Komunitas Jawa di Suriname - Dari Keturunan Banyumas yang Nyapres Hingga Kiriman Gamelan Raja Jogja
Komunitas Jawa di Suriname - Dari Keturunan Banyumas yang Nyapres Hingga Kiriman Gamelan Raja Jogja
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, pemerintah Belanda mengirimkan 33.000 orang Jawa, kuhususnya dari Jawa Tengah, untuk menjadi budak di Suriname.
Sistem perbudakan itu adalah kontrak dan jika sudah selesai kontraknya, maka mereka boleh kembali ke Indonesia.
Baca: FOTO Siswa SMA Maarif Metro Berkunjung ke Tribun Lampung
Suriname adalah sebuah negara kecil yang pernah menjadi jajahan Belanda dengan nama Holandia.
Suriname terletak di Amerika Selatan dan berbatasan dengan Brasil dan Guyana.
Kedatangan suku Jawa ke Suriname bertahap antara tahun 1890-1939.
Hampir seluruh suku Jawa yang ada di Suriname menjadi pekerja dalam sektor perkebunan tebu.
Baca: Beredar di Media Sosial Istri Panglima TNI Keturunan Tionghoa, Akun TNI AU Beri Komentar Menohok
Program migrasi ke Suriname telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sehingga kehidupan ekonomi di Jawa bisa berkembang lebih baik.
Itulah salah satu sejarah migrasi dari Pulau Jawa.
Setelah masa kontrak para orang Jawa itu habis, hanya sekitar 8.000 - 9.000 orang yang memilih kembali ke Indonesia, dan sisanya menetap hingga sekarang.
Suriname menjadi negara merdeka pada tanggal 25 November 1975.
Sejak kemerdekaan itu, muncul berbagai partai politik yang berciri khas Jawa dan Indonesia.
Nama partainya antara lain, Pendawa Lima, Pertjatja Luhur, dan partai Indonesia lainnya.
Partai ini muncul bukan berdasarkan ideologi atau pandangan polotik, namun rasa kesamaan suku dan budaya.
Dari beberapa kali pesta poltik di Suriname, tercatat sebanyak 68 orang Indonesia-Suriname yang berhasil menjadi dewan (DPR), dan 30 orang sebagai menteri.
Saat ini, sekitar 75.000 suku Jawa menjadi warga tetap di Suriname, dan merupakan suku terbesar ke-3 setelah Hindustan India dan suku asli Suriname.
Agama mayoritas para Jawa-Suriname ini adalah Islam, sehingga Suriname juga menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam Internasional.
Meski sudah lebih dari seratus tahun tinggal jauh dari Indonesia, kebudayaan Jawa di Suriname tidak pernah hilang.
Di distrik-distrik yang ditinggali orang Jawa, Anda bisa mendengar bahasa Jawa "ngoko" (kasar) masih digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa Jawa juga lebih populer dibandingkan bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia tidak diajarkan di sekolah dan jarang digunakan di rumah.
Tidak hanya masalah bahasa saja, bahkan budaya Jawa juga masih terus dilaksanakan.
Misalnya, wayang kulit, wayang orang, tayub, karawitan, tarian jaran kepang, dan ludruk.
Tarian jaran kepang adalah kesenian yang banyak disukai di Suriname dan menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke sana.
Sultan Hamengkubuwono X juga pernah mengirimkan satu set alat gamelan ke Suriname sebagai hadiah persaudaraan.
Suku Jawa di Suriname juga masih sangat aktif berpolitik dan menjadi anggota dewan.
Bahkan di tahun 2015, seorang keturunan Banyumas, Jawa Tengah yaitu Raymond Sapoen mencalonkan diri sebagai presiden Suriname.
Sayangnya, Raymond gagal karena sistem pemilihan suara di Suriname tidak menggunakan pemilu.
Dikutip dari wikipedia.com, hingga saat ini masih banyak orang Jawa di Suriname yang sering berkunjung ke Indonesia untuk bertemu sanak saudaranya.
Jika ditanya, mereka tetap menganggap Indonesia adalah tanah air mereka meskipun banyak yang lahir di Suriname.
Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat Suriname, beberapa orang sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah di Indonesia.
Hubungan persaudaraan ini dijembatani oleh organisasi Suriname Indonesia Friendship Association (SIFA).
Ternyata, suku Jawa tetap eksis meski sudah tidak tinggal di Indonesia lagi.
Berita ini telah tayang di Intisari Online dengan judul: Orang-orang Jawa di Suriname: Mulai dari Menari Jaran Kepang Sampai Jadi Calon Presiden!
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lampung/foto/bank/originals/komunitas-jawa-di-suriname_20171211_184158.jpg)