Pileg 2024
Generasi Z di Bandar Lampung dan Bayang-bayang Hoaks Pemilu
Pemuda bernama lengkap Alif Nugraha (21) itu rupanya sempat tertipu informasi burung menjelang pesta rakyat pemilihan presiden dan wakil presiden.
Penulis: Kiki Novilia | Editor: taryono
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Alif terkekeh geli mengenang pengalamannya terkecoh hoaks pada Pemilu 2024 lalu. Pemuda bernama lengkap Alif Nugraha (21) itu rupanya sempat tertipu informasi burung menjelang pesta rakyat pemilihan presiden dan wakil presiden.
“Jujur pernah kegocek,” ujarnya malu-malu pada Tribun Lampung, Jumat (23/5/2024).
Alif bercerita, kejadiannya bermula saat dia mendapat informasi visi dan misi salah satu pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden di media sosial. Gelora jiwa mudanya membara, pemuda asal Bandar Lampung itu tanpa pikir panjang segera meneruskan pesannya ke dalam grup WhatsApp.
Bak gayung bersambut, teman-temannya sontak merespons heboh. Pesan dari Alif ternyata berhasil memantik diskusi panjang dan mendalam.
“Waktu itu kan lagi panas-panasnya, jadi ya heboh,” kata dia.
Dikatakan Alif, saat itu dirinya masih terpengaruh antusias sebagai pemilih pemula. Dari yang sebelumnya hanya bisa menonton di balik layar, kini bisa turut terlibat menggunakan hak suara.
Karena itu, Alif menampik menyebarkan hoaks atas dasar kesengajaan. Ia mengaku, hanya kesulitan membedakan informasi kredibel dengan hoaks.
“Ada teman yang akhirnya share informasi baru, ternyata yang ini yang benar. Ya sudah, saya bilang ‘maaf ya’, jadi ya malu,” tambahnya.
Kasus serupa dialami Alvito Leonardi (21). Generasi Z yang satu ini pun pernah kena tipu berita palsu.
“Waktu itu soal program kerjanya Prabowo yang makan siang gratis,” terang Vito -sapaan akrabnya-, Sabtu (25/5/2024).
Samar-samar di ingatan Vito, kala itu ia takjub mendengar kabar Prabowo bakal melaksanakan program makan siang gratis ke seluruh Indonesia hanya dalam satu tahun kepemimpinan. Kehebatan kabar program tersebut sukses membuat pemuda 21 tahun itu berdecak kagum.
“Gimana caranya bisa merata ke seluruh Indonesia cuma dalam waktu 1 tahun? Kalau iya, beneran hebat banget,” pikirnya saat itu.
Tapi ternyata, setelah ditelaah, ada misinformasi yang terjadi. Program makan siang gratis Prabowo baru bisa berjalan setelah 5 tahun masa kepemimpinan.
Merasa kena tipu mentah-mentah, Vito akhirnya lebih selektif dalam mencari kebenaran informasi. Ia tak segan mengakses banyak media kredibel guna terhindar dari jeratan hoaks.
“Internet kan kayak hutan belantara, jadi harus pintar-pintar sembari pakai logika juga,” ucap dia.
Berkaca dari pengalamannya itu, Vito pun mengaku resah atas banyaknya hoaks di media sosial. Sebab, ia merasa seperti digempur oleh berita bohong setiap harinya.
“Resah, kadang di depan mata kita sendiri ngeliat ada orang yang kemakan hoaks jadinya ikut prihatin,” katanya.
Gen Z Rentan Terpapar Hoaks
Alif dan Alvito hanya dua dari 30 responden dalam riset yang digelar Tribun Lampung dan AJI Indonesia pada 19-22 Mei 2024. Mereka adalah warga Bandar Lampung yang lahir dalam kurun waktu 1997-2012, atau biasa disebut Generasi Z.
Riset tentang paparan hoaks di masa pemilu 2024 ini tak hanya menyasar Gen Z, tapi juga milenial, kelompok responden yang lahir dalam kurun waktu 1981-1996. Seperti halnya responden Gen Z, sebanyak 30 responden lain dari kelompok milenial tersebut dipilih dengan teknik purposive sampling. Secara keseluruhan, sebanyak 60 responden mengisi survei kuantitatif eksperimental tersebut.
Pengalaman Alif dan Alvito persis dengan yang dialami responden lainnya. Setidaknya 76 persen responden Gen Z di Bandar Lampung menilai media sosial sarat kabar bohong. Rincinya, dari 12 responden laki-laki, 11 di antaranya setuju bahwa banyak paparan hoaks di media sosial. Sedangkan dari total 18 responden perempuan, 12 di antaranya punya pendapat yang sama.
Dengan demikian, mayoritas Gen Z sepakat berada dalam bayang-bayang berita palsu di dunia maya. Sementara 10 persen lainnya memilih tidak setuju dan 13 persen sisanya menjawab netral.

Angka tersebut melampaui paparan hoaks yang diterima kelompok milenial di Bandar Lampung yang hanya mencapai 57 persen. Meski masih tergolong banyak, generasi milenial nyatanya masih berada di bawah Gen Z.

Ihwal perbedaan tersebut, kebiasaan digital kedua generasi ditengarai memainkan peranan penting. Generasi Z dikenal sebagai digital native tumbuh dalam kecanggihan teknologi internet sejak lahir. Alhasil, kategori usia ini umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk berselancar di dunia maya.
“Sehari bisa 6-7 jam lah kalau ditotal mengakses sosmed,” aku Ayu Wijayanti (26) saat dihampiri di Kos Lily, Bandar Lampung, Jumat (7/6/2024).
Dalam rentang waktu tersebut, Ayu biasanya memilih untuk scrolling Instagram dan WhatsApp. Ia menikmati waktu santai di dua platform tersebut di sela-sela aktivitasnya sebagai karyawan swasta.
Jawaban berbeda datang dari responden milenial, Arie Purnama (38). Pria yang bekerja sebagai developer perumahan ini mengaku tidak terlalu memperhatikan hiruk-pikuk media sosial. Sebab, kesibukan pekerjaan dirasa sudah banyak menyita waktunya.
“Tiap hari harus kontrol ke bangunan, cek material, cek tukang kerja. Itu sudah makan banyak waktu,” kata dia saat dijumpai di Nuju Coffee, Bandar Lampung, (5/6/2024).
Karena itu, Arie hanya mengakses sosial media saat diperlukan saja. Hal ini pula yang membuatnya memberi poin 1 alias sangat tidak setuju banyak hoaks di media sosial.
Gen Z Kesulitan Mengenali Hoaks
Survei ini juga menunjukkan banyaknya Gen Z di Kota Tapis Berseri –julukan Kota Bandar Lampung– kesulitan mengidentifikasi hoaks di media sosial. Hanya 43 persen responden yang merasa yakin mampu mengenali berita bohong. Sebanyak 34 persen Gen Z menyatakan kesulitan. Adapun 23 persen lainnya yang menjawab netral.
Banyaknya responden yang menjawab netral adalah 7 orang. Dalam kondisi tertentu, mereka sukar memilih informasi hoaks. Mereka bisa masuk ke dalam golongan responden yang secara terus terang mengaku kesulitan.
Temuan menariknya, mayoritas responden yang merasa kesulitan mengidentifikasi hoaks datang dari kalangan laki-laki. Dari 10 responden yang menyatakan kerepotan mengenali hoaks, terdiri atas 9 responden laki-laki dan 1 perempuan.

Alif termasuk yang mengaku kebingungan mengenali hoaks. Mahasiswa Universitas Lampung ini berdalih jarang mendapat pendidikan politik maupun literasi media. Kampus maupun lingkungan tempat tinggalnya tidak memberikan informasi yang cukup.
“Di kampus paling cuma diingetin untuk jangan golput, pakai hak suara, gitu aja,” ungkap dia.
Sementara Gusti Amalia (27) merasakan hal yang sama. Karyawan media online di Lampung ini seperti berada di persimpangan antara yakin dan tidak dalam mengidentifikasi kebenaran sebuah informasi di media sosial. “Persentasenya fifty-fifty,” kata dia, Jumat (7/6/2024).
Gusti merasa sukar mengidentifikasi hoaks yang dikemas dengan tampilan meyakinkan. “Biasanya kan kalau hoaks itu ciri khasnya judul bombastis, tapi pernah menemukan yang tampilannya sangat meyakinkan,” kata dia.
Seperti Alif, Gusti juga beralasan punya keterbatasan informasi. Dia menyatakan tidak selalu up to date soal informasi pemilu yang kompleks dan aktual. Walhasil, dia kebingungan ihwal kebenaran informasi baru di media sosial.
Kondisi di atas sejalan dengan riset yang pernah dilakukan media Magdalene.co yang bekerjasama dengan Departemen Teknik Mesin dan Industri di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Deakin University di Australia untuk menganalisis tingkat kepercayaan dan kemampuan Gen Z di Indonesia dalam mengenali hoaks pada 2021-2022.
Menggunakan riset kuantitatif melalui survei daring kepada 647 responden Gen Z di seluruh Indonesia, hasil yang didapat mencengangkan. Kelompok usia tersebut ternyata kesulitan membedakan antara hoaks dan informasi kredibel.
Hoaks Paling Banyak di Facebook
Dalam penyebaran hoaks, media sosial memegang peranan penting. Media dengan segudang pengguna seperti Instagram, WhatsApp, Facebook dan Twitter menjadi sarana penyebaran hoaks di kalangan anak muda.
Secara rinci, 60 persen responden Gen Z di Bandar Lampung memilih Facebook sebagai media sosial paling banyak memuat hoaks. Disusul 40 persen responden memilih Instagram di posisi kedua. Kemudian 40 persen responden memilih WhatsApp untuk urutan ketiga. Terakhir, 17 persen responden memilih Twitter di peringkat terakhir.

Ade Ahmad (26) membeberkan pengalamannya. Ia bercerita, awalnya menggunakan Facebook untuk kepeluan pekerjaan. Pria yang sempat bekerja sebagai videografer itu mengunggah hasil kerjanya di sana.
Tapi sayangnya, Ade justru menemukan banyak berita hoaks, tidak terkecuali soal pemilu. Informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya itu kerap berseliweran di bagian halaman utama.
“Ada yang bentuknya video, trus tulisan heboh gitu yang membahas masing-masing paslon,” ucap dia, Sabtu (8/6/2024).
Hal inilah yang membuatnya kapok mengakses Facebook. Ia pun beralih ke platform media sosial yang lain.
“Kalau lagi kepepet aja baru diakses,” sambungnya.
Habis Terpapar Jadi Penyebar
Banyaknya kelompok muda yang terpapar hoaks di media sosial bukan satu-satunya bahaya. Ancaman berikutnya justru berasal dari tingkat keterlibatan mereka dalam penyebaran hoaks.
Setidaknya 30 persen responden Gen Z menyatakan turut serta dalam penyebaran kabar bohong di masa pemilu 2024. Lalu 17 persen responden menyakini tidak pernah menyebarkan hoaks. Sementara 53 persen responden memilih netral alias masih ragu-ragu.
Jumlah responden yang memilih netral cukup menarik perhatian. Sebab, persentasenya lebih tinggi ketimbang responden yang mengaku pernah menyebar hoaks maupun tidak. Hal ini berkaitan dengan banyaknya Gen Z yang kesulitan mengenali informasi hoaks. Mereka ragu, apakah informasi yang pernah disebar termasuk ke dalam berita bohong atau bukan.

Satu di antara penyebabnya adalah literasi media yang rendah. Sebanyak 34 persen Gen Z kebingungan dalam memilah informasi yang kredibel dengan hoaks. Sementara 23 persen lainnya lebih percaya dengan informasi pemilu dari sanak saudara meski belum jelas kebenarannya. Adapun selebihnya termasuk pada antusias menggebu khas anak muda.
Akibat Rendahnya Literasi
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Lampung, Andy Corry Wardhani menyebut hoaks semakin merajalela dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Bukan soal tua ataupun muda, semua bisa terkena hoaks. Tapi kaitannya dengan pemilu, memang lebih banyak anak muda,” ucap dia saat dikunjungi di ruang kerjanya di FISIP Universitas Lampung, Selasa (28/5/2024).
Ia menambahkan, generasi muda lebih rentan terpapar hoaks karena beberapa alasan. Pertama, kemampuan mengelola emosi yang masih belum mumpuni.
“Senang drama, senang sensasi, jadi saat menerima sesuatu langsung disebar,” katanya.
Kedua, kurangnya kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir kritis yang seharusnya menjadi tonggak utama dalam mengolah informasi, justru tidak terasah secara baik. Ketidakmampuan tersebut akhirnya menjadikan generasi muda sasaran empuk bagi pihak-pihak yang punya kepentingan politik.
“Berita hoaks kan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang punya kepentingan,” paparnya.
Ketiga, kemudahan akses media sosial yang tidak diimbangi dengan kemampuan literasi media. Generasi muda saat ini dikatakannya tak mendapat bekal yang cukup untuk berselancar di media sosial.
“Kalau di luar negeri, literasi media itu diajarkan sejak TK. Kalau kita kan enggak, jadi bisa dibilang telat,” ujarnya.
Andy Corry mengingatkan, di media sosial terdapat fenomena khusus yang perlu diperhatikan, yakni efek gelembung filter. Fenomena tersebut bagaikan algoritma yang akan menyesuaikan konten yang disukai penggunanya.
“Misal, kita suka sama paslon A dan sering lihat konten media sosial yang berkaitan dengan mereka. Nah, nanti yang akan muncul adalah paslon A saja, kita tutup mata dengan capres lainnya,” beber dia.
Karena itu, dia mendorong tiap individu bisa lebih selektif dalam mengonsumsi konten yang ada di media sosial. Kemudian dibantu oleh seluruh lapisan masyarakat yang saling bahu-membahu membasmi menjamurnya hoaks. Hal ini meliputi orangtua, guru, dosen, penyelenggara maupun pengawas jalannya pemilu.
( TRIBUNLAMPUNG.CO.ID / KIKI NOVILIA )
KPU Tetapkan 50 Anggota DPRD Lampung Selatan Terpilih Periode 2024-2029 |
![]() |
---|
KPU Resmi Tetapkan 50 Anggota DPRD Bandar Lampung Periode 2024-2029 |
![]() |
---|
PPP Sebut Terjadi Perpindahan Suara di 19 Provinsi, Salah Satunya di Jawa Timur |
![]() |
---|
Hadapi Gugatan Gerindra, Bawaslu Bandar Lampung Minta Panwascam Siapkan Data |
![]() |
---|
Hasil Pileg 2024: PDIP Raih Suara Terbanyak, Diikuti Golkar dan Gerindra |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.