Berita Lampung

Cerita Rakyat di Balik Nama Minang Rua, Pantai di Lampung Selatan yang Eksotis

Pokdarwis Minang Rua, Lampung Selatan, menceritakan, ada berbagai macam cerita rakyat yang berkembang tentang asal-muasal penamaan Pantai Minang Rua.

Dok Pokdarwis Minang Rua
Pantai Minang Rua berada di pesisir Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan, Lampung. Ada berbagai cerita rakyat yang ada di balik nama Pantai Minang Rua. 

Tribunlampung.co.id, Lampung Selatan - Deburan ombak merayap di pasir putih pinggiran pantai.

Ratusan pohon kelapa menari gemulai mengikuti alunan irama embusan angin laut.

Seperti itulah suasana di Pantai Minang Rua yang eksotis.

Pantai Minang Rua berada di pesisir Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan, Lampung.

Pada 2022, Pantai Minang Rua masuk nominasi 100 Desa Wisata dalam ajang anugerah Desa Wisata Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan.

Baca juga: Minang Rua, Tempat Wisata Pantai di Lampung yang Ada Air Terjun dan Laguna

Baca juga: Desa Wisata Minang Rua Lampung Selatan Masuk 100 Besar ADWI

Tidak banyak yang tahu, pantai nan elok ini memiliki cerita yang secara turun-temurun mengalir di masyarakat sekitar.

Ada sebuah legenda (hikayat) di balik nama Minang Rua.

Rian Haikal, sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Minang Rua, Lampung Selatan, menceritakan, ada berbagai macam cerita rakyat yang berkembang tentang asal-muasal penamaan Pantai Minang Rua.

Dahulu kala, ratusan tahun silam sebelum Gunung Krakatau bangun dari tidurnya lalu memuntahkan dan menghabiskan seluruh isinya dalam letusan dahsyat di tahun 1883 silam, pesisir pantai Bakauheni yang berada di ujung timur Pulau Sumatera didiami oleh masyarakat.

Mereka dahulu membuat kampung-kampung (pekon) di kawasan pesisir pantai.

Setiap kampung dipimpin oleh seorang kepala suku (kampung) yang memiliki kelebihan alias kesaktian.

Pekon-pekon itu yakni Pekon Kahai/Way Pecokh Emas, Pekon Mikhat, Pekon Temu Lapakh, Pekon Batu Tegi, Pekon Cinakawi, Pekon Sulah, dan Pekon Tanjung Tuha.

Pekon Mikhat konon dihuni oleh orang-orang kerdil dan kundul (jalma khebah cakekhi) yang tempat tinggalnya meliputi daerah Belebu dan Sumbermuli saat ini.

Baca juga: Pengunjung Pantai Muara Indah Tanggamus Lampung Alami Kenaikan di Libur Sekolah

Baca juga: Kafe Garis Pantai Metro, Tempat Kuliner di Lampung Lengkap dengan Pasirnya

Sementara Pekon Tanjung Tuha dihuni oleh pasukan Tapak Balak dan Putri Buwok Emas.

“Dahulu, para pemuda kampung yang memiliki kesaktian ini sering mengadakan perkumpulan untuk mengadu ilmu kesaktiannya masing-masing," kata Haikal, Minggu (1/1/2023).

Siapa yang kalah harus rela dikorbankan menjadi umpan buaya di muara Sungai Way Tungga dan hartanya diambil oleh pemenangnya.

Tempat yang menjadi lokasi bertemu dan bertandingnya para pemuda sakti ini berada tepat di pinggiran Pantai Minang Rua saat ini.

Dimana, kata Haikal, dahulu terdapat dua pohon tinggi besar bak menara yang menjulang tinggi yang disebut Minakha Khua.

Dua pohon kayu besar tinggi ini disematkan oleh seorang pengembara sakti berdarah bangsawan dari kerajaan Skalabrak.

Namun seiring berjalannya waktu, para tokoh adat atau kepala kampung sepakat untuk mengganti pertandingan ini dengan menggunakan perantara hewan peliharaan berupa kerbau untuk menentukan siapa yang terhebat.

Pemuda kampung yang kerbaunya menang dalam pertandingan akan mendapatkan dua kerbau sebagai hadiah.

Sementara mereka yang kalah harus merelakan kerbau peliharaannya dilemparkan ke muara Sungai Way Tungga untuk menjadi santapan buaya.

Lalu, masyarakat kampung di sekitaran pesisir pantai menyebutnya dengan sebutan Menang Khua (Menang Dua) yang kemudian melekat pada tempat yang menjadi lokasi pertandingan adu kerbau tersebut.

Seiring waktu berjalan, terjadilah sebuah perselisihan antara pemuda dari Pekon Mikhat dan Tanjung Tuha.

Perselisihan bermula dari kecemburuan antara dua pemuda kampung tersebut yang menyukai seorang dara.

Hingga akhirnya pemuda dari kedua pekon tersebut bersepakat untuk bertemu di daerah Minakha Khua (dua kayu besar tinggi) yang dahulunya menjadi tempat ajang pertandingan adu kekuatan dan kesaktian para pemuda sakti antarpekon.

Sebelum bertanding, ada kesepakatan di antara mereka.

Pemuda yang kalah harus merelakan dara atau gadis pujaannya dipersunting oleh pemuda yang menang.

Selain itu, mereka juga harus merelakan saudara perempuannya untuk diperistri oleh pemenang.

Pertandingan ini kemudian dimenangkan oleh pemuda dari Pekhon Mikhat.

Tetapi, kemenangan didapatkan dengan cara-cara yang licik alias tidak benar.

Hal ini membuat pemuda dari Pekon Tanjung Tuha tidak bisa menerima kekalahannya.

Diam-diam pemuda dari Pekon Tanjung Tuha masuk ke dalam Pekon Mikhat.

Lalu ia menanamkan senjatanya berupa cambai hakhong (sirih hitam) di Pekon Mikhat.

Maka raiblah kampung tersebut.

Saat kembali, pemuda asal Pekon Mikhat mendapati kampungnya telah hilang.

Ia pun marah lalu mengambil senjatanya berupa sekhai hakhong (serei hitam).

Ditanamnya senjata itu di Pekon Tanjung Tuha yang mengakibatkan hilangnya kampung tersebut.

Pemuda asal Pekon Mikhat merasa sangat sedih.

Ia kembali ke Pantai Menang Khua/Minakha Khua untuk menengok kampung halamannya serta kampung asal istrinya yang telah hilang.

Setelah itu, diubahnya nama Menang Khua menjadi Minang Khua (Minang Rua).

Adapun sebuah kias yang melegenda dari kisah cerita sejarah ini dan dikenal oleh masyarakat pesisir pantai hingga saat ini, Bulan Bakha, Batungga Cakhita - Luh Khah, Menang Khua Kalah Khua (Bulan Purnama, Bertemu Cerita-Air Mata dan Darah, Menang Dua Kalah Dua).

Ada juga sebuah mitos yang berkembang hingga saat ini di masyarakat bahwa siapa saja yang bermain dan mandi di Minang Khua (Minang Rua), maka dirinya akan mendapatkan dua harapannya sekaligus.

Sebaliknya, dia juga akan kehilangan dua hal yang menurutnya paling berharga.

Catatan sejarah ini menunjukkan saat terjadinya letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 silam, kawasan pesisir pantai di Bakauheni, termasuk kawasan Pantai Minang Rua, menjadi daerah yang terkena dampak terparah saat itu kampung-kampung yang berada di wilayah pesisir ini hilang.

Baru pada sekitar tahun 1970, masyarakat dari pesisir (khususnya Kunjir) dari keturunan Abdul Hamid, yaitu H Abdullah, Khodijah, dan Ismail, datang untuk membuka lahan pada saat itu.

Tetapi, mereka tidak bertahan lama dikarenakan Khodijah diserang buaya muara di Sungai Way Tungga.

Namun, ia selamat dari serangan buaya berkat pertolongan dari saudara laki-lakinya, H Abdullah dan Ismail.

Setelah kejadian tersebut, ketiga bersaudara ini memutuskan untuk bergabung dengan Ayub, Umar, dan saudara lainnya untuk membuka lahan di Kayu Tabu.

Pada akhirnya, sekitar tahun 1978-1982 datanglah masyarakat dari Suku Sunda (Way Muli dan Pangkul) untuk membuka lahan.

Suku Sunda (Way Muli) bermukim di pesisir Pantai Minang Rua, sedangkan suku Sunda (Pangkul) bermukim di Kampung Sawah.

Kedatangan mereka ini disebabkan oleh bencana alam (longsor) yang saat itu menimpa kampung halamannya.

(Tribunlampung.co.id/Dominius Desmantri Barus)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved