Berita Terkini Nasional

Kata Megawati Soal Isu Anies Didukung PDIP: Enak Amat, Kamu Kemana Kemarin?

Bahkan Megawati merasa heran dengan adanya kelompok yang mendorong Anies Baswedan didukung PDIP.

Tribunnews.com
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri angkat bicara soal isu PDIP dukung Anies Baswedan. 

Apabila pakai revisi UU Pilkada yang disepakati Baleg DPR dan akan disahkan, Anies kembali pupus. 

Pengamat Hukum Tata Negara Nilai DPR Membangkangi Putusan MK soal Perubahan Pencalonan Pilkada

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah mengkritik langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI atas revisi UU Pilkada. Bahkan DPR juga menyepakati untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), bukan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia Cagub.

“Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada,” kata Ismail pada Kamis (22/8/2024).

Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024. Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi.

Di mana yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas. Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD.

“Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan,” ucapnya.

Putusan MK, lanjut dia, seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU.

“Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances,” imbuhnya.

Kata dia, peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan MK telah menjadi bukti, tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki MK. Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali MK yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi.

“Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat,” jelasnya.

“Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik,” lanjutnya.

Dikutip dari Kompas.com, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI baru saja menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah. Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimal calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Namun, Baleg DPR pilih mengikuti putusan kontroversial Mahkamah Agung (MA) yang dibuat hanya dalam tempo 3 hari, yakni titik hitung usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan.

Dalam jalannya rapat, Rabu (21/8/2024), keputusan ini juga diambil hanya dalam hitungan menit. Mayoritas fraksi, selain PDI-P, menganggap bahwa putusan MA dan MK sebagai dua opsi yang sama-sama bisa diambil salah satunya. Mereka menilai, DPR bebas mengambil putusan mana untuk diadopsi dalam revisi UU Pilkada sebagai pilihan politik masing-masing fraksi.

Fraksi PDI-P, diwakili Putra Nababan dan Arteria Dahlan, sempat melontarkan sejumlah argumentasi yang pada intinya menganggap bahwa Baleg DPR harusnya mematuhi putusan MK. Terlebih, putusan MK secara hirarkis dapat dianggap lebih tinggi karena menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945, sedangkan putusan MA hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. Pemimpin rapat panja Baleg pagi tadi, Achmad Baidowi dari PPP, kemudian mengetuk palu tanda setuju bahwa pihaknya menolak putusan MK dan pilih manut putusan MA.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved