Soal Kemungkinan Kalla Kembali Jadi Cawapres Jokowi, Pengamat Ini Beri Komentar Pedas

Menurut Lili, sebagai pendidikan politik, maka pemilu harus memberikan pencerdasan, rasionalitas, kemajuan bagi bangsa dan masyarakat.

KOMPAS.com/ MOH NADLIR
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Pencalonan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden justru akan menjadi potret buruk demokrasi Indonesia.

Hal itu dikatakan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli.

Saat ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar masih mempertimbangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kembali mendampingi Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019.

"Tidak bagus untuk demokrasi. Karena tujuan pemilu adalah, salah satunya, memberikan pendidikan politik. Kedua, sirkulasi," kata Lili di Menteng, Jakarta, Sabtu (5/5/2018).

Baca: Tak Mau Kecolongan, Khamami Wawancarai Calon Penerima Bantuan Rumah

Menurut Lili, sebagai pendidikan politik, maka pemilu harus memberikan pencerdasan, rasionalitas, kemajuan bagi bangsa dan masyarakat.

"Bahwa dalam rangka pemilu banyak pemimpin-pemimpin yang baik," ucap Lili.  

Sedangkan, sebagai sirkulasi, tujuan pemilu adalah melakukan pergantian. Karena itu, dalam demokrasi perlu adanya pembatasan masa kepemimpinan.

"Hukum alam dari kekuasaan kan ingin bertahan, dalam sistem demokrasi dibatasi kekuasaan itu. Harus ada pergantian, makanya pemilu," kata Lili.

Menurut Lili, fenomena saat ini menunjukkan bahwa partai politik hanya berpikir pendek dan tidak mau mencari alternatif lain. Padahal, rakyat punya hak untuk memilih calon pemimpinnya.

Baca: Kalahkan Ronaldo, Deddy Corbuzier Ungkap Rahasia Usia Biologisnya Setara Remaja 17 Tahun

"Apakah tidak ada calon-calon yang lain, yang mungkin tidak sebagus Pak Jusuf Kalla atau (bahkan) lebih bagus dari Pak Jusuf Kalla," kata Lili.

Lili menganalisis, ada beberapa alasan mengapa Jusuf Kalla masih didorong untuk mendampingi Jokowi. Padahal, UUD 1945 jelas melarang Jusuf Kalla kembali ikut sebagai cawapres.

Dorongan itu yakni ada kekhawatiran bahwa berdasarkan hitung-hitungan cawapres yang ada tidak memberikan kontribusi terhadap Jokowi. Kekhawatiran lain adalah resistensi masyarakat.

Menurut Lili, ada kekhawatiran, jika cawapres Jokowi tidak diterima oleh masyarakat, maka hal tersebut adalah sinyal kekalahan terhadap Jokowi pada Pilpres 2019.

Baca: Sogo Gelar Diskon Spektakuler, Catat Tanggalnya!

"Sebenarnya, elektabilitas Jokowi tinggi. Tapi kemudian karena berkembang di masyarakat ada resistensi bahwa kalau Pak Jokowi harus menyandingkan dari kalangan Islam, dan itu ada di sosok Pak Jusuf Kalla," ujar dia.

Karena itu, Lili berharap Mahkamah Konstitusi bisa mengambil keputusan yang tepat atas gugatan pasal tentang syarat pencalonan diri presiden atau wapres di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Saya berharap MK tidak membuat sejarah yang kelam," kata Lili.

Lili pun juga berharap Jusuf Kalla secara tegas menolak niat PDI-P dan Partai Golkar untuk mendorong dirinya kembali mendampingi Jokowi dua periode.

Baca: Cak Imin Sebut Jokowi Bisa Kalah, jika…

"Harus ada respons dari Pak Jusuf Kalla bahwa, 'saya tidak bersedia'. Karena ini legacy buat Pak Jusuf Kalla. Dia sebagai negarawan harus ditutup dengan kontribusi untuk memberikan kesempatan regenerasi buat yang lain," ucap Lili.

Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sementara, Jusuf Kalla sudah dua kali menjadi wakil presiden, yakni pada periode 2004-2009 dan 2014-2019. Aturan yang menghalangi JK untuk maju lagi sebagai cawapres juga terdapat dalam Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal tersebut memberikan syarat bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk maju di Pilpres, yaitu: belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama.

Namun saat ini, sekelompok warga yang mengaku sebagai penggemar Kalla telah melayangkan gugatan uji meteriil Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Pemilu ke MK. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Jusuf Kalla Bisa Jadi Preseden Buruk untuk Demokrasi Indonesia, jika..

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved