Berita Nasional

Pemilik Tanah Tak Terima Disebut Bangun Tembok untuk Menutup Akses Jalan Tetangga

Keluarga yang disebut menutup jalan akses empat keluarga protes hingga kasusnya sampai ke polisi.

Kompas.com/Ari Himawan
Tembok yang menutup akses tiga rumah warga di Desa Widodaren, Petarukan, Pemalang Jawa Tengah. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, PEMALANG - Viral tiga rumah di Pemalang Jawa Tengah terisolasi gara-gara akses rumahnya ditutup tembok gara-gara kalah pilkades.

Keluarga yang disebut menutup jalan akses empat keluarga protes hingga kasusnya sampai ke polisi.

Polemik di Desa Widodaren, Kecamatan Petarukan Pemalang, yang mengakibatkan tiga rumah warga terisolir akses rumahnya dibantah oleh warga masyarakat. 

Bahkan Kapolsek Petarukan, AKP Heru Irawan, menegaskan pemberitaan terkait terisolirnya tiga rumah yang didiami empat keluarga tersebut hoaks. 

Baca juga: Kalah Pilkades, Pria Tembok Akses Jalan, Empat Keluarga Terisolasi

Baca juga: Ketua RT Beri Kesaksian Video Calon Pengantin di Pemalang Meninggal Jelang Akad Nikah

"Karena masih ada akses jalan lain, tepatnya di samping tiga rumah tersebut. Jalan itu masih bisa dilintasi sepeda motor. Tanah tersebut milik warga bernama Amsori," paparnya di Polsek Petarukan, Sabtu (13/3/2021).

Beredarnya kabar  bahwa pemicu polemik tersebut lantaran Pilkades juga tidak dibenarkan AKP Heru. 

"Tidak ada sangkut pautnya dengan Pilkades. Kami sudah mempertemukan pihak yang bersangkutan di Balai Desa Widodaren pada Rabu lalu," jelasnya. 

Beberapa waktu lalu, media sosial memang diramaikan pemberitaan mengenai terisolirnya tiga rumah di Desa Widodaren. 

Beredar kabar pemilik tanah yaitu Sukendro membangun tembok permanen yang menutup akses rumah milik Suharto, Kismanto, Agus, dan Amsori setelah kalah dalam Pilkades

AKP Heru mengatakan, dalam mediasi yang digelar pada Rabu tersebut keluarga Sukendro merasa keberatan atas pemberitaan yang dibuat media cetak dan online. 

"Keluarga Sukendro merasa dirugikan karena kondisinya tidak seperti itu. 

Keluarga Sukendro juga memberi tuntutan klarifikasi kepada pihak yang telah memberikan keterangan ke media dalam mediasi," jelasnya. 

AKP Heru menambahkan, semula keluarga Sukendro ingin memberikan sebagian tanah secara cuma-cuma untuk tambahan jalan bagi empat keluarga yang menempati tiga rumah tersebut. 

"Namun karena merasa dirugikan lewat pemberitaan, ia menuntut tanah selebar 1 meter dan panjang 25 meter untuk tambahan jalan dibayar senilai Rp 150 juta," imbuh dia. 

Adapun Suharto, Kismanto, Agus, dan Amsori yang merupakan satu keluarga besar diminta menyampaikan maaf melalui media atas keterangan yang tidak benar. 

"Ke depan, kami masih akan melakukan mediasi untuk mencari solusi permasalahan keluarga Suhendro dan keluarga besar Suharto itu. 

Tuntutan keluraga Suhendro agar yang bersangkutan meminta maaf dan melakukan publikasi ke media yang memberitakan, juga membayar tanah yang awalnya akan diberikan cuma-cuma untuk jalan," tandasnya.

Tuntutan itu belum bisa dipenuhi keluarga Suharto.

Mereka juga masih menawar tanah itu Rp 16 juta dari yang dikehendaki Rp 150 juta.

Geram Diberitakan Hoaks

Kekesalan Susatyo Andrianto warga Desa Widodaren, tak terbendung. 

Ia geram lantaran keluarganya diberitakan menutup jalan warga dengan membangun tembok permanen. 

Saat ditemui di Mapolsek Petarukan, Andrianto yang merupakan putra dari Sukendro meluap-luap menyampaikan kekesalannya.

"Katanya kalah Pilkades lalu menutup jalan desa, itu bukan jalan desa, itu tanah pribadi kami. Tanah itu besertifikat atas nama Mindarwati ibu saya," terangnya, Sabtu (13/3/2021).

Ia menegaskan, pembangunan yang dilakukan tidak ada hubungan dengan Pilkades 2020. 

"Memang saya nyalon pada 27 Desember, tapi pembangunan dilakukan pada Februari lalu dan ada IMB nya, Polsek juga mengetahui itu.

Masak satu tahun berselang disangkutkan dengan Pilkades, apa lagi diberitakan, terus terang kami tidak menerimanya," paparnya. 

Ia kembali berkoar, akses jalan yang tertutup tidak benar karena masih ada jalan lain.

Bahkan kendaraan roda dua bisa melintas. 

"Memang untuk roda empat tidak bisa tapi roda dua masih bisa melintas, berarti bukan terisolir," katanya. 

Andrianto pun meminta keluarga Suharto yang sudah memberi keterangan ke media untuk meminta maaf dan melakukan publikasi terkait permintaan maaf tersebut. 

"Kami membuka hati, dan akan memberikan jalan tambahan sepanjang 25 meter dengan lebar 1 meter dengan harga Rp 150 juta, harga itu sudah termasuk bangunan yang kami bangun.

Namun dengan catatan, keluarga Suharto meminta maaf dan mempublikasi ke media yang telah memberitakan bahwa kami menutup akses jalan mereka," terangnya. 

Atas pemberitaan tersebut, Andrianto menuturkan keluarganya dirugikan karena membuat masyarakat berasumsi keluarga Sukendro menutup jalan desa.

"Orang yang tidak tahu mengira kami sekeluarga menutup akses desa, padahal itu tanah pribadi.

Nama baik keluaraga kami juga tercemar dengan pemberitaan tersebut," imbuhnya.

Sukendro yang mendampingi putranya, kembali menegaskan, tanah tersebut tanah pribadi dan bukan akses jalan.

"Yang kami persoalkan, dalam pemberitaan tanah itu disebut akses jalan, padahal tanah itu tanah pribadi dan besertifikat. Hal itu merugikan nama baik kami," tambahnya.

Pengakuan warga yang membeli tanah

Warga setempat yang juga pembeli tanah yang dibangun tembok permanen, Tri Budi, menuturkan, akses jalan itu telah dibeli seharga Rp 100 juta dan uang muka sebesar Rp 50 juta dibayarkan pada 18 Februari 2020.

Namun, uang tersebut dikembalikan secara sepihak melalui menantunya sebelum pelaksanaan Pilkades Desember 2020.

Tri Budi menambahkan, ia membeli tanah tersebut dari Sukendro dengan lebar depan 3,33 meter dan lebar belakang 3,66 meter.

"Setelah kalah pilkades dibangun tembok ditutup mulai 27 Februari 2021 sampai sekarang. Tiga rumah dari tiga kepala keluarga (KK) yakni milik ayah saya Suharto, terus ada Pak Kismanto, Agus, dan Amsori tertutup akses jalannya. Saya juga tidak tahu alasan penutupan apa," kata Budi, Rabu (10/3/2021).

Warga tidak bisa keluar masuk karena akses jalan tertutup oleh bangunan setinggi antara 2,5- 3 meter.

Satu-satunya jalan adalah memutar, itu pun melalui saluran air atau got yang kalau tidak hati-hati bisa terperosok.

"Saya tidak tahu permasalahannya apa, sampai ditutup begini jalannya. Kami hanya bisa melaporkan kasus ini ke pemerintah desa," tambah Budi.

Sementara itu, Kepala Desa Widodaren, Nasikin mengatakan menerima laporan kasus tersebut.

Pihaknya sudah mengundang kedua belah pihak yang bersengketa dua kali, tetapi pemilik tanah tidak hadir karena sakit.

"Kita sudah pertemukan kedua belah pihak, namun masih keukeuh belum ketemu jalan keluarnya," ujar Nasikin.

Namun, masalah tersebut masih dalam tahap perundingan kekeluargaan di balai desa, dihadiri Bhabinkamtibmas dan Babinsa serta sejumlah pihak.

Andrianto Susatyo (37), anak Sukendro, pemilik tanah, saat ditemui Kompas.com menjelaskan, pihak keluarga tetap bersikeras tidak akan menjual tanah yang kini sudah dibangun tembok rumah itu.

Pasalnya, tanah tersebut merupakan tanah waris milik adik bungsu.

"Awalnya memang kami jual, tapi setelah beberapa hari ada rumor yang tidak enak. Akhirnya uang DP saya kembalikan baik-baik," ungkap Andri.

Andri juga menampik bahwa pembangunan tanah milik keluarganya yang juga akses jalan itu karena kalah dalam kontestasi pilkades pada Desember 2020.

Sebab, menurutnya, jual beli tanah tersebut sejak setahun silam.

"Bukan karena pilkades kalah ya, memang tanah itu buat adik bontot (bungsu) saya," jelasnya.

Artikel ini telah tayang di jateng.tribunnews.com

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved