Liputan Khusus Tribun Lampung
Pasien Cuci Darah Melonjak 16 Ribu Kasus di Lampung
Tak tanggung-tanggung, pengobatan untuk pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal itu, melonjak hingga 16 ribu kasus dalam kurun waktu satu tahun.
Penulis: Romi Rinando | Editor: Ridwan Hardiansyah
Laporan Reporter Tribun Lampung Romi Rinando
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Tindakan medis cuci darah mengalami kenaikan drastis di Lampung dalam dua tahun terakhir.
Tak tanggung-tanggung, pengobatan untuk pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal itu, melonjak hingga 16 ribu kasus dalam kurun waktu satu tahun.
Data BPJS Kesehatan cabang Bandar Lampung, yang meliputi Bandar Lampung, Lampung Selatan (Lamsel), Pesawaran, Pringsewu, dan Tanggamus, menunjukkan jumlah tindakan medis cuci darah pada 2015 mencapai 52.721 kasus.
Adapun, total biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan mencapai Rp 50,29 miliar.
Satu tahun berselang, angka kasus cuci darah mengalami peningkatan pesat.
Jumlah kasus pada 2016 tercatat menjadi 68.968 kasus, dengan total biaya Rp 63,67 miliar.
Dan, hingga semester pertama 2017, jumlah tindakan medis cuci darah telah mencapai 30.861 kasus dengan total biaya Rp 26,21 miliar.
Staf Komunikasi Publik BPJS Kesehatan cabang Bandar Lampung, Mudayanto membenarkan bahwa terjadi tren peningkatan jumlah kasus cuci darah di BPJS cabang Bandar Lampung.
Jumlah kasus cuci darah merupakan perhitungan setiap kali ada tindakan cuci darah.
Sehingga jika pasien rutin melakukan cuci darah dua kali seminggu, ia akan tercatat menjalani 104 kali tindakan cuci darah selama setahun.
Sepanjang tiga tahun terakhir, cuci darah selalu menempati urutan pertama pada tindakan rawat jalan tingkat lanjut (RJTL), berdasarkan total biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan cabang Bandar Lampung.
"Kami ada data jumlah pasien, tetapi itu perlu membuka database. Sementara, jumlah alat hemodialisis dan penyebarannya, itu kewenangan dinas kesehatan," jelas Mudayanto.
Dibanding dua cabang BPJS lain di Lampung, Mudayanto memaparkan, jumlah kasus cuci darah masih tertinggi di BPJS cabang Bandar Lampung.
"Kalau dilihat dari penyebaran rumah sakit yang tersedia alat hemodialisis, di sini memang masih lebih tinggi jumlah kasusnya," ungkapnya.
Dalam sistem BPJS, Mudayanto menerangkan, pasien rujukan seharusnya diutamakan ke fasilitas kesehatan di daerah pasien tinggal.
Kecuali jika, rumah sakit rujukan tidak memiliki alat, tenaga kesehatan, atau dalam kondisi penuh.
"Itu baru bisa dirujuk ke daerah lain. Tetapi, itu juga yang terdekat (dari tempat tinggal pasien)," ujar Mudayanto.
Alat Masih Kurang
Humas Dinas Kesehatan (Diskes) Lampung Asih Hendrastuti mengklaim, alat hemodialisis sudah tersebar merata di rumah sakit-rumah sakit di Lampung.
Meski begitu, ia mengakui, jumlah alat yang ada belum ideal dengan jumlah pasien.
Tetapi, Asih tidak merinci jumlah alat maupun pasien hemodialisis di Lampung.
"Karena untuk rumah sakit tipe C, memang belum banyak yang memiliki alat tersebut," ungkap Asih.
Sementara, rumah sakit tipe B wajib memiliki alat hemodialisis.
Di Lampung, ada tiga rumah sakit tipe B.
Dua di antaranya berada di Bandar Lampung, yaitu RSUAM dan RS Urip Sumoharjo.
Sedangkan, satu lagi adalah RSU Ahmad Yani Metro.
"Meskipun penyebaran alat hemodialisis belum merata, bukan berarti pasien yang akan cuci darah menjadi tidak tertangani," ucap Asih.
Hal itu karena penanganan tergantung kondisi pasien, apakah masuk kategori gawat atau telah memiliki jadwal cuci darah.
"Sebenarnya bukan masalah alat. Kalau pasien itu gawat harus cuci darah, mereka bisa dirujuk ke rumah sakit yang ada alat sedang tidak dipakai," jelas Asih.
RSUAM Penuh
Kasubbag Humas Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM), Akhmad Sapri menjelaskan, di rumah sakit pelat merah itu, terdapat 40 unit alat hemodialisis.
Sedangkan, jumlah pasien yang melakukan cuci darah bisa mencapai 80 orang sehari.
"Jadi, setiap hari itu rata-rata ya penuh," terang Sapri.
Untuk melayani jumlah pasien yang dua kali lebih banyak dari jumlah alat, Sapri menuturkan, pelayanan cuci darah dibagi dalam dua shif, yaitu pagi dan sore, dalam satu hari.
Pembagian cuma bisa dilakukan dalam dua shif karena proses cuci darah untuk satu pasien bisa sampai lima jam.
"Kalau pagi itu, pukul 08.00-13.00, siang pukul 13.00-18.00," katanya.
Meski begitu, Sapri menerangkan, pihaknya juga tetap membuka pelayanan cuci darah saat malam.
"Kalau yang malam jarang. Biasanya, itu sifatnya mendadak. Misalnya, ada pasien yang baru didiagnosis gagal ginjal terus harus menjalani proses cuci darah. Itu di luar jadwal rutin," ungkap Sapri.
Pasien cuci darah di RSUAM, Sapri memaparkan, mayoritas berasal dari Bandar Lampung.
Hal itu karena rumah sakit yang memiliki fasilitas alat cuci darah sudah banyak tersebar di daerah-daerah di Lampung.
"Tadinya, memang hanya RSUAM saja yang ada fasilitas hemodialisis. Tetapi sekarang, rumah sakit di daerah juga sudah punya," ujar Sapri.
Biaya Tinggi
Sementara itu, M Nasir, warga Baradatu, Way Kanan yang mengalami gagal ginjal, mengaku sudah setahun terakhir menjalani pengobatan cuci darah di RSUAM di Bandar Lampung.
Ia didiagnosis mengalami gagal ginjal pada 2016, dan direkomendasikan untuk cuci darah sebanyak dua kali seminggu.
Biasanya, Nasir menghabiskan waktu selama dua bulan di Bandar Lampung. Lalu, ia pulang ke Way Kanan selama tiga hari.
"Misalnya, saya kangen cucu, saya pulang ke Baradatu," tutur Nasir, beberapa waktu lalu.
Ia menuturkan, biaya cuci darah memang telah ditanggung BPJS.
Meski begitu, ia masih harus merogoh kocek pribadinya hingga Rp 50 juta, sebagai biaya lain-lain selama menjalani pengobatan itu.
"Saya pakai BPJS untuk biaya cuci darah. Tetapi untuk hal lain, seperti transportasi dari Way Kanan, sewa tempat tinggal di Bandar Lampung, makan, dan kebutuhan lain selama di Bandar Lampung, saya pakai uang sendiri," ungkap Nasir.
Menurut Nasir, ia harus melakukan cuci darah di Bandar Lampung karena di daerah tempat tinggalnya, di Way Kanan, tidak ada rumah sakit yang memiliki alat cuci darah.
Agar bisa rutin melakukan cuci darah dua kali seminggu, Nasir memutuskan untuk menyewa rumah seharga Rp 400 ribu sebulan, di dekat RSUAM.
"Saya sewa rumah karena tak punya kerabat juga di Bandar Lampung. Setahun (melakukan cuci darah) itu, sudah menghabiskan Rp 50 juta," ungkap pria yang pernah bekerja sebagai penghulu tersebut. (rri/val)