Diskon atau Cashback Go-Pay dan OVO Disebut Riba, Ini Penegasan Wahdah Islamiyah dan Al Irsyad

Menurut Wahdah Islamiyah penggunaan Go-Pay dan sejenisnya dibolehkan, dan diskon yang didapat juga diperbolehkan.

Penulis: Andi Asmadi | Editor: Andi Asmadi
www.gopaypayday.com
Promo GOPAYDAY Cashback 50 persen. Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, Dr Muhammad Yusran Anshar Lc MA dan Harman Tajang Lc MHI dalam ketetapan 13 Maret 2019 memutuskan sebagai berikut. Pertama, hukum asal penggunaan Go-Pay dan sejenisnya adalah dibolehkan selama memenuhi kaidah-kaidah sharf atau tukar-menukar uang. Kedua, diskon yang didapatkan melalui pembayaran Go-Pay dan sejenisnya termasuk athaya (pemberian) yang diperbolehkan dan tidak termasuk faedah dari piutang (riba). 

Hukum Diskon Yang Didapat Dari Go-Pay Dan Layanan Yang Sejenisnya

1. Go-Pay adalah uang elektronik yang diterbitkan oleh PT DAB (Dompet Anak Bangsa) yang terdaftar dan dimonitor oleh Bank Indonesia, yang memiliki fungsi yang sama dengan uang tunai yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, yang nilainya sama dengan nilai uang tunai yang didepositkan terlebih dahulu di dalam akun Go-Pay.

2. Deposit uang di Go-Pay ini dapat disamakan hukumnya dengan transaksi menitipkan uang pada toko sembako yang dekat dari rumah dengan tujuan dapat diambil barang setiap dibutuhkan dan pada saat itu pembayaran harga barang dapat didebet langsung dari saldo uang yang dititipkan.

3. Akad top up Go-Pay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank, maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dari muamalah:

“Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” (HR. Baihaqi no. 1971, Ibnu Abi Syaibah no. 20690).

Artinya, diskon Go-Pay adalah riba.

Manfaat atau keuntungan yang dimaksud mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan.

4. Hukum memakai Go-Pay pada asalnya adalah Halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun tambahan manfaat lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya Riba. 

5. Fatwa haramnya pemanfaatan diskon pada Go-Pay juga berlaku pada transaksi pembayaran lainnya seperti pada kartu deposit berfasilitas.

6. Peringatan: Meskipun seorang yang mendepositkan uangnya di Go-Pay tidak berniat untuk memberi hutangan ke pihak gojek maka tetap saja syariat memandang uang simpanan dalam Go-Pay tersebut adalah hutang.

Hal ini sebagaimana para nasabah yang meletakkan uang mereka di bank konvensional, banyak di antara mereka yang niatnya adalah untuk mengamankan uang mereka dan bukan untuk memberi hutangan kepada pihak bank.

Dan pihak bank juga tatkala mengajak para nasabah untuk mendepositkan uang mereka ke bank seringkali tidak menyatakan ajakan untuk memberikan hutangan kepada bank.

Akan tetapi pada hakikatnya uang yang tersimpan di rekening bank tersebut adalah hutang dan bukan wadi‟ah (titipan).

Karenanya bunga bank dinilai riba karena merupakan bentuk manfaat yang diraih oleh nasabah dari hasil memberikan hutang ke bank.

7. Solusi syar’i bagi yang ingin memanfaatkan layanan Go-Pay dan yang sejenisnya:

a) Silahkan anda menggunakan Go-Pay namun pastikan saat membuka rekening di bank yang terdapat fasilitas Go-Pay-nya anda hilangkan klausa pertambahan atas uang yang anda simpan (hutangkan), akad tentang tambahan bunga tiap bulannya harus dihilangkan.

b) Silahkan anda menggunakan Go-Pay namun kami menghimbau anda untuk tidak menerima tambahan manfaat berupa diskon ini supaya tidak terjadi riba dalam muamalah atau transaksi dengan ojek online dan Go-Pay ini.

c) Jika kita tidak bisa menghilangkan diskon atau potongan harga dari Go-Pay, maka silahkan melakukan pembayaran dengan cara tunai.

Ditetapkan di: Jakarta. Pada tanggal : 13 Jumadal Akhirah 1439H 1 Maret 2018 M

DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD

Ketua: Dr Firanda Andirja Lc MA. Sekretaris: Nizar Sa’ad Jabal Lc M PdI

Anggota–Anggota:

1. Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc, MA ` : 1.

2. Dr. Sofyan Fuad Baswedan, Lc, MA : 2.

3. Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA : 3.

4. Dr. Khalid Basalamah, Lc, MA : 4.

5. Dr. Muhammad Nur Ihsan, Lc, MA : 5.

6. Dr. Roy Grafika Penataran, Lc, MA : 6.

7. Dr. Erwandi Tarmizi, Lc, MA : 7.

8. Dr. Musyaffa’, Lc, MA : 8.

9. Nafi’ Zainuddin BSAW, Lc, M.HI

Cara Investasi Emas di Bukalapak, Simak Syarat Menabung Emas di Bukalapak Lewat Fitur BukaEmas

BAGAIMANA PANDANGAN NU

Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) tentang uang elektronik Go-Pay maupun OVO? Pada intinya, menurut sebuah artikel di website resmi NU, sama dengan keputusan dari Wahdah Islamiyah di atas.

Dikutip dari situs nu.or.id, Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, menuliskan uraiannya berikut ini.

Beberapa waktu ini marak beredar sebuah tulisan yang menyebut bahwa jual beli dengan aplikasi GoPay dan GoFood adalah riba.

Riba terjadi akibat bersatunya akad utang yang direpresentasikan oleh fitur deposit GoPay dengan diskon.

Diskon berupa potongan harga akibat penggunaan deposit dalam transaksi ini yang kemudian disebut oleh salah satu ustadz tersebut dipandang sebagai riba.

Riba terjadi akibat mengutangi perusahaan penyedia layanan GoPay, OVO dan GoFood selanjutnya pihak yang mengutangi mendapat imbal manfaat berupa potongan harga.

Selanjutnya, ustadz tersebut merekomendasikan sejumlah alternatif agar selamat dari riba pemanfaatan aplikasi tersebut, antara lain:

1. Dipersilakan menggunakan Go-Pay namun harus memastikan agar saat membuka rekening di bank yang terdapat fasilitas Go-Paynya, kita diminta menghilangkan klausa pertambahan atas uang yang disimpan (diutangkan), dan akad tentang tambahan bunga tiap bulannya harus dihilangkan.

2. Dipersilakan menggunakan Go-Pay namun diimbau agar tidak menerima tambahan manfaat berupa discount itu supaya tidak terjadi riba dalam muamalah Ojek Online dan Go-Pay tersebut.

3. Jika tidak bisa menghilangkan diskon atau potongan harga dari Go-Pay, maka dipersilakan melakukan pembayaran kontan.

Sebenarnya penulis sudah pernah membahas kasus ini dari sudut pandang literasi fiqih klasik. Perbedaan penulis dalam hal ini dan ustadz tersebut sebenarnya pada sisi cara pembacaan dan cara menempatkan duduk masing-masing elemen penyusun Go-Pay dan aplikasi sejenisnya.

Ada beberapa poin yang lepas dari sisi pengamatan sang ustadz tersebut selaku pengkaji di atas, antara lain sebagai berikut:

Pertama, di dalam fitur Go-Pay, OVO dan Go-Food, semua barang yang dipesan sudah ditetapkan harganya oleh perusahaan.

Fitur ini sama sekali tidak disinggung oleh ustadz tersebut melainkan hanya berfokus pada pembacaan bahwa pembeli telah mengutangi pihak Go-Pay yang selanjutnya ia mendapatkan imbalan karenanya.

Yang benar dalam hal ini sebenarnya imbalan dari deposit yang disimpan di dalam Go-Pay, atau diskon harga makanan?

Jika imbalan berupa potongan harga itu adalah disebabkan diskon harga makanan, mengapa diskon ini tidak boleh diberikan? Padahal harga produk yang dijual sudah jelas.

Sama seperti dengan seandainya ada seorang pedagang baju dititipi uang oleh rekannya.

Kebetulan rekannya tersebut hendak belanja baju ke tempat si pedagang yang dititipinya.

Dan pedagang sudah menetapkan bahwa saat itu tengah ada diskon pembelian buat semua pelanggan.

Lantas, si rekan yang tengah butuh baju tadi membeli apa yang diperlukannya ke pedagang tersebut sehingga ia berhak menerima diskon dari pedagang, apakah diskon semacam ini dipandang sebagai riba? Tentu tidak, bukan?

Bukankah pula uang yang dititipkan tersebut termasuk akad wadi’ah. Sebagaimana deposit yang terdapat dalam fitur Go-Pay yang kemudian dibahasakan oleh sang ustadz sebagai bank adalah juga mengikuti prinsip akad wadi’ah yadu al-dhammanah (akad titip dengan jaminan keamanan nilai) ini?

Inilah uniknya. Semua hal yang krusial justru tidak mendapatkan sorotan oleh pengkaji pada tulisan tersebut. 

Kedua, akad wakalah ditambah imbalan kepada pihak driver tidak menjadi dasar pertimbangan utama sang pengkaji dalam tulisan tersebut.

Ia menilai bahwa si driver telah mengutangi terlebih dahulu pihak konsumen untuk membeli barang, lalu barang yang sudah ada di tangannya dijual kembali dengan mengambil keuntungan.

Ia menyebut akad ini sebagai akad jual beli yang digabung dengan pesan. Selisih harga beli dari toko dengan harga yang diberikan kepada konsumen driver dipandang sebagai riba karena faktor utang piutang tersebut.

Sang pengkaji di sini tidak melihat sama sekali, apakah utang tersebut merupakan yang dikehendaki oleh konsumen ataukah tidak? Bukankah utang itu merupakan hal yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh konsumen?

Andaikan pihak yang dipesani sudah datang dengan membawa barang yang dipesan, tentu pihak pemesan pun juga ada jaminan untuk membayarnya. Yang menjamin adalah undang-undang perlindungan produsen dan konsumen.

Keberadaan Undang-Undang ini dibentuk disebabkan ada faktor relasi yang harus dijamin seiring perlindungan konsumen dan produsen yang saat transaksi tidak mengenal satu sama lain dan harus ada perusahaan lain yang bergerak menjadi wasîlah (perantara) di antara keduanya.

Sebuah ilustrasi, ada seorang pembeli ingin membeli sesuatu di pasar. Lalu ia bertemu dengan pengendara sepeda motor yang ditemuinya di jalan agar sudi membelikan kebutuhannya.

Lalu, tanpa adanya jaminan apa pun ia menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik kendaraan tersebut. Amankah kira-kira model transaksi semacam ini? Tentu tidak, bukan?

Berbeda, apabila si pemilik kendaraan bermotor itu adalah pihak yang berada di bawah sebuah koordinasi perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa kemudian proses titipnya melewati mekanisme tertentu yang disepakati keduanya.

Ketidakamanahan utusan perusahaan yang ditugaskan mewujudkan pesanan konsumen, akan menjadi dapat dipertanggungjawabkan seiring ada jaminan dari perusahaan yang mengoordinasinya.

Karena bagaimanapun, lancarnya orderan perusahaan, sehingga berbuah pada keuntungan perusahaan adalah bergantung pada bagaimana pelayanannya kepada konsumen. Sebagaimana sebuah qaidah yang artinya: “Output (untung-rugi) adalah berbanding lurus dengan risiko (bagaimana perusahaan menerapkan jaminan pelayanannya).”

Utang konsumen merupakan imbas samping dari pemakaian aplikasi saat pengguna jasa aplikasi Go-Pay, OVO dan Go-Food melakukan deal pemesanan makanan dengan harga yang sudah tertera.

Jadi, sampai di sini, seharusnya berlaku kaidah fiqih bahwasanya: “Akad bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan juga makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan sekadar ucapan dan juga ungkapan.”

Maslahah yang dikehendaki dan berlaku universal pemakaian aplikasi Go-Pay, OVO dan Go-Food adalah kemudahan konsumen mendapatkan kebutuhannya sementara ia masih bisa melaksanakan tugas pokoknya yang lain.

Kemaslahatan bagi perusahaan adalah lancarnya jasa yang ia tawarkan diorder oleh konsumen.

Keharusan memerinci satu per satu agar tidak memenuhi unsur jahâlah dalam jual beli justru dapat berujung pada mempersulit konsumen dan bisa menambah cost (biaya) yang dikeluarkannya.

Kesulitan semacam ini termasuk bagian dari mafsadah yang harus dihindari, sebagaimana kajian kita dalam maqashid Imam Anas bin Mâlik yang telah kita lewati terdahulu.

Prinsip yang harus dijaga produsen adalah semakin banyak konsumen melakukan order, semakin banyak pula keuntungan yang ia dapatkan. Sebaliknya, semakin sedikit konsumen melakukan order, semakin sedikit pula keuntungan yang diterimanya.

Agar banyak mendapatkan order, maka ia harus amanah, sebagaimana hal ini adalah praktik yang disetujui oleh syariat. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

(tribunlampung.co.id)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved