanggung jawab. Saya kira mereka tentu bisa lebih berhati-hati karena melayani anggotanya sendiri,” kata Sigit.

Sigit menambahkan, hal lain yang harus diperhatikan adalah penentuan kelompok sasaran program.

Ia menilai MBG sebaiknya difokuskan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

“Program tidak harus populis atau pukul rata terhadap semua masyarakat. Dengan sasaran yang tepat, nilai program MBG bisa lebih besar untuk memenuhi gizi masyarakat yang membutuhkan,” jelasnya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya keberadaan satuan pengawasan yang terstruktur dari tingkat nasional hingga desa.

“Ke depan yang dibutuhkan adalah satuan pengawasan dari tingkat nasional sampai tingkat desa agar program MBG berjalan berkelanjutan,” pungkasnya.

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved