Balada Sang Penjaga, dari Membersihkan, Memasak, Hingga Memandikan Gajah
Konflik gajah Taman Nasional Way Kambas (TNWK) secara konsisten kerap diulas Tribun Lampung dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir.
Penulis: Indra Simanjuntak | Editor: soni
Laporan Reporter Tribun Lampung Indra Simanjuntak
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, WAY KAMBAS - Konflik gajah Taman Nasional Way Kambas (TNWK) secara konsisten kerap diulas Tribun Lampung dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. Namun, hingga kini, gajah keluar dari dalam kawasan masih menjadi persoalan. Dan entah, sampai kapan, interaksi kita dengan hewan bernama latin Elephas Maximus Sumatranus itu, akan terus menjadi persoalan.
Kemarin, 16 hingga 18 Maret, saya melongok lebih dekat sekaligus mengikuti aktivitas penjagaan gajah di Elephant Respon Unit atau dikenal Eru, yang berlokasi di Tegal Yoso, SPTN wilayah II Bungur TNWK. Eru merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan sejumlah lembaga asing.
Hampir mirip dengan TNWK, Eru Tegal Yoso merupakan satu dari tiga pos di dalam kawasan, yang berfungsi menjaga gajah untuk tidak menyeberang keluar. Bedanya, TNWK merupakan satu dari tiga habitat (TNBBS dan TNGL) yang tersisa, dan merupakan benteng terakhir penjaga gajah sumatera dari kepunahan.
Eru berisi 10 personil. Terdiri dari lima pawang dan lima helper. Setiap hari, hanya sekitar enam hingga tujuh awak yang menghuni camp karena giliran kerja. Tiap anggota digilir masuk selama 12 hari (dalam camp) dan libur lima hari setelahnya. Kekuatan tim ditambah dengan adanya lima gajah terlatih.
Adapun tugas rutin Eru adalah patroli di dalam kawasan untuk memantau pergerakan gajah liar. Tim juga siap digerakkan jika mendapat laporan kawanan gajah memasuki area perkebunan atau pertanian warga. Kegiatan monitoring di sini sudah berlangsung selama empat tahun terakhir.
Suasana kekeluargaan sangat kental saya rasakan saat berada di camp Eru, meski hanya tiga hari dua malam. Semua dilakukan secara bersama-sama. “Ya beginilah Eru. Mungkin karena kita jauh dari keluarga, dan hanya kita yang tinggal di sini, ya inilah keluarga kita. Termasuk gajah. Setiap pagi kita bagi tugas. Ada yang membersihkan, ada yang bagian masak. Baru kita memandikan gajah,” tutur Adi Sutirto, salah satu pawang gajah Eru.
Pria 38 tahun ini bahkan berseloroh jika gajah sebagai keluarga pertama ketimbang anak istri di rumah. Ini dikarenakan durasi waktu yang lebih lama bersama mamalia darat terbesar itu. Bermain, berlatih, hingga patroli puluhan kilo meter, merupakan ikatan yang dibangun tidak dalam waktu singkat oleh para pawang dengan gajahnya untuk mendapat rasa kepercayaan.
Rasa kepercayaan ini juga yang memberanikan diri saya untuk ikut patroli menaiki gajah. Berkecamuk rasanya berada di atas gajah dengan ketinggian dua hingga tiga meter dari tanah. Pasrah dan berserah menyusuri lebatnya hutan TNWK. Dan tentu saja takjub, bagaimana hewan besar tinggi ini bisa mematuhi instruksi pawang.
“Gajah ini punya ingatan yang luar biasa. Sebagai pawang, biasanya kami butu waktu tiga sampai enam bulan untuk gajah terlatih, baru bisa sepaham. Bahkan, kalau kita patroli, kita percaya saja. Mau jalan kemana, itu pasti bisa pulang ke camp. Jadi enggak nyasar. Seperti punya GPS sendiri,” imbuhnya.
Kemampuan ingatan gajah ini pun terbukti pada hari kedua berada di camp Eru. Dimana ketika kami tengah patroli sekitar pukul 17.30 WIB, satu gajah bernama boy secara mengejutkan berlari saat dimandikan pawangnya. Pencarian selama satu jam lebih pun dilakukan hingga gelap malam. Boy tak kunjung ditemukan. Tim memutuskan balik ke camp karena tidak membawa peralatan lengkap.
Pukul 23.30 WIB, saat beberapa di antara kami lelap tertidur, seorang rekan mendengar suara langkah gajah mendekati camp. Kami pun terjaga. “Boy. Itu boy,” bisik Adi. Seketika perasaan bahagia menyelimuti camp Eru. Boy kembali dengan sendirinya. Luar biasa. Terbesit dalam hati, bagaimana mungkin, spesies penjaga keseimbangan ekosistem ini bisa dianggap hama perusak kebun maupun lahan pertanian.