Kisah 182 Warga Lampung Dipasung, Ganggu Orang Hingga Aniaya Keluarga

Junianto (28), warga Desa Nampirejo, Kecamatan Batanghari, Lampung Timur, dipasung keluarga lima tahun terakhir karena mengalami gangguan kejiwaan

Tribun Lampung/Ikhsan Dwi Nur Satrio
Junianto (28), warga Desa Nampirejo, Kecamatan Batanghari, Lampung Timur, terpaksa dipasung karena mengalami gangguan kejiwaan. 

Kisah 182 Warga Lampung Dipasung, Ganggu Orang Hingga Aniaya Keluarga

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Pemasungan ternyata masih menjadi solusi bagi sebagian masyarakat untuk mengatasi keluarga mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.

Hal ini setidaknya terjadi di Provinsi Lampung.

Padahal, sejak 2010, Indonesia memiliki program Indonesia Bebas Pasung.

Penelusuran Tribunlampung.co.id di sejumlah kabupaten/kota di Lampung, terdapat beberapa orang dengan gangguan jiwa yang terpaksa dipasung keluarganya karena khawatir mengganggu orang lain.

Ini seperti terjadi di Lampung Timur.

Junianto (28), warga Desa Nampirejo, Kecamatan Batanghari, Lampung Timur, dipasung keluarga sekitar lima tahun terakhir karena mengalami gangguan kejiwaan.

Junianto dikurung dalam kamar berukuran 2x3 meter persegi di bagian belakang rumah.

Kisah Pemuda di Kota Agung yang Dipasung karena Kerap Mengamuk dan Pukuli Ibunya Sendiri

Artis Cantik Ini Sempat Dipasung Sang Ibu karena Derita Penyakit Mental, Begini Kondisinya Sekarang

Di dalam kamar itu, terdapat dipan kayu dan matras biru yang menjadi temannya tidur.

Kaki kanannya dirantai.

Sementara ujung rantai satunya diikatkan di dipan tempatnya tidur.

"Rantainya dilepas saat akan mandi dan buang air. Itu juga saya kawal, tidak sendirian," tutur kakak kandung Junianto, Sahri Ramadona, Selasa (22/10/2019).

Sahri menuturkan, adiknya terpaksa dipasung karena kerap mengamuk, bahkan pernah ingin membacok ayah mereka.

Menurutnya, keluarga bukannya diam saja dengan kondisi Junianto.

Keluarga telah berusaha mengobati Juni kemana-mana.

Namun, Juni tak kunjung sembuh. Bahkan, dokter memvonisnya harus makan obat seumur hidup.

"Segala upaya telah dilakukan untuk mengobatinya. Bahkan sampai tanah terjual. Kita pernah rawat di Rumah Sakit Jiwa Lampung di Kurungan Nyawa selama tiga bulan, hingga masuk fase perawatan jalan. Namun sekembalinya ke rumah, Juni kembali bergejolak, marah-marah, teriak, ngamuk," kata dia.

Menurutnya, keluarga tak mengerti penyakit apa yang diderita adiknya itu.

Perawat tidak memberikan penjelasan detail. Hanya disebut banyak pikiran.

Sahri menceritakan, kondisi adiknya itu terjadi ketika Juni pulang dari ibu kota setelah merantau sebagai buruh bangunan, sekitar tahun 2011.

Ia berubah menjadi sosok pendiam dan tiba-tiba marah.

Lambat laun, perilakunya kian tak terkontrol.

"Ia kerap teriak-teriak, bahkan mengamuk tidak karuan. Melempar barang, memukul, hingga sempat ingin membacok ayahnya. Bahkan sampai mengejar dan teriak mau membunuh," kata dia.

Karena tindak-tanduknya yang semakin mengkhawatirkan dan dinilai bisa membahayakan lingkungan sekitar, keluarga akhirnya memutuskan untuk memasungnya.

"Semenjak pulang itulah. Kalau dari kecil enggak kenapa-kenapa. Sehat. Normal. Memang, di keluarga saya ada empat orang kurang sehat. Itu bapak, kakak dua orang. Sama dia. Tapi mereka ini diam saja. Kalau kerja bisa, yang lain normal lah. Cuma Juni ini yang suka ngamuk. Dulu dipasung di rumah, sekarang sudah kita buatkan kamar," kenang Sahri.

Sahri pun mengaku dilema dengan kondisi sang adik.

"Siapa yang mau begitu. Siapa yang mau sakit. Saya sudah kebal dengan omongan orang, tetangga. Tapi mau gimana. Dibawa ke RS cuma tiga bulan. Suruh pulang lagi ke rumah. Lah, kalau dilepas, terus nanti mukul atau melukai orang, siapa yang tanggung jawab," tuturnya.

Sahri pun bermimpi, jika suatu saat kelak ia memiliki uang lebih akan mengobati adiknya hingga sembuh total.

Hanya, keadaan saat ini tak memungkinkan untuk melakukan pengobatan lebih lanjut terhadap Juni.

"Saya kasihan sama ibu. Karena dia ini cuma nurut sama saya. Sama yang lain (kakak dan ibu) ngamuk. Kalau RS bisa sembuhkan, dirawat di sana bertahun-tahun pun kami ikhlas. Tapi kalau rawat jalan, kita orang kecil. Memang obat gratis, cuma saya ini kuli, kalau antar, berarti enggak kerja. Sudah kita coba dulu, sampai tanah kejual. Jadi yang terbaik saat ini, ya begini (pasung)," tutupnya.

4.139 Warga Sumut Gangguan Jiwa, Ada yang Stres Dipasung 10 Tahun Tak Lolos CPNS

Pukuli Ibu

EA, warga Kota Agung Timur, juga pernah dipasung selama tiga bulan karena kerap mengamuk bahkan sempat memukuli ibunya.

Namun setelah menjalani pengobatan di Yayasan Aulia Rahma, Bandar Lampung, kondisinya membaik dan tidak lagi dipasung.

Kini dia sudah bisa beraktivitas harian bahkan membantu pekerjaan ayahnya sebagai pedagang.

"Dia dulu dipasung, dirantai kaki dan tangannya selama tiga bulan. Sebab memukuli ibunya kalau minta apa-apa. Dia dipasung di kamarnya dengan rantai dan digembok. Namun untuk kebutuhan makan, minum, mandi dipenuhi," ujar NG, ayah EA.

Meski sudah bisa beraktivitas normal, EA harus terus mengonsumsi obat-obatan.

"Ada tiga macam obat yang harus rutin dikonsumsi setiap hari. kalau sampai seminggu telat obatnya, mulai dia diam. Tidak bisa diajak ngomong atau lainnya. Satu bulan kita keluar Rp 300 ribu. Terasa sekali biaya membeli obat ini. Dulu sempat ada BPJS tapi tidak ada uang untuk meneruskannya," kata dia.

EA mengalami gangguan kejiwaan akibat pergaulan yang salah. Pada 2016 lalu dirinya masih SMA, sampai kelas XI.

Saat itu dia diajak teman-temanya sering mabuk hingga mengisap lem.

Sejak itu tanda-tanda tidak waras mulai nampak sampai memukuli ibunya.

Sedangkan sejak lahir sampai sebelum remaja, EA dalam kondisi normal.

Rutin Tangani

Dinas Sosial Tanggamus mengakui masih ada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung keluarganya.

Itu antisipasi apabila suatu saat timbul perilakunya yang meresahkan.

Menurut Kasi Rehabilitasi Sosial Indra Mahyuddin, jika pihaknya tahu ada ODGJ yang dipasung maka segera ditangani.

Sebab pemasungan terhadap ODGJ sudah dilarang berdasarkan instruksi Kementerian Sosial.

Dan selama ini upaya yang dilaksanakan Dissos Tanggamus mengambilnya dan menyembuhkan dengan perawatan di Yayasan Aulia Rahma, Bandar Lampung.

"Dalam tahun ini kami dapatkan dua orang yang dipasung, satu dari Kecamatan Sumber Rejo dan satu di Kota Agung Timur, setelah ada laporan dari Tagana," terang Indra.

Dari keduanya, satu orang sudah kembali ke keluarganya yakni di Kecamatan Kota Agung Timur.

Dia kembali dan sudah bisa beraktivitas harian sejak Agustus lalu. Sedangkan satu lagi masih dirawat.

"Untuk perawatan ODGJ tahun ini kuotanya sembilan orang, baik yang dipasung atau berkeliaran. Itu berdasarkan anggaran yang kami terima," terang Indra.

Untuk jumlah ODGJ yang dipasung, pihaknya tidak memiliki data pasti.

Namun rata-rata dalam tiap tahun ada dua sampai tiga orang yang dilaporkan dan ditangani.

Di Lampung Selatan, jumlah ODGJ berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 1.7 mencapai 1.719 kasus.

Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) dinas Kesehatan kabupaten Lampung Selatan, Kristi Endarwati mengatakan, untuk jumlah kasus ODGJ yang oleh pihak keluarga diisolasi/pasung sampai dengan September lalu ada 24 kasus.

“Kalau untuk ODGJ yang diisolasi tidak boleh keluar rumah atau ditempatkan di kamar khusus ini ada 29. Tetapi 7 dibebaskan. Namun ada 2 kasus yang kembali diisolasi oleh pihak keluarga,” kata dia, Kamis (17/10/2019).

Kristi mengatakan kasus penderita ODGJ yang ada di kabupaten Lampung Selatan telah pernah dirujuk ke RSJ.

Mereka harus minum obat terus-menerus. Pemkab memberikan obat secara gratis.

Di Lampung Tengah, tercatat ada 10 kasus orang dengan gangguan kejiwaan namun tidak dipasung.

Seluruh pasien psikotik itu sudah diserahkan ke panti rehabilitasi Dissos Lamteng yakni LKS Srikandi di Kecamatan Seputih Surabaya.

Kepala Dissos Lamteng Zulfikar Irwan mengatakan, untuk pasien tekanan kejiwaan pihaknya memberlakukan beberapa ketentuan jika ingin direhab di Dinas Sosial.

Seperti, keluarga harus menyertakan surat keterangan domisili kependudukan, menyertakan surat keterangan tidak mampu, dan surat dokter terkait gangguan kejiwaan yang dialami dan lainnya.

182 Orang Dipasung

Kasi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Lisna menjelaskan, hingga September 2019 ada 5.103 laporan mengenai orang dengan gangguan jiwa.

Dari jumlah tersebut, ada 182 orang yang dipasung keluarganya sendiri.

"Pemasungan ini memang terjadi, tapi bukan dalam artian pasung yang kakinya dirantai atau yang lainnya, melainkan orang gangguan jiwa yang dibatasi ruang geraknya," jelasnya, Kamis (17/10/2019).

Seperti, terus dia, orang yang dikurung di dalam ruangan. Itu sudah termasuk pemasungan.

Menurutnya, tindakan pemasungan terhadap orang gangguan jiwa tidak dibenarkan.

Karena, hal itu dapat membuat kondisi pengidap disabilitas tersebut menjadi semakin buruk.

VIDEO Content 182 Warga Lampung Dipasung

"Sebetulnya itu tidak dibenarkan, tapi karena memang di khawatirkan membuat kerusuhan atau mencoba mencelakai dirinya sendiri, maka keluarga mengambil tindakan pemasungan," papar Lisna.

Kata dia, seharusnya keluarga secepatnya membawa orang yang mengalami gangguan jiwa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.

Sementara tindakan memasung, merantai, menyekap, atau apapun yang merampas kemerdekaan orang cacat mental adalah pelanggaran HAM dan sejumlah hukum. (Tribunlampung.co.id/Indra Simanjuntak/Tri Yulianto/Syamsir Alam/Dedi Sutomo/Kiki Adipratama)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved