Telat Bayar Utang, Konsumen Fintech di Lampung Diancam Fitnah sebagai Pencuri
Para konsumen fintech di Lampung mengaku diteror bahkan diancam akan difitnah sebagai pencuri.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Sejumlah konsumen jasa pinjaman online atau financial technology (fintech) mengeluhkan metode penagihan keterlambatan pembayaran.
Para konsumen fintech di Lampung mengaku diteror bahkan diancam akan difitnah sebagai pencuri.
Penggunaan jasa fintech semakin masif saat ini.
Dalam hitungan hari, pinjaman dapat langsung dicairkan tanpa perlu repot-repot mendatangi bank dan tanpa jaminan apapun.
Sayangnya, kemudahan itu dibarengi pula dengan tingginya risiko yang mengintai nasabah jasa fintech ilegal.
Selain bunga yang tinggi, jika telat membayar angsuran atau cicilan pinjaman, teror dan intimidasi bukan cuma menyasar nasabah, melainkan juga keluarga dan teman-teman nasabah.
Cukup banyak konsumen fintech di Lampung punya pengalaman buruk akibat menunggak utang pinjaman berbasis online yang belum terdaftar resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Satu d iantaranya adalah Bds, warga Gang PU, Kedaton, Bandar Lampung, yang meminjam uang di tiga aplikasi fintech.
• Mengenal Fintech Ilegal dan Ciri-cirinya
• Wanita Sakit Dipaksa Turun dari Ambulans Saat Mau ke Rumah Sakit, Terbongkar Penyebabnya
• Buronan Alay Ditangkap, Sosok Sugiarto Wiharjo yang Bikin 2 Bupati di Lampung Terjerat Kasus Korupsi
"Saya pinjam uang online itu di tiga aplikasi. Paling kecil Rp 500 ribu dan paling besar Rp 10 juta. Waktu itu saya butuh modal usaha, kalau pinjaman yang besar saya pakai nama perusahaan, makanya di-ACC," jelas Bds.
Bds mengaku jera meminjam uang di jasa fintech ilegal.
Pasalnya, hampir setiap hari mengalami teror dari kolektor.
Ia semakin trauma karena kolektor yang menagih tidak memiliki etika.
Ia terus diteror via telepon.
Saudara dan teman-teman Bds juga tak luput dari teror para kolektor.
Padahal keterlambatan pembayaran cicilan cuma hitungan tiga hari.
Ia pun terpaksa menggadaikan mobil Toyota Avanza miliknya untuk melunasi utang-utangnya.
"Sebelum jatuh tempo, mereka memang sudah kasih pemberitahuan. Pas lewat jatuh tempo mereka terus-terusan nelepon. Saya coba kooperatif, karena belum ada uang, tapi mereka malah teror saudara dekat dan teman-teman saya. Akhirnya saya gadai mobil, nggak tahan, malu," kata bapak dua anak tersebut.
Bds menyebut kejadian tersebut terjadi enam bulan lalu.
• Warga OKU Timur Tega Habisi Nyawa Anggota TNI Gara-gara Utang
Cerita senada disampaikan Erk, nasabah pinjaman berbasis online ilegal lainnya.
Ia mengaku pernah pinjam uang sebesar Rp 500 ribu lewat aplikasi pinjaman online ilegal.
"Waktu itu saya butuh uang cepat, terus coba pinjam online. Sebelum pinjam, saya download dulu aplikasi, kemudian kita ikutin aja perintahnya, termasuk izin akses kontak-kontak di ponsel. Saya baru tahu kalau mereka itu ambil data kita. Karena pas saya nunggak, teman-teman saya itu ditelepon dan di-sms," ujar warga Kedaton tersebut.
Erk mengungkapkan, beban bunga yang dibebankan cukup tinggi.
Ia harus membayar Rp 800 ribu dalam tempo 10 hari.
Jika telat bayar, pihak fintech mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada teman-temannya berisi kata-kata yang tidak pantas dan membuatnya malu.
"Saya pinjam Rp 500 ribu, terus bayarnya Rp 800 ribu dalam waktu 10 hari. Nunggak tiga hari, teman-teman saya di-SMS, pesannya saya dibilang ada utang sekian, belum bayar," tandasnya.
Erk menambahkan, pihak fintech juga mengancam jika tidak melunasi utang maka akan menyebar fitnah sebagai pencuri, bahwa dirinya mencuri uang perusahaan.
"Mereka neror dengan segala cara, bukan hanya SMS. Mereka ngancam kalau nggak bayar mau nyebarin kalau saya ini curi uang perusahaan, intinya kita dibuat nggak tenang," ungkapnya.
Akibat pinjaman online tersebut, Erk sempat terjebak utang sana sini, atau ibaratnya gali lubang tutup lubang.
• Eka Tjipta Widjaja Semasa Hidup Pernah Utang ke Rentenir dan Tidur di Tempat Paling Buruk di Kapal
Pasalnya, bunga pinjaman online cukup mencekik. Pinjaman Rp 500 ribu harus dilunasi total Rp 800 ribu dalam waktu 10 harus.
Pelunasan itu merupakan pokok utang disertai bunga dan uang administrasi Rp 50 ribu.
"Memang gila, saya pinjam Rp 500 ribu harus kembalikan Rp 800 ribu. Bunga 250 ribu dan uang administrasi Rp 50 ribu. Saya sudah kapok," tandasnya.
Serupa dialami Iyud, warga Kemiling, yang mengaku punya pengalaman buruk ditagih kolektor pinjaman online.
"Awalnya saya iseng, ada kawan kasih tahu ada aplikasi pinjam uang online langsung cair. Kemudian saya download aplikasinya, ikutin aja perintah aplikasi," kata dia.
Iyud awalnya mengajukan pinjaman Rp 2 juta dengan tenor 14 hari.
Namun, fintech tersebut cuma menyetujui Rp 1 juta tenor 14 hari.
"Disetujui Rp 1 juta, tenor 14 hari. Saya terima cuma Rp 750 ribu, tapi pembayaran utang jadinya Rp 1 juta. Uangnya langsung masuk rekening," jelasnya.
Tiga hari sebelum masa jatuh tempo pelunasan, Iyud mendapat pemberitahuan lewat aplikasi supaya segera membayarkan pinjaman dalam waktu tiga hari ke depan.
"Saya sebenarnya coba bayar di minimarket ternama yang menerima pembayaran fast pay, tapi nggak bisa, ada gangguan. Nah, saat itu saya ada keperluan mendadak, jadi nggak bayar utang. Dari situ saya terus-terusan ditelepon dan di-SMS. Bukan saya saja, istri dan teman-teman yang nomor teleponnya saya kasih juga ditelepon," ungkap bapak tiga anak tersebut.
Akibat teror dari fintech tersebut, hubungan Iyud dengan seorang temannya menjadi renggang.
"Dia marah karena saya kasih nomor dia ke pihak aplikasi," ujarnya.
Cek Fintech Terdaftar
Menanggapi keluhan nasabah fintech terhadap sistem penagihan yang mengintimidasi, OJK Provinsi Lampung menyarankan agar masyarakat hati-hati.
OJK mengimbau warga meneliti status perusahaan fintech, sebelum melakukan peminjaman online.
Kepala Subbagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Lampung, Dwi Krisno Yudi Pramono, menjelaskan, apabila fintech yang terdaftar di OJK melakukan penagihan dengan cara teror maka dapat ditindaklanjuti dan dikenakan sanksi.
Sanksi yang diberikan sesuai Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016, bisa berupa teguran tertulis, pembayaran denda, pembekuan operasional perusahaan, hingga pencabutan situs.
Dwi mengatakan, masyarakat yang merasa diteror oleh kolektor fintech bisa mengadu ke OJK.
"Kalau fintech terdaftar (bisa mengadu) di OJK. Tapi jika tidak terdaftar bisa ke Satgas Waspada Investasi misalnya ke Polda, Kominfo dan lainnya, ke OJK juga tidak apa-apa," jelasnya.
Masyarakat yang akan melakukan pengaduan ke OJK dapat datang langsung ke kantor OJK Lampung di Jl Way Sekampung, Bandar Lampung.
Pengaduan juga bisa disampaikan melalui email ke konsumen@ojk.go.id. Syaratnya cukup melampirkan dokumen pinjaman dan fotokopi KTP.
Dwi menambahkan, per 21 Desember 2018, total ada 88 perusahaan fintech lending berizin dan terdaftar di OJK.
"Masyarakat dapat mengetahui apakah perusahaan fintech tertentu terdaftar atau tidak dengan cek ke situs OJK atau menghubungi 157," jelasnya, Rabu (6/2).
Dwi menyebut sejauh ini belum pernah mendapatkan pengaduan dari masyarakat untuk fintech yang terdaftar di OJK.
Akan tetapi untuk fintech yang tidak terdaftar, OJK Lampung pernah menerima dua pengaduan pada 2018 lalu.
Pengaduan yang masuk terkait bunga yang tinggi, denda, dan cara penagihan dari situs pinjaman online.
Pengaduan ini lantas sudah ditindaklanjuti bersama dengan stakeholder terkait.
"Karena selain ke OJK, mereka juga ke Kominfo untuk melaporkan situsnya," imbuh dia.
Per November 2018, sambung Dwi, di Lampung sudah ada 40.634 borrower dan 1.990 lender dengan jumlah pinjaman yang disalurkan sebesar Rp 187,1 miliar.
Dwi mengatakan, OJK Lampung saat ini gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang fintech.
• Berapa Banyak Utang dan Cicilan Vanessa Angel hingga Terlibat Dunia Prostitusi Online?
• Video Pria Asal Lampung Banting Motornya Saat Ditilang karena Tak Pakai Helm, Wanita Teriak Aaaaa
• Harga Motor Matik Baru Honda, Yamaha, dan Suzuki Bulan Februari 2019, Termurah Rp 14-an Juta
Ia memastikan, OJK terus melakukan pengawasan atas fintech yang beroperasi di masyarakat.
Terkait rencana Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang akan melakukan sertifikasi tenaga penagihan atau debt collector, umumnya OJK menyambut baik.
"AFPI kan asosiasi resmi yang ditunjuk, untuk rencana pasti disampaikan ke OJK. Sertifikasi tentunya untuk langkah perbaikan ke depan," pungkas dia. (romi rinando/ana puspita)