Tegal Mas Lampung
Kisah Thomas Riska Jatuh Bangun Menyulap Pulau Tegal Mas, Bolak-balik ke Pantai Panggul Semen
Kisah Thomas Riska Jatuh Bangun Menyulap Pulau Tegal Mas, Bolak-balik ke Pantai Panggul Semen
Penulis: Andi Asmadi | Editor: Andi Asmadi
Kisah Thomas Riska Jatuh Bangun Menyulap Pulau Tegal Mas, Bolak-balik ke Pantai Panggul Semen
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, PESAWARAN - Perlu perjuangan untuk menjadikan Pulau Tegal Mas seperti sekarang. Dan, Thomas Azis Riska melakoni perjuangan itu dengan terjun langsung memimpin para pekerja. Ia bahkan ikut menggergaji kayu hingga memanggul semen dari pantai ke darat. Terkadang ia hanya punya waktu tidur 5 jam, berangkat kerja dari subuh ke subuh.
Thomas Riska semula enggan bercerita mengenai proses pembangunan Tegal Mas. "Janganlah, nanti dikira pamer dan mengada-ada," elaknya. Tapi, ia akhirnya luluh ketika dibujuk terus bahwa kisah yang ia lakoni bisa menjadi inspirasi bagi orang lain dalam menjalankan usaha, terutama semangat pantang mundur menghadapi halangan dan tantangan.
Masa-masa awal membangun Tegal Mas menjadi kenangan yang tak akan hilang dari ingatan Thomas Riska. Masa-masa di mana ia terbentur pada persoalan keuangan yang terbatas sementara tekadnya begitu besar untuk mewujudkan "mimpi" membangun kawasan resort di pulau yang berbentuk kepiting tersebut, dan tentunya membuktikan diri bahwa ia tidak "gila".
• Kisah Thomas Riska Jatuh Bangun Menyulap Pulau Tegal Mas, Malam-malam Ngutang Pecel Ayam
• Kisah Thomas Riska Membangun Tegal Mas, Terkatung-katung di Tengah Laut Nyaris Diterkam Hiu
Thomas sejatinya pengusaha. Ia pernah terjun ke politik namun tidak berhasil. Pria kelahiran Tanjungkarang 47 tahun lalu ini pernah menjadi Calon Wakil Gubernur Lampung dan pernah pula jadi caleg. Garis tangan yang membawanya kembali jadi pengusaha. Ia menemukan kembali iramanya ketika berhasil menjadikan Puncak Mas di Sukadanaham sebagai tempat wisata hits dua tahun lalu.
Saat mulai membangun Tegal Mas, Thomas menunjukkan totalitas dalam bekerja. Ia berangkat dari rumahnya sejak pagi seusai Salat Subuh, seharian sampai malam di lokasi memimpin pengerjaan, dan baru kembali lagi sekitar jam 11 malam.
Jaya, rekan kerjanya yang kerap menjadi sopir untuk mengantar ke tempat penyeberangan, mengaku sering ketinggalan mengikuti cara kerja Thomas. "Kalau pulang tengah malam, biasanya beliau berpesan agar besoknya berangkat siang saja. Tapi, jam 7 pagi beliau sudah siap berangkat. Siang bagi beliau ternyata jam 7 itu," tuturnya.
Jaya pula yang paling sering mengantar Thomas berangkat ke lokasi. Kadang terkantuk-kantuk karena kurang tidur. Sama halnya dengan Thomas yang setiap hari kurang tidur. Suatu hari ia mengemudikan mobil setengah tertidur hingga berhenti di suatu tempat. Jaya sengaja membiarkan karena tahu bosnya sangat kelelahan. Saat terbangun, Thomas mengira sudah di tempat penyeberangan. Padahal, tempat yang dituju masih jauh.
Thomas bersama empat orang rekannya dikenal sebagai lima sekawan. Empat orang itu adalah Heri, Jaya, Ali, dan satu lagi yang sudah meninggal dunia, Slamet. Mereka benar-benar mem-back up Thomas dalam kegiatan sehari-hari membangun Tegal Mas. Termasuk bersama-sama memanggul semen dari kapal ke darat. Memanggul belasan zak semen bagi Thomas kala itu sudah menjadi hal yang biasa.
• Thomas Riska Pernah Dicap Orang Gila Saat Hendak Membangun Pulau Tegal Mas
• Kisah Thomas Riska Bangun Pulau Tegal Mas di Lampung yang Penuh Spot Instagramable
Kalau saja Thomas punya dana yang cukup, mungkin ia tak perlu pontang-panting. Memang ada hasil dari tempat usaha di Puncak Mas, namun tentu saja tak cukup untuk "proyek gila" yang sedang dikerjakannya. Karena itu, ia tak malu untuk mengutang agar teman-teman dan para pekerjanya tetap bisa makan.
Yang paling krusial adalah beras. Dengan pekerja yang banyak, sampai puluhan orang, setiap hari perlu banyak amunisi. Penjual beras di Desa Hanura pun menjadi langganan utang. Sampai-sampai suatu ketika seorang penjual beras datang mencari Thomas meminta agar segera dibayar. Kenapa? Karena stok berasnya sudah habis diutangin.
Pernah pula, kata Ali dan Heri, mereka sembunyi-sembunyi saat melintas di Desa Hanura, khususnya di tempat penjual beras, karena belum ada uang untuk membayar. Hingga suatu ketika, mereka tidak bisa lagi bersembunyi karena mobil diadang di jalan.
Yang diutang bukan hanya bahan makanan, tapi juga bahan bangunan. Suatu hari, seorang mitra datang ke pulau khusus mencari Thomas karena utang sudah jatuh tempo. Karyawannya berkelit dengan mengatakan Thomas tidak ada di tempat. Padahal, saat itu Thomas sedang di dapur memasak untuk makan siang pekerja. Celakanya, sang mitra sempat melihat sekelebatan tubuh Thomas. Ia ketahuan. Akhirnya ia menegosiasi kembali pembayaran utang bahan bangunan itu.
Thomas mengaku punya banyak kisah di masa-masa sulit yang terkadang membuatnya mengurut dada dan menebalkan kesabaran. Untunglah, keluarganya bisa memahami sehingga dukungan itu menjadi spirit baginya dalam bekerja.
Karena kondisi keuangan sedang cekak, rumah pun digadaikan, mobil dan aset lain dijual. Toyota Fortuner yang biasanya sehari-hari dipakai mengantar anak ke sekolah juga dijual ke seorang temannya. Ada kisah menarik tentang mobil itu.
