Konflik Lahan Pertanian di Lampung
Aksi Demo Petani soal Lahan di Lampung Dihadang Kawat Berduri
Demo petani asal Lampung Timur dan Lampung Selatan terhadang kawat berduri, Rabu (10/1/2023).
Penulis: Vincensius Soma Ferrer | Editor: Indra Simanjuntak
Hujan tidak menyurutkan semangat para petani yang sudah jauh-jauh ke pusat Kota Bandar Lampung itu.
Padahal, hanya caping yang menutupi kepala para petani. Itu pun hanya sebagian.
Pantauan Tribun Lampung, dari orasi petani, petani menilai konflik agraria membuat aktivitas tanam pertanian membuat terhambat hingga terhenti.
Hal itu berdampak pada pendapatan keluarga karena terancam hilangnya mata pencaharian para petani.
Kedatangan mereka adalah buntut dari 401 hektare lahan petani penggarap, yang lokasinya ada di Desa Wana, Lampung Timur, tiba-tiba diterbitkan sertifikat tanah atas nama orang lain pada tahun 2021.
Klaim petani, lahan tersebut masih menjadi bagian Register 38 Gunung Balak.
Atas caplokan tanah itu, petani menduga adanya aktivitas mafia tanah atas proses penerbitan Sertifikat Hak Miliki (SHM) itu.
Sedangkan petani dari Lampung Selatan adalah penggarap lahan Pemprov Lampung yang sejak tahun 2022, petani penggarap diharuskan membayar sewa atas penggunaan lahan itu.
Klaim petani, lahan tersebut digarap sejak tahun 1950-an dan tidak pernah ada sewa lahan.
Kebijakan sewa itu kemudian diprotes petani karena dinilai memberatkan dengan nilai Rp 3 juta per hektare per tahun.
Saat berita ini dilaporkan, ribuan petani tersebut masih dalam perjalanan menuju Kantor DPRD Lampung.
Kedatangan mereka menggunakan puluhan truk. (Tribunlampung.co.id / V Soma Ferrer)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.