Hutan Mangrove Jadi Lautan Sampah, Pengelola Pantai Sari Ringgung: Sudah Siapkan MoU dengan Dinas!
Di Pantai Sari Ringgung, terlihat sampah wisata sengaja ditumpuk di kawasan hutan mangrove di bibir pantai.
"Sebelum terbit (Perda) dulu itu mereka bayar pajaknya ke pemkab. Sekarang dengan adanya perda, mereka baru mengurus perizinan ke sini," bebernya.
• Syahdunya Masjid Terapung di Tengah Laut Berpadu dengan Indahnya Pantai Sari Ringgung Pesawaran
Pemerintah Harus Tegas
Masih banyaknya pengusaha, terutama tempat wisata yang melakukan aktivitas reklamasi kawasan tanpa mengurus izin terlebih dahulu, mendapat tanggapan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung.
Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Mursi mengatakan, jika diistilahkan kondisi tersebut seperti seorang anak yang lahir di luar pernikahan.
“Ya karena kan belum ada izin, tetapi sudah melakukan aktivitas, apapun itu aktivitasnya. Artinya kan sama saja dengan hamil di luar nikah? Belum resmi tetapi sudah melakukan (hubungan suami istri),” ujar Irfan, Selasa (3/9/2019).
Seharusnya, lanjut Irfan, pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah, ketat melakukan pengawasan terhadap izin-izin aktivitas reklamasi.
“Ya pemerintah harus tegas! Karena (pemerintah) kita ini terlalu latah dengan kondisi seperti itu. Izin-izin yang diterbitkan pasca-aktivitas dilakukan selalu dimaklumi. Karena sering dimaklumi, seolah hal tersebut menjadi hal yang lazim,” tutur Irfan.
Proses perizinan, terutama aktivitas reklamasi, terus Irfan, harus ditegakkan sejak awal sebelum ada aktivitas apapun.
“Jangan lagi memberi celah kepada para pengusaha-pengusaha itu untuk melewati proses perizinan itu. Seharusnya sebelum semua aktivitas berjalan, perizinan sudah selesai semua, mulai dari (perizinan) yang kecil sampai yang besar,” tegas Irfan.
Irfan menjelaskan, tidak hanya kasus-kasus tempat wisata yang diberikan ketegasan, tetapi juga semua aktivitas pembangunan yang mengharuskan adanya izin lingkungan.
“Kalau kasus terbaru kan yang Pantai Marita Sari itu, kemudian juga seperti pembangunan sebuah perumahan yang memulai aktivitas tanpa izin terlebih dahulu, kemudian ada tambak di daerah Bengkunat yang memulai pembangunan tanpa memiliki izin dan masih ada yang lainnya,” papar Irfan.
Bahkan, jika dilihat sanksi tegasnya, kata Irfan, masuk ke ranah pidana.
“Karena di Undang-undang Nomor 32 (Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) itu sudah diatur dengan jelas, setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup harus memiliki izin lingkungan,” jelas Irfan.
“Apabila dia tidak memiliki izin lingkungan dan melakukan aktivitas maka ada pasal pidananya, saya lupa pastinya di pasal seratus berapa, (pasal) 109 kalau tidak salah,” imbuh Irfan.
• (FOTO) Suasana Pantai Sari Ringgung Pesawaran Hari Kedua Idul Fitri 2019
Penelusuran Tribun, dalam Pasal 109 UU 32 Tahun 2009 menyebutkan, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar.
“Jadi semua izin harus diselesaikan dulu baru aktivitas itu bias berjalan. Kalau tidak ada izin, maka aktivitas itu illegal dan bisa terkena sanksi pidana,” tegas Irfan.
Walhi, kata Irfan, termasuk juga dalam komisi penilai amdal sebagai anggota.
“Dalam sidang komisi penilai amdal, misalnya ada yang mengajukan izin lingkungan, kami diundang. Kalau di Bandar Lampung, misalnya, kami pantau dulu objeknya, apakah sudah melakukan aktivitas atau belum,” terang Irfan.
“Kalau belum melakukan kegiatan, ya dalam sidang kami bahas, kami sampaikan juga, jangan lakukan aktivitas kalau semua izin belum selesai,” imbuh Irfan.
Tetapi, lanjut Irfan, jika sudah melakukan kegiatan tetapi proses izin masih dilakukan, maka Walhi merekomendasikan agar sidang amdal ditunda dan izin lingkungan ditahan.
(tribunlampung.co.id/kiki adipratama/noval andriansyah)