Tribun Lampung Selatan
Pemblokiran Jalan Urai Benang Kusut Masalah Pembebasan Lahan JTTS di Lampung Selatan
Meski pembangunan JTTS ruas Bakauheni-Terbanggi Besar sudah selesai, proses pengadaan dan ganti rugi lahan tol masih menyisakan berbagai persoalan.
Penulis: Dedi Sutomo | Editor: Daniel Tri Hardanto
Pemblokiran Jalan Urai Benang Kusut Masalah Pembebasan Lahan JTTS di Lampung Selatan
Laporan Reporter Tribun Lampung Dedi Sutomo
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, KALIANDA - Aksi belasan warga Dusun Kupang Curup, Desa Tanjungratu, Kecamatan Katibung, Lampung Selatan seolah membuka Kotak Pandora terkait persoalan pembebasan lahan tol.
Dalam aksinya, mereka memblokir Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Kilometer 52.
Meski pembangunan JTTS ruas Bakauheni-Terbanggi Besar sudah selesai dan dapat dinikmati, proses pengadaan dan ganti rugi lahan tol masih menyisakan berbagai persoalan.
• JTTS Bakauheni-Terbanggi Besar Beroperasi Perdana Sabtu Besok?
Bagai benang kusut, persoalan-persoalan terkait proses pengadaan lahan terkuak dalam rapat koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dengan unsur Kementerian PUPR, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kejaksaan Negeri Kalianda, Polres Lampung Selatan, Pengadilan Negeri Kalianda, Kehutanan, PT Pembangunan Perumahan (PP), PT Washkita Karya, PT Adi Karya, serta para camat dan unsur lainnya di kantor bupati Lampung Selatan, Selasa, 29 Januari 2019.
Rapat koordinasi ini merupakan tindakl anjut dari upaya Kapolres Lampung Selatan AKBP M Syarhan dan Plt Bupati Lamsel Nanang Ermanto memediasi warga di Desa Tanjungratu, Kecamatan Katibung, yang sempat melakukan aksi pemblokiran ruas tol di kilometer 52 pada akhir pekan kemarin.
Pada awal rapat, Syarhan secara tegas meminta seluruh pihak yang terkait dengan proses pembangunan JTTS di wilayah Lampung Selatan untuk lebih terbuka.
Syarhan mengatakan, selama ini pihak pelaksana pembangunan tol kurang terbuka dalam persoalan yang ada di lapangan, terutama yang terkait dengan masyarakat.
Koordinasi dengan polres atau pemerintah dareah terkadang baru dilakukan ketika persoalan sudah telanjur membesar.
“Saya minta, sekecil apa pun persoalan yang muncul terkait dengan pembangunan tol ini, kita terbuka. Ketika persoalan membesar, kita (kepolisian) dan pemerintah daerah yang pada akhirnya harus berhadapan dengan masyarkat. Justru pihak terkait sulit untuk bisa dihubungi,” cetus mantan Kapolres Pesawaran itu.
Syarhan menegaskan, JTTS merupakan proyek stategis nasional.
Setiap persoalan yang muncul dalam pembangunannya akan sampai ke pusat dan menjadi sorotan.
Karenanya, ia pun meminta seluruh instansi terkait dapat lebih terbuka.
• Warga Sidomulyo Minta Jalan Rusak akibat Proyek JTTS Diperbaiki
Sehingga langkah-langkah penanganan untuk mengatasi dan meminimalisasi gejolak dari persoalan yang dapat dilakukan lebih dini.
Dalam rapat ini pun terkuat masih cukup banyaknya persoalan terkait proses ganti rugi lahan pembangunan JTTS.
Satu yang mengemuka dan menjadi persoalan yang cukup besar karena sempat adanya aksi pemblokiran jalan tol oleh warga ada di kilometer 52 Desa Tanjungratu.
Warga menuntut pembayaran ganti rugi tanah yang hingga kini belum selesai.
Padahal, dalam persidangan gugatan di Pengadilan Negeri Kalianda, warga telah dinyatakan menang dan berhak atas ganti rugi lahan.
Persoalan ganti rugi lahan tanah milik warga ini muncul dan harus diselesaikan melalui pengadilan.
Karena ada klaim dari Kementerian Kehutanan jika lahan milik warga tersebut masuk dalam kawasan hutan register.
Mislan, PPK II pengadaan lahan pembangunan ruas JTTS STA 38 sampai STA 80, mengatakan, di Desa Tanjungratu ada sekitar 88 bidang tanah warga yang terkena dampak tol.
Dia mengaku, ganti rugi tanam tumbuh dan nilai bangunan sudah dibayarkan.
Namun, ganti rugi untuk lahan warga belum dibayarkan karena perkaranya masih dalam proses banding di pengadilan tinggi (PT).
• Pemudik Bisa Lintasi JTTS Lampung-Palembang Seharga Rp 41 Triliun pada Lebaran Tahun Depan
Dalam persidangan di PN Kalianda, warga pemilik lahan menang dan pihak kehutanan melakukan banding.
“Namun, pihak kehutanan tidak menyerahkan memori banding hingga batas waktu yang ditetapkan. Kementerian PUPR pun mengajukan banding,” ujar Mislan.
Menurutnya, alasan Kementerian PUPR mengajukan banding karena hal ini merupakan hak dan PUPR bisa mengajukan banding.
Karena PUPR melakukan pinjam pakai kawasan kehutanan.
Ini berisiko pada PUPR yang harus mengganti satu banding dua.
“Dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) pun tidak merekomendasikan untuk proses ganti rugi lahan jika belum ada upaya hukum maksimal. Karenanya, kita pun mengajukan banding,” terang dia.
Menurutnya, sebelumnya juga ada warga yang juga telah menang di tingkat PN Kalianda.
Saat itu Kehutanan juga menyatakan banding.
Namun, sampai batas waktu berakhir, Kehutanan tidak menyerahkan memori banding.
“PUPR pun sempat ingin mengajukan banding. Namun setelah dilakukan kajian, upaya tersebut lemah. Jadi ganti rugi untuk warga kita bayarkan,” ujar Mislan.
Uang ganti rugi bagi lahan warga yang masih bersengketa ini telah dititipkan ke PN Kalianda.
Proses pembayaran masih akan menunggu hasil banding di tingkat PT Tanjungkarang.
Dari catatan Tribunlampung.co.id, ada 42 bidang tanah warga yang diklaim masuk dalam kawasan hutan yang belum dibayarkan.
Padahal, warga telah menang dalam sidang perkara di PN Kalianda.
• Tuntut Ganti Rugi Lahan Proyek Tol, Warga Tanam Pisang di JTTS
Sebagian besar warga telah memiliki sertifikat hak milik lahan.
Persoalan adanya klaim tanah warga yang masuk dalam kawasan hutan register ini juga ada di Desa Batuliman.
Ruas STA 38 sampai STA 80 dari Sidomulyo hingga Kota Baru ini dikerjakan oleh PT Washkita Karya.
Proses pekerjaan konstruksi jalan pun telah selesai.
Persoalan pengadaan lahan untuk pembangunan tol ini juga muncul di ruas Bakauheni-Sidomulyo STA 00 hingga STA 37 yang proses pengerjaannya dilakukan oleh PT Pembangunan Perumahan (PP).
Menurut General Affair PT PP Yus Yusuf, setidaknya ada 61 bidang tanah yang proses ganti ruginya belum selesai.
Persoalan yang muncul yakni adanya klaim terkait luas lahan yang dinilai warga tidak tepat.
Ada pula klaim tanam tumbuh di atas lahan yang diganti rugi.
“Persoalannya terkait dengan klaim data luasan lahan yang dinilai warga tidak sesuai, atau sebelumnya ada tanam tumbuh tetapi tidak masuk dalam data,” terang dia.
Persoalan lahan juga muncul pada ruas 3 yang meliputi wilayah Jati Agung dan Natar.
Tidak hanya persoalan terkait dengan ganti rugi lahan untuk pembangunan tol.
Persoalan lainnya seperti adanya keberatan atau keluhan warga atas dampak dari pembangunan tol juga terungkap.
Seperti dampak banjir akibat adanya penutupan atau penyempitan saluran air.
Ada pula keluhan kerusakan jalan akibat dilalui kendaraan proyek tol.
Plt Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto menyoroti kurangnya koordinasi pihak pelaksana pembangunan jalan tol.
Ia menegaskan, kehadiran JTTS harus bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Bukan justru sebaliknya, merugikan masyarakat.
Ia pun meminta untuk kembali dijadwalkan rapat bersama.
Ia meminta kepada seluruh camat untuk dapat menginventarisasi seluruh persoalan yang terkait dengan jalan tol di wilayah yang dilalui oleh proyek nasional tersebut.
“Jumat besok kembali kita lakukan rapat bersama. Saya minta camat yang wilayahnya dilalui tol untuk melakukan inventarisasi persoalan. Tidak hanya masalah ganti rugi lahan. Tapi permasalahan lainnya juga,” kata Nanang. (*)