Sidang Kasus Dugaan Suap Lampura

Antisipasi Sebaran Corona, Sidang Kasus Suap Fee Proyek Lampura Ditunda hingga Akhir Maret 2020

Antisipasi penyebaran pandemi Covid-19 atau virus corona, persidangan suap fee proyek Lampung Utara ditiadakan hingga akhir Maret 2020.

Penulis: hanif mustafa | Editor: Noval Andriansyah
Tribunlampung.co.id/Deni Saputra
Ilustrasi Agung Ilmu Mangkunegara. Antisipasi Sebaran Corona, Sidang Kasus Suap Fee Proyek Lampura Ditunda hingga Akhir Maret 2020. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Antisipasi penyebaran pandemi Covid-19 atau virus corona, persidangan suap fee proyek Lampung Utara ditiadakan hingga akhir Maret 2020.

Penundaan persidangan keempat terdakwa Agung Ilmu Mangkunegara, Syahbudin, Raden Syahril, dan Wan Hendri ini telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK untuk menindaklanjuti imbauan pemerintah.

JPU KPK Luki Dwi Nugroho menuturkan, karena situasi wabah virus corona di beberapa wilayah di Indonesia maka, jalannya persidangan ditunda hingga 30 Maret 2020.

"Ini juga ada imbauan dari pemerintah terkait dengan virus corona. Di mana ada himbauan agar aparatur sipil untuk tidak melaksanakan rutinitas sampai akhir bulan," ujar Luki, Selasa 17 Maret 2020.

Oknum Pamen Polisi di Lampung Diduga Terima Aliran Suap Fee Proyek Lampura hingga Rp 145 Juta

Terungkap, Oknum Pamen Polisi Perintahkan Musnahkan Barang Bukti, Saksi: Kodenya Kopiko Sudah Dekat

Warga Jabar Ditangkap Polisi di Lampung Tengah Lagi Asik Isap Sabu di Kamar Indekos

Tak Sanggup Bayar Pinjaman Online, Adi Bobol Rumah Saudara lalu Gasak 5 Emas dan Uang Jutaan

Menurut Luki, permintaan penundaan tersebut sudah disepakati oleh majelis hakim dengan menunda persidangan selama dua pekan ke depan demi keamanan dan kenyamanan.

"Kalau sudah kita lewati dan aman, pada saat persidangan selanjutnya 1 minggu 2 kali persidangan," tutupnya.

Terpisah, Ketua Majelis Hakim Efiyanto memastikan, sidang dugaan suap fee proyek Lampura ditunda hingga dua pekan ke depan.

"Kita tunda, dan selanjutnya sidang disepakati akan digelar seminggu dua kali yakni Senin dan Kamis," tandasnya.

Di pihak lain, Humas PT Tanjungkarang, Jesayyas Tarigan mengatakan untuk persidangan di seluruh pengadilan, pengadilan tinggi, dan pengadilan tipikor, di Lampung tidak ada penundaan.

"Sampai saat ini belum ada arahan dari pusat, baik Mahkamah Agung, maupun badan peradilan umum, untuk menunda jalannya sidang," kata Jesayas.

Jesayas pun mengatakan persidangan akan tetap berlangsung sesuai jadwal yang ditetapkan, kecuali ada kebijakan majelis hakim dalam persidangan tertentu.

"Yang nyusun jadwal (sidang) kan majelis hakim, tapi untuk kegiatan pengadilan (selain sidang), sementara ditiadakan dulu, sampai menunggu instruksi dari pusat," tandasnya.

Oknum Pamen Polisi di Lampung Diduga Terima Aliran Suap Fee Proyek Lampura hingga Rp 145 Juta

Dalam persidangan sebelumnya, terungkap seorang oknum pamen polisi di Lampung diduga menerima aliran suap fee proyek hingga Rp 145 juta.

Hal ini terungkap saat saksi eks Bendahara dan Keuangan (2015-2017) Dinas PUPR Lampura Fria Apris Pratama memberi keterangan dalam persidangan di PN Tanjungkarang, Senin 16 Maret 2020.

Dalam persidangan Fria Apris Pratama mengaku ada pemberian rutin ke oknum pamen polisi di Lampung.

"Tahun 2017, Pak Kasubdit, Januari Rp 40 juta, Mei Rp 70 juta, dan Agustus Rp 35 juta," kata Fria, Senin (16/3/2020).

Saat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Lampung Utara, salah seorang staf Dinas PUPR Lampura dapat arahan untuk menghilangkan barang bukti.

Tak tanggung-tanggung, arahan tersebut langsung diberikan oleh salah seorang oknum pamen polisi.

Hal ini terungkap saat saksi eks Bendahara dan Keuangan (2015-2017) Dinas PUPR Lampura Fria Apris Pratama memberi keterangan dalam persidangan di PN Tanjungkarang, Senin 16 Maret 2020.

Bahkan, pada Tahun 2019, Fria mengaku, ada pertemuan lagi dengan aparat untuk menyerahkan uang rutin atas perintah Syahbudin di Hotel Grand Anugerah.

"Sekira pukul 12.00 WIB, Pak Syahbudin bertemu dengan aparat penegak hukum di Hotel Grand Anugerah," sebutnya.

Kata Fria, setelah penyerahan itu, pada Minggu 6 Oktober 2019, dia mendapat kabar dari aparat tersebut untuk mematikan ponsel dan menghilangkan barang bukti.

"Saya pas di Pringsewu sekira pukul 19.00 WIB pas (kejadian) OTT, aparat itu telepon dan diminta untuk mematikan ponsel tapi dengan kode kopiko, dia bilang segera matikan hp, kopiko sudah dekat," kata Fria.

"Apa itu kopiko?" tanya JPU Taufiq.

"Istilah untuk KPK," jawab enteng Fria yang disambut tawa pengunjung sidang.

Setelah itu, lanjut Fria, ia langsung menghubungi Syahbudin, namun tak diangkat.

Sehingga, terus Fria, ia menelpon sopir pribadi Syahbudin untuk sampaikan pesan.

"Lalu saya hubungi Susilo Dwiko (Sekretaris PUPR), saya sampaikan kalau saya dihubungi aparat, kalau kopiko untit (buntuti) dia (aparat) dan segera pecahin ponsel," tuturnya.

Selanjutnya, Fria mengaku, langsung mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas beserta dua buku agenda catatan fee proyek.

"Saya terus telpon adik saya untuk barang (bukti) tersebut disingkirkan pukul 21.00 WIB, besoknya, ponsel, laptop dibawa adik, dan pukul 01.00 WIB KPK datang ke rumah ibu saya dan saya ditelpon ibu kalau ada tamu KPK datang," sebutnya.

Buka Catatan

Buka catatan Fria Apris Pratama, puluhan miliar uang mengalir dari rekanan ke Kadis PUPR untuk Bupati.

Hal ini terungkap saat JPU Taufiq Ibnugroho memintai keterangan Fria Apris Pratama bendahara dan keuangan Dinas PUPR dari tahun 2015 hingga 2017 dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Senin 16 Maret 2020.

Fria pun mengaku sejak tahun 2015 ada fee 20 persen setiap paket proyek, yang mana disetorkan dahulu ke Syahbudin kemudian ke Agung Ilmu Mangkunegara.

"Awalnya disetor ke saya lalu setor ke Syahbudin kemudian Agung," katanya.

"Jadi ini catatan anda dari 2015, yang mana total pekerjaan Rp 184 miliar dan fee nya sebesar Rp36 miliar, benar ya?" tanya Taufiq.

"Benar tapi fee itu perkiraan saja, dan saya hanya terima (pengumpulan) Rp 1 miliar," tuturnya.

Fria pun menuturkan untuk tahun 2016 ia juga bertugas mengumpulkan fee dari rekanan sebesar Rp 1 miliar, dan sisanya melalui Taufik Hidayat, Akbar Tandi Irian, dan Syahbudin.

"Tahun 2016 Ada dicatatan semua, total pagu Rp 336 miliar, total fee Rp 67 miliar," kata Fria.

Fria pun mengaku uang-uang tersebut setelah dikumpulkan kemudian disetorkan ke Syahbudin.

"Saya catat di buku agenda saya untuk mengingat saat plotingan agar tidak kelewat, ada dua buku agenda, dari tahun 2015 sampai 2017. Dan ada paraf setiap penerimaan dan penyerahan. Kalau itu fee hanya itungan pagu," terang Fria.

Untuk tahun 2017, Fria sendiri mengaku ada total pagu proyek sebesar Rp 407 dengan total fee Rp 81 miliar.

"Dan saya hanya terima dari rekanan sebesar Rp 7,61 miliar," kata Fria.

"Terus selain kamu yang mengumpulkan siapa saja?" tanya JPU KPK Taufiq.

"Seingat saya, Erzal sebesar Rp 4,9 miliar, Mangku Alam Rp 7,8 miliar, Helmi Jaya Rp 4,7 miliar, Syahbudin 6,3 milar, Karnadni Rp 784 juta, Susilo Dwiko Rp 540 juta, Franstori Rp 34 juta, Gunaido Rp 200 juta, Amrul Rp 106 juta, Ansabak Rp 900 juta, Ika (orang dinas PUPR) Rp 70 juta, Sairul Haniba Rp 40 juta, Yulias Dwiantoro Rp 569,5 juta," sebutnya.

Fria pun mengaku selain pengambilan fee proyek tersebut ia juga mengambil fee sebesar Rp 1,320 miliar untuk pekerjaan tahun 2018.

"Tapi sampai sekarang yang saya ambil fee gak dapat pekerjaan karena tidak dikelola syahbudi," sebut Fria.

Fria menambahkan tahun 2018 ia tak mengambil fee lagi lantaran Kadis PUPR dijabat oleh Franstori.

"Kalau 2019, total nilai 88 miliar, fee Rp 11 miliar dan saat itu yang bertugas Helmi Jaya, kalau saya mengumpulan hanya Rp 238 juta," tandasnya.

Seorang oknum pamen polisi di Lampung diduga menerima aliran suap fee proyek Lampura hingga Rp 145 juta.(Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved