Tak Hanya Monopoli Dagang, VOC pun Gila Hormat hingga Dibikin Tata Cara Menghormati Mereka

Untuk berani menghujat atau membela, kita tentu perlu sedikit tahu tentang sepak terjang VOC di Indonesia.

Editor: Yoso Muliawan
ptpn10
VOC yang menguasai perkebunan Nusantara | ptpn10 

Sialnya, kenakalan mereka tak gampang diketahui pengurus di Belanda. Pasalnya, banyak laporan keuangan VOC yang dirahasiakan. Dengan dalih, akan membahayakan keamanan negara jika dipublikasikan.

Kian tak mencurigakan, karena VOC tak pernah absen membayar dividen buat para pemegang saham. Padahal, kas VOC selalu gali-lubang-tutup-lubang, dengan meminjam uang dari bank-bank di Amsterdam.

Di sisi lain, sama sekali tidak ada kesadaran untuk membayar jerih payah para petani dengan harga pantas.

Kemiskinan pun merajalela. Karena, selain menyetor kepada kompeni, rakyat kadang masih harus memberi upeti kepada raja.

Pengurus VOC di Batavia hidup bak bandit tanpa bos. Semisal soal pengangkatan gubernur jenderal. Dahulu, mereka dipilih oleh de Heeren XVII. Namun lama-kelamaan, cuma diangkat oleh de Hooge Regeering, pengurus VOC di Batavia. Jabatan ini sebagian besar digenggam seumur hidup.

Selain gila uang, mereka juga gila pangkat dan kehormatan. Pada 24 Juni 1719 misalnya, Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi yang mengatur secara rinci penghormatan terhadap para pejabat.

Jika sang Gubernur Jenderal lewat, warga keturunan Eropa harus menunduk sedikit. Sedangkan warga non-Eropa kudu menyembah.

Aturan ini membuat pejabat "eselon" di bawahnya berlomba-lomba menciptakan cara penghormatan "paling keren".

Keadaan menjadi kacau. Sebelum kian parah, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1754) mengeluarkan aturan yang merinci penghormatan terhadap pejabat.

Satu di antaranya, kereta kaca dengan dua jalur kursi yang ditarik enam ekor kuda, berhiaskan warna emas, dan dikusiri orang Eropa, hanya boleh dinaiki Gubernur Jenderal.

Di sisi lain, meluasnya sejumlah kekuatan luar yang berhasil ditaklukkan, membuat biaya untuk mempertahankan hegemoni menjadi sangat besar. Ini diperparah dengan masuknya orang-orang pemerintahan dalam kepengurusan de Heeren XVII.

Sejak tahun 1749, Staten Generaal menetapkan Raja Willem IV sebagai pemimpin dan panglima tertinggi VOC. Sejak itu, banyak pejabat pemerintah menjadi anggota de Heeren.

Sayangnya, "Mereka yang dipilih kebanyakan orang-orang tua yang punya vested interest (kepentingan pribadi). Akibatnya, fungsi pengawasan terhadap organisasi VOC di Batavia yang semestinya dilakukan dengan ketat, justru menjadi ajang mencari keuntungan pribadi," ulas Mona Lohanda, sejarawan yang menyusun Indeks Arsip VOC.

Ini berbeda dengan pola kolonialisme Inggris. Kongsi dagang mereka, EIC, hanya berperan dalam urusan maupun monopoli perdagangan.

"Jika sudah menyangkut kekuasaan dan pengaturan pemerintahan, diserahkan kepada pejabat yang langsung didatangkan dari Inggris, yang menguasai bidang pekerjaannya," papar Mona.

Halaman
1234
Sumber: Intisari Online
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved