Pembunuh Bocah Pas Pergi Mengaji Divonis Bui 10 Tahun, Ibu Korban Histeris Tak Terima
RH (18), pembunuh MA (10), bocah perempuan yang ditemukan tewas saat hendak berangkat mengaji, akhirnya mendapatkan hukumannya dari majelis hakim.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Kendari - RH (18), pembunuh MA (10), bocah perempuan yang ditemukan tewas saat hendak berangkat mengaji, akhirnya mendapatkan hukumannya dari majelis hakim.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kolaka menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap RH, Kamis (2/10/2025).
Keputusan hakim terhadap pelaku pembunuhan keji anak perempuan inisial MA (10) di Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara memicu perdebatan sengit. Hukuman ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 7 tahun 6 bulan, tetapi dianggap jauh dari kata adil oleh keluarga korban.
Saat sidang tuntutan tersebut, orang tua MA sempat datang ke pengadilan. Begitu mendengar tuntutan jaksa, orang tua MA dan keluarga murka. Bahkan, ibu MA sempat histeris.
Koltim adalah satu di antara kabupaten di Provinsi Sultra, Indonesia. Ibu kota Kabupaten Kolaka Timur adalah Tirawuta. Wilayahnya memiliki potensi di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kolaka pada tahun 2013. Perekonomian di Kolaka Timur didukung oleh sektor pertanian dengan komoditas utama seperti padi, kakao, dan merica, serta sumber daya alam lain seperti pertambangan.
Dikutip Tribunlampung.co.id dari TribunnewsSultra.com, Ketua Majelis Hakim, Arief Herdiyanto Kusumo menyebut, RH terbukti bersalah, saat membacakan putusan di PN Kolaka.
"RH telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana dalam dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana penjara kepada anak selama 10 tahun,” ujar Arief, Kamis (2/10/2025).
Insiden tragis ini bermula pada Jumat, 5 September 2025, saat MA dan adiknya hendak pergi mengaji di Desa Wundumbite, Kecamatan Poli-polia, Kabupaten Koltim.
Di tengah perjalanan, mereka diadang oleh RH yang kemudian menyeret MA ke dalam kebun cokelat. Di sanalah, MA tewas digorok.
Meskipun RH terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP, hakim memvonisnya dengan hukuman yang dianggap ringan.
Hal ini disebabkan status RH sebagai anak di bawah umur saat kejadian, meskipun kini telah berusia 18 tahun.
Pasal 340 KUHP mengatur ancaman hukuman yang sangat berat, yaitu pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara maksimal 20 tahun.
Namun, jaksa dan hakim terikat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Menurut UU SPPA, pidana penjara bagi anak paling lama adalah setengah dari ancaman maksimum pidana penjara bagi orang dewasa.
Inilah yang menjadi dasar hukum bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka dalam menetapkan tuntutannya.
Penjelasan JPU dan Asas Lex Specialis
Kepala Seksi Intelijen Kejari Kolaka, Bustanil Arifin, menjelaskan tuntutan jaksa didasarkan pada prinsip hukum lex specialis derogat legi generali.
Asas ini berarti hukum yang bersifat khusus (dalam hal ini UU SPPA) akan mengesampingkan hukum yang bersifat umum (KUHP).
Dengan demikian, meskipun perbuatan RH tergolong sadis dan memenuhi unsur pembunuhan berencana, penegak hukum wajib menggunakan UU SPPA karena pelaku masih berstatus anak saat kejahatan dilakukan.
Tuntutan 7 tahun 6 bulan yang diajukan JPU didasarkan pada Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak dan Pasal 340 KUHP, tetapi penerapan hukuman maksimal tetap disesuaikan dengan aturan khusus yang berlaku untuk anak.
"Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa," ujar Bustanil.
Sementara itu, keluarga korban, melalui kerabatnya Andi Arjan Syaputra, tidak puas dengan putusan ini.
Mereka berpendapat bahwa RH seharusnya dihukum lebih berat karena telah berumur 18 tahun pada saat proses peradilan berlangsung.
Kekecewaan ini mendorong mereka untuk menyuarakan revisi Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya terkait batasan usia.
"Kami keluarga tidak akan berhenti bersuara agar Undang-Undang Perlindungan Anak ini mohon direvisi kembali. Usia 17 tahun sudah bisa membuat KTP,” kata Arjan usai persidangan.
Mereka merasa bahwa usia 17 tahun, yang sudah bisa membuat KTP, seharusnya sudah dianggap dewasa dalam hal pertanggungjawaban pidana untuk kejahatan seberat ini.
Kasus ini menjadi cerminan dari kompleksitas sistem hukum pidana anak di Indonesia.
Di satu sisi, undang-undang berupaya melindungi hak-hak anak dan memberikan kesempatan untuk rehabilitasi.
Namun di sisi lain, hal ini sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan bagi keluarga korban yang merasa hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan penderitaan dan kerugian yang mereka alami.
Pengadilan Negeri Kolaka berada di Jalan Pemuda, Kelurahan Laloeha, Kecamatan Kolaka.
Jaraknya dengan Kejaksaan Negeri atau Kejari Kolaka sekira 130 meter, waktu tempuh 1 menit.
Sementara, jarak PN Kolaka dengan lokasi pembunuhan di Desa Wundumbite sekira 43,9 kilometer (km), waktu tempuh 1 jam 27 menit berkendara motor atau mobil.
Ibu MA Histeris
Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Kolaka berubah haru dan mencekam, Selasa (30/9/2025).
Udin, ayah dari MA (10), bocah yang tewas dibunuh secara sadis di Kolaka Timur, tak mampu membendung emosi ketika mendengar tuntutan jaksa terhadap pelaku RH (18) hanya 7 tahun penjara.
Sorot matanya tajam, penuh amarah terpendam. Namun, begitu jaksa membacakan tuntutan, amarah itu pecah. Udin berteriak, menyuarakan rasa kecewa yang sulit dibendung.
“Orangtua siapa yang mampu terima,” ujarnya dengan suara bergetar, menahan luapan emosi.
Bagi keluarga MA, tuntutan jaksa terasa sangat ringan, jauh dari keadilan yang mereka harapkan. Putri kecil mereka tewas dengan cara keji, leher digorok saat hendak pergi mengaji. Luka mendalam itu, kata mereka, tak sebanding dengan hukuman 7 tahun penjara yang dijatuhkan kepada pelaku.
“Jauh-jauh kita datang dari Koltim, Pak. Pas sudah di sini ternyata sidangnya sudah selesai dan dituntut tujuh tahun penjara,” ungkap seorang anggota keluarga.
Perjalanan panjang yang mereka tempuh hampir dua jam dari Desa Wundubite, Kolaka Timur, terasa sia-sia.
Harapan untuk mendengar keadilan seolah sirna digantikan rasa kecewa dan pilu. Di tengah amarah Udin, istri sekaligus ibu korban tak kuasa menahan tangis.
Ia jatuh histeris di ruang sidang, melontarkan pertanyaan pedih kepada aparat hukum.
“Bagaimana perasaanmu itu, Pak, kalau dikasih begitu anakmu? Kira-kira kau akan ikuti itu?” ucapnya lirih, sebelum akhirnya dipeluk erat oleh suaminya.
Kronologi Peristiwa
Kasus ini bermula pada Jumat pagi, 5 September 2025. MA, bocah berusia 10 tahun, berangkat mengaji bersama adiknya W (7) dengan sepeda listrik.
Mereka menempuh jarak sekitar 1,3 kilometer dari rumahnya di Desa Hakambololi menuju tempat mengaji di Desa Wundubite, Kecamatan Poli Polia, Kolaka Timur.
Namun di tengah perjalanan, RH menghadang mereka dengan sebilah parang.
Sang adik berhasil melarikan diri dan meminta pertolongan warga, sementara MA dikejar hingga ke kebun. Di situlah RH menghabisi nyawa bocah itu dengan menebas lehernya.
“Diduga tersangka dendam dengan perkataan korban yang sering mengejek,” ungkap Iptu Irwan.
Warga yang datang ke lokasi hanya bisa menemukan MA dalam kondisi bersimbah darah.
Bocah itu sempat dibawa ke RSUD Ladongi, Kolaka Timur, namun nyawanya tak tertolong.
Ancaman Hukuman
Pelaku RH kini diadili dengan jeratan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa yang ancamannya maksimal 15 tahun penjara.
Jika terbukti ada unsur perencanaan, ia bisa dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati, seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara.
Namun fakta bahwa jaksa hanya menuntut 7 tahun membuat keluarga korban merasa terhempas.
Mereka menilai hukuman itu tak sebanding dengan kejamnya perbuatan RH terhadap putri kecil mereka.
Luka yang Sulit Sembuh
Kini, keluarga MA harus menelan kenyataan pahit.
Anak perempuan mereka yang ceria, yang seharusnya sibuk menuntut ilmu agama bersama teman-temannya, pergi dengan cara yang tragis.
Kesedihan kian dalam ketika perjuangan panjang mencari keadilan justru berujung pada tuntutan yang dinilai terlalu ringan.
Bagi keluarga, luka itu akan terus membekas.
“Ini bukan hanya tentang anak kami, tapi tentang rasa keadilan untuk semua orangtua,” ujar Udin lirih, dengan tatapan yang masih menyiratkan marah dan kecewa.
Berita selanjutnya Fakta Baru Ayah MA Pertama Kali Lihat RH, Pembunuh Bocah Saat Berangkat Ngaji
pembunuh
Belasan Pengacara Bela Radiet Tersangka Kematian Mahasiswi Unram, Yakin Tak Bersalah |
![]() |
---|
Terungkap Pembunuh 2 Petani yang Jasadnya Terkubur di Kebun Alpukat |
![]() |
---|
Pembunuh Pengantin Baru di Tanah Laut Ternyata Kenalannya di Aplikasi Jejaring Sosial |
![]() |
---|
Buronan Jadi Anggota DPRD, Polisi Penerbit SKCK Akhirnya Didemosi 3 Tahun! |
![]() |
---|
Terkuak Pembunuh Wanita Berdaster di Kamar Kos, Irnakulata Dibunuh Pacar ABG |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.