Tak Hanya Monopoli Dagang, VOC pun Gila Hormat hingga Dibikin Tata Cara Menghormati Mereka
Untuk berani menghujat atau membela, kita tentu perlu sedikit tahu tentang sepak terjang VOC di Indonesia.
Klausul kontrak menyebutkan, VOC diberi hak memakai sebidang tanah seluas 50 x 50 vadem (1 vadem = enam kaki, 182 cm). Dengan bayaran, 1.200 rijksdaalder (1 rijksdaalder = dua setengah gulden).
Pemberian hak tersebut dengan catatan, dilarang mendirikan benteng. Wilayah itu kini ada di sekitar kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Namun, janji tinggallah janji. Gubernur Jenderal VOC keempat, Jan Pieterszoon Coen (dilantik tahun 1618), mengkhianati perjanjian ini. Tak puas hanya mendirikan benteng, ia membawa pasukannya menyerbu Istana Wijaya Krama.
Berikutnya, ia mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia setahun kemudian. Maka, dimulailah aksi VOC sebagai negara berkedok kongsi dagang.
Sembari "membangun" Batavia, yang tempat tinggal penduduknya dikelompokkan menurut daerah asal, warna kulit, dan agama (agar tak gampang membaur), VOC berekspansi. Dalam 30 tahun, mereka berhasil melemahkan pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara dan sekitarnya.
Termasuk aksi pada tahun 1621, yang membawa VOC menghancurkan pangkalan Spanyol di Banda Neira. Sedangkan Malaka direbut dari Portugis pada tahun 1641. Disusul pengusiran Spanyol dari Ternate pada tahun 1689.
Penguasaan penuh atas Maluku pada tahun 1655 membuat monopoli cengkih VOC tak lagi mendapat halangan berarti. Penduduk dipaksa menjual cengkih dengan harga miring, hanya pada VOC. Jika menolak, nyawa taruhannya.
Di Banda Neira, karena ditolak membangun benteng, JP Coen memerangi rakyat di sana selama empat hari (8-11 Maret 1621). Ratusan rakyat tewas, puluhan desa dibakar, 44 pemimpin rakyat dipenggal. Sisa rakyat yang masih hidup dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak.
Sementara itu, perlawanan Banten dan Makassar yang sebelumnya amat kuat terus melemah. Gara-garanya, VOC menyibukkan mereka dengan perebutan kekuasaan dan peperangan antarsaudara.
Sedangkan Mataram, yang pada zaman Sultan Agung sempat dua kali menyerang Batavia, dipaksa berdamai menyusul wafatnya Sultan Agung pada tahun 1646.
Masa kemasan VOC sebagai negara diyakini terjadi tahun 1755-1799. Saat itu, sejumlah kerajaan lokal tak lagi punya gigi. Sedangkan jalur laut antara Maluku-Amsterdam lewat Tanjung Harapan amat terjamin keamanannya.
Gila Hormat
Ironisnya, pada saat bersamaan, sebagai sebuah kongsi, VOC justru memasuki babak paling suram. Korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan nafsu kemewahan merasuki para pemimpinnya.
Konon, Gubernur Jenderal van Hoorn sempat menumpuk harta senilai 10 juta gulden saat kembali ke Belanda pada tahun 1709. Padahal, gaji resminya cuma 700 gulden sebulan.
Kekayaan itu diperoleh dari memotong kas VOC, upeti, manipulasi setoran hasil bumi, hingga menerima sogokan calon pegawai VOC. Gubernur Jenderal lain pun setali tiga uang.