Sidang Kasus Dugaan Suap Lampura
Terungkap, Pemkab Lampura Setor Rp 1,5 Miliar ke BPK Lampung untuk Predikat WTP 2015-2017
Ajukan uang Rp 1,5 miliar, BPK Lampung diduga manipulasi data temuan atas laporan keuangan di BPKAD Lampung Utara.
Penulis: hanif mustafa | Editor: Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Ajukan uang Rp 1,5 miliar, BPK Lampung diduga manipulasi data temuan atas laporan keuangan di BPKAD Lampung Utara.
Hal ini terungkap saat setelah Kasubid Pembukuan BPKAD Wahyu Buntoro dicecar pertanyaan oleh JPU KPK Taufiq Ibnugroho dalam persidangan teleconference suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (13/5/2020).
Wahyu menuturkan Pemerintah Kabupaten Lampung Utara menyandang status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari 2015 hingga 2017.
"Apakah anda memberikan sejumlah uang kepada BPK Lampung?" tanya Taufiq tanpa basa basi.
"Di tahun 2017 ada komunikasi, saya diperintah pimpinan saya Desyadi untuk komunikasi dengan BPK agar laporan keuangan bisa WTP," jawab Wahyu.
• Polisi Masih Lakukan Penyelidikan Kasus Pembobolan Sejumlah Gerai Alfamart di Kotabumi
• Terungkap di Sidang Fee Proyek Lampura, Petani di Sungkai Dapat Jatah Proyek 3 Tahun
• Motor Raib Digasak Maling, Kasir Minimarket di Pringsewu Terpaksa Pulang Numpang Teman
• Polisi Lakukan Pengejaran DPO Curanmor, Terdeteksi Sudah Berada di Luar Bandar Lampung
Wahyu pun mengatakan komunikasi ke BPK agar dapat opini WTP lantaran ketidakpercayaan Kepala BPKAD Desyadi atas pemeriksan yang dilakukan oleh Ketua Audit BPK Lampung Frengki Harditama.
"Saya ingatkan dalam BAP, saya pernah memberikan uang kepada Frengki sebesar Rp 1,5 miliar untuk pemeriksaan pembukuan keuangan kabupaten Lampung Utara tahun 2016 di tahun 2017, memang terhadap pemeriksaan ada temuan?" tanya Taufiq.
"Ada, terkait barang jasa dan pengumpulan modal, terutama pada aset tetap di PUPR," kata Wahyu.
"Kemudian atas temuan itu apa yang dilakukann?" tanya Taufiq.
"Langsung ditindaklanjuti, dengan BPK mengeluarkan surat penyelidikan untuk menjawab itu," tutur Wahyu.
"Apakah ada koordinasi?" tanya ulang JPU
"Ada, koordinasi untuk mengecilkan temuan," jawab Wahyu lirih.
Lanjutnya, atas koordinasi tersebut BPK Lampung melalui Frengki Harditama mengatakan akan mempelajari hasil temuan dan melihat situasi.
"Apakah ada permintaan uang?" sahut JPU.
"Ada hanya menyampaikan akan seperti apa komitmennya atas pemberian uang itu," terang Wahyu.
Wahyu pun mengakui jika penyerahan uang untuk BPK sebesar Rp 1,5 miliar yang diserahkan kepada BPK Lampung Frengki Harditama di pinggir jalan By Pass Natar beberapa kali.
"Dalam BAP saya bantu ingatkan ada pun jumlah angkah didapatkan dari nilai potensi pelanggaran BPK Rp 750 juta diambil dari Julian (Dinas Kesehatan) kemudian saya berikan ke Frengki di Natar. Lalu kedua Rp 500 juta dari Fria (bendahara Dinas PUPR) uang itu kemudian diserahkan Frengki di Bypass Natar. Dan terakhir pemberian uang Rp 250 juta dari Desyadi dan saya berikan ke Frengki di By pas Natar dan itu uang dari dinas kesehatan," kata JPU membacakan BAP.
JPU pun menanyakan setelah menggelontorkan uang tersebut apa yang didapatkan.
"Hasilnya dengan apa yang diinginkan oleh kami mendapatkan predikat WTP," tandasnya.
3 Kali Terima Aliran Uang
Mantan Ketua DPRD Lampung Utara Rahmat Hartono, terungkap pernah 3 kali menerima aliran uang fee proyek dari eks Kadis PUPR Lampura, Syahbudin.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan dugaan suap fee proyek Lampung Utara di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung, Rabu (13/5/2020).
Dalam catatan dari JPU KPK, pada Tahun 2016 Syahbudin 2 kali menyerahkan uang sebesar Rp 150 juta dan Rp 90 juta.
Kemudian, pada Tahun 2017 Syahbudin kembali menyerahkan uang Rp 90 juta ke Hartono.
Namun semuanya dibantah oleh Rahmat Hartono.
"Jadi anda tetap pada keterangan anda terkait APBD?" sahut Ketua Majelis Hakim Efiyanto, Rabu (13/5/2020).
"Tetap, bahwa saya gak tahu," tegas Hartono.
Bantah Dianggap Berbohong
Terus bantah semua keterangan para saksi lainnya, Majelis Hakim nilai keterangan Rahmat Hartono bohong.
Mantan Ketua DPRD Lampung Utara dianggap memberi keterangan palsu dalam persidangan teleconference suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (13/5/2020).
Dalam kesaksiannya, Rahmat Hatono membantah adanya permintaan uang dari DPRD Lampung Utara kepada pemerintah kabupaten sebesar Rp 5 miliar untuk pengesahan APBD 2015.
"Benar tidak pernah? Jika ada penyampaian apbd 2015 ada permintaan lima miliar, Rp 1 miliar untuk ketua Gerinda Rp 1 miliar PDIP, Rp 1 miliar untuk Demokrat dan selebihnya anggota DPRD, anda sudah disumpah," kata JPU Taufiq Ibnugroho.
Disinggung adanya komunikasi dengan Desyadi kepala BPKAD bersama wakil ketua III DPRD Lampura Arnol, lagi-lagi Rahmat membantahnya dan tidak pernah ada pertemuan.
"Saksi Desyadi pernah menyampaikan intinya alokasi proyek oleh perusahan yang terafiliasi dengan DPRD untuk APBD 2016, intinya kalau APBD ini pengen lancar maka meminta proyek Rp 30 miliar," jelas JPU.
"Saya minta kejujuran anda karena Desyadi sudah menjelaskan bahwa ada permintaan 30 miliar, dan itu anda yang menyampaikan," gertak JPU.
"Semua itu hanya omongannya dan gak mungkin kepala daerah mau, mau disahkan atau gak November kalau gak disahkan gak dapat gaji DPR-nya," jawab Hartono.
"Ini saksi Desyadi sudah disumpah," sahut JPU.
"Saya juga sudah disumpah, saya gak pernah hubungi Desyadi, ngapain kalau pengen enak ya saya langsung ke Bupati enak, tapi saya gak mau," jawab Hartono dengan nada tinggi.
Hartono pun membantah adanya sejumlah aliran uang dari Syahbudin yang diberikan kepadanya dari tahun 2016 hingga 2017.
"Anda pernah menjadi DPO tersangka perkara korupsi tapi ditingkat pra peradilan menang, gak mungkin kamu berhenti begitu saja, jangan bohong," timpal Efiyanto.
Dari hasil penelusuran Tribun, Hartono selaku ketua DPRD tersandung dugaan kasus perkara korupsi pembangunan pelebaran dua jalur Jalan Jendral Sudirman, Kecamatan Kotabumi tahun anggaran 2012.
Hartono pun sempat menjadi DPO dan akhirnya ditangkap di TMII Jakarta 23 April 2015 dengan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kajari Kotabumi No: Print-01/N.8.13/Fd.1/01/2014 tanggal 9 Januari 2014.
Petani Dapat Jatah Proyek
Bermodal jadi relawan pemenangan, petani asal Sungkai Selatan main proyek selama tiga tahun.
Muhammad Tabroni dalam kesaksiannya di sidang teleconference suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (13/5/2020) menegaskan bahwa ia bukanlah seorang kontraktor.
"Pekerjaan sehari hari saya tani, dan saya pernah jadi relawan pemenangan (Bupati) hanya dilingkungan saya Sungkai Selatan," ujarnya.
Disinggung oleh JPU nama Taufik Hidayat, Tobroni mengatakan jika Taufiq dikenal sebagai tim sukses Agung Ilmu Mangkunegara yang terus menempel.
"Pernah dapat pekerjaan?" sahut JPU Ikhsan Fernandi.
"Pernah Tahun 2015, kata Taufik, om ada CV, ini ada proyek silahkan belajar dulu, dia menawarkan katanya suruh pelajari dulu. Dia menawarkan pada saya sendiri," jawab Tobroni.
Tobroni pun mengaku mendapat arahan dari Taufik jika pekerjaan tersebut bisa ditebus setelah menyetorkan uang sebesar 20 persen dari nilai pagu pekerjaan kepada Kepala PUPR.
"Kata Taufik disetorin ke Kepala PU saya setuju dan saya kasih, terus yang ngerjain teman saya Hendri Karnovi, untungnya bagi dua," bebernya.
Kata Tobroni, tahun 2015 ia mendapatkan pekerjaan senilai Rp 200 juta dengan fee Rp 40 juta.
Tahun 2016, paket pekerjaan senilai Rp 700 juta dengan setor fee Rp 120 juta.
"Tahun 2018 saya gak ada lagi proyek, karena 2017 macet maka saya kapok dan itu baru dibayarkan 2018, maka dari situ gak mau lagi," tandasnya.
Tak Tahu Ploting Proyek
Ngaku darahnya mengalir ditubuh Agung Ilmu Mangkunegara, Ketua Tim Sukses Pemenangan Agung tak tahu menahu soal ploting proyek.
Dalam kesaksiannya, M Yamin Tohir pensiunan PNS Lampura mengaku sangat dekat dengan Agung Ilmu Mangkunegara.
"Darah saya mengalir di Agung, adik saya ibunya Agung," tegasnya Yamin dalam persidangan teleconference suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (13/5/2020).
Yamin pun mengaku sebagai ketua tim sukses pemenangan dalam pemilihan Bupati Agung Ilmu Mangkunegara.
"Ada tim relawan dan tim sukses, kalau saya koordinator tim sukses, kalau relawan berdiri sendiri," ungkapnya, Rabu (13/5/2020)
JPU Ikhsan Fernandi kemudian menanyakan terkait jatah pekerjaan termasuk fee proyek untuk para relawan dan tim sukses, namun Yamin mengaku tak tahu menahu.
"Saya gak tahu saya gak mau ambil pusing karena saya sudah tua dan kalau ada yang gangu Agung saya turun," jelasnya.
"Maksudnya?" tanya JPU.
"Ya kalau mau demo sekiranya bisa diredam redam kalau enggak silahkan tapi tetap dipantau," terangnya.
JPU pun menanyakan terkait arahan Taufik dan Syahbudin terkait pekerjaan untuk tim sukses, tapi lagi lagi Yamin mengaku tak tahu.
"Kalau Tohir Hasim sekertaris tim pemenangan katanya dapat pekerjaan tapi kecil kecilan, dia bilang seperti itu dan saya gak nanya lebih jauh saya gak mau pusing setahu saya itu," tandasnya.
Hakim Bingung
Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri Tanjungkarang kembali menggelar sidang teleconference suap fee proyek Lampung Utara, Rabu (13/5/2020).
Adapun agenda sidang hari ini akan meminta keterangan saksi untuk terdakwa Agung Ilmu Mangkunegara, Raden Syahril, dan Syahbudin.
JPU Ikhsan Fernandi menyampaikan saksi yang dihadirkan ada empat orang dan semuanya telah hadir.
"M Yamin Tohir (pensiunan PNS Lampura), Muhammad Tabroni (Swasta), (Mantan Ketua DPRD Lampung Utara) Rachmat Hartono, (Kasubid Pembukuan BPKA) Wahyu Buntor," kata JPU.
Namun sebelum diambil sumpah, Ketua Majelis Hakim Efiyanto meminta pertimbangan ke JPU lantaran ada saksi yang selalu hadir dari awal sampai persidangan.
"Ada saksi yang selalu hadir dan dari awal sampai akhir pasti hadir. JPU saya minta masukannya," kata Efiyanto.
JPU pun mengusulkan tetap memintai keterangan terhadap saksi M Yamin Tohir meskipun sering hadir dalam persidangan.
"Pertama masalah kehadiran kami serahakan keputusan ke majelis, karena saksi merupakan paman kami berikan yang bersangkutan," sahut Penasihat Hukum Agung Ilmu Mangkunegara, Sopian Sitepu.
Majelis Hakim pun akhirnya sepakat untuk memintai keterangan M Yamin Tohir namun saksi tidak bersedia jika menjadi saksi terhadap terdakwa Agung Ilmu Mangkunegara.(Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)