Cerita Getir ABK Indonesia di Kapal China, Kerja Tak Kenal Waktu, Diberi Makanan Kedaluwarsa

Diberi makan makanan kedaluwarsa, waktu istirahat yang sangat terbatas, kerja dari pagi hingga malam, ditambah tekanan serta rindu akan keluarga.

TRIBUN BATAM/ARGIANTO DA NUGROHO
Anggota TNI AL dan polisi menurunkan jenazah Hasan Afriadi, ABK asal Lampung, dari Kapal Luang Huang Yuan Yu 118 di Dermaga Lanal Batam, Rabu (8/7/2020). 

Begitu juga dengan Didi Nuriza, rekan Siswandi.

Pria asal Pemalang, Jatim itu juga jadi korban perbudakan kapal Lu Huang Yuan Yu 117.

Tujuh bulan bukanlah waktu yang singkat bagi mereka untuk menahan berbagai kepedihan hidup di tengah laut di perairan lintas negara mencari ikan dan cumi.

"Kerja tak kenal waktu, makan seadanya. Waktu istirahat terbatas, dipaksa dengan upah tidak sepadan. Itulah yang saya alami dan rasakan," ujar Didi.

Sembari duduk beralaskan semen bangunan dermaga Lanal, Didi terus bercerita bahwa kehidupan di dalam kapal tidak teratur, amburadul.

"Kalau bisa melawan, sudah kulawan. Kalau bisa minta pulang, satu bulan pertama kerja saya pengen langsung pulang. Hanya saja kapal yang kami tumpangi ini terus berlayar," kata Didi.

Menurut Didi, itu sama saja dengan perbudakan.

"Kenapa demikian? Karena kami kerja dipaksa dan tidak manusiawi," katanya.

Mereka juga mengaku pekerjaan mereka tidak sesuai dengan kontrak awal bekerja.

"Saya bekerja dipaksa. Sudah waktunya istirahat namun dipaksa terus menjaring. Makanan pun diberikan yang sudah kedaluwarsa. Kadang pagi subuh mulai sampai tengah malam. Istirahat sebentar, lalu kerja lagi. Intinya selama ikan masih banyak ditemukan kami akan terus melempar jaring. Hingga terlihat tak berdaya lagi, baru diberi waktu istirahat. Tapi selama terlihat masih kuat akan dipaksa terus menjaring, mengumpulkan ikan, cumi lalu mengeringkannya," katanya.

Niat hati pernah berupaya ingin melawan.

Namun kendali kapal sepenuhnya ada di tangan mereka.

"Kami melawan justru mendapat risiko kekerasan. Seperti teman kami Hasan. Saya tidak tahu betul bagaimana ia meninggal. Namun waktu itu ia dipaksa bekerja menarik jaring tengah malam," katanya.

Dia menyebut tidak ada kemanusiaan di dalam kapal itu dibuat oleh perusahaan yang mempekerjakannya.

Bahkan Didi mengaku di dalam kapal itu, tidak ada interaksi lantaran beda bahasa.

Halaman
123
Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved