Berita Terkini Nasional

Pemerasan kepada Guru Supriyani Sebesar Rp 50 Juta Tidak Terbukti

Terduga pemerasan terhadap guru Supriyani adalah oknum mantan Kasat Reskrim dan Kapolsek Baito, Polres Konawe Selatan, Polda Sulawesi Tenggara.

Tribunnews.com
Pemerasan sebesar Rp 50 juta terhadap guru Supriyani tidak terbukti. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Sulawesi Tenggara - Dugaan pemerasan kepada guru Supriyani yang nilainya sebesar Rp 50 juta tidak terbukti.

Diketahui terduga pemerasan terhadap guru Supriyani adalah oknum mantan Kasat Reskrim dan Kapolsek Baito, Polres Konawe Selatan, Polda Sulawesi Tenggara.

Hal itu yang diungkap Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) Kombes Pol Iis Kristian, Kamis (5/12/2024).

Menurut Komber Pol Iis Kristian rumor permintaan uang Rp 50 juta kepada guru Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara tidak terbukti.

Dua oknum polisi yang diduga memeras Supriyani, yakni Ipda MI dan Aipda AM sudah menjalani sidang etik Propam Polda Sulawesi Tenggara, Kamis, (5/12/2024).

Uang yang diduga diminta kepada Supriyani ialah sebesar Rp 2 juta dan Rp50 juta.

Selepas sidang itu, Iis menyebut tidak ada bukti bahwa Supriyani pernah diperas Rp 50 juta. Adapun yang terbukti ialah permintaan sebesar Rp 2 juta.

"Jadi yang terbukti itu yang Rp 2 juta," kata Iis, Kamis.

Iis juga menjelaskan isu permintaan uang Rp 50 juta itu. Kata Iis, saat itu Aipda AM sedang di pasar lalu mendengar pembahasan uang Rp 50 juta.

"Kemudian dia menyampaikan kepada kepala desa, terkait kebenaran permintaan uang tersebut," ujar Iis.

"Dari Aipda WH tidak tahu soal angka Rp 50 juta, kemudian Pak Kapolsek juga tidak tahu. Jadi fakta persidangan Rp 50 juta itu tidak, yang ada itu yang Rp 2 juta," katanya. 

 "Jadi 50 juta itu cuman informasi yang beredar, cuman katanya-katanya."

Permintaan uang Rp2 juta

Sementara itu, permintaan uang Rp 2 juta memang terbukti. Iis mengatakan uang itu diterima eks Kapolsek Baito saat diberikan langsung oleh Kades Wonua Raya.

Ipda MI mulanya tidak tahu bahwa uang yang diberikan Kepala Desa Wonua Raya berasal dari keluarga Supriyani.

Pada saat itu eks Kapolsek Baito hanya menyampaikan guru Supriyani tidak ditahan. Ipda MI lalu meminta bantuan kepada kepala desa.

Perihal bantuan ini, Ipda MI tidak menyebut nominalnya kepada Kepala Desa Wonua Raya.

"Pada saat Pak Desa berkunjung ke Polsek Baito memang diawali dengan menyampaikan ibu Supriyani tidak ditahan, kemudian ada pernyataan 'Pak Desa bisa bantu, nggak?'" kata Iis.

Kepala Desa Wonua Raya lalu memberikan uang kepada Ipda MI. Uang itu adalah hasil patungan uang Kepala Desa Wonua Raya dengan Katiran, suami Supriyani.

"Perkataan permintaan bantuan itu angkanya tidak disebut dan eks Kapolsek Baito tidak tahu uang itu dari Pak Desa."

"Nah, rupanya Pak Desa sampaikan ke Pak Katiran dan disepakati uang Pak Desa dipakai dulu seminggu kemudian diganti sama Pak Katiran," ujar Iis.

Menurut Iis, gara-gara permintaan uang Rp 2 juta itu, Ipda MI dan Aipda AM disangkakan melanggar aturan sehingga keduanya harus menjalani sidang kode etik.

"Pejabat Polri itu tidak boleh baik langsung ataupun tidak langsung melakukan hubungan di luar dinas dengan pihak-pihak terkait perkara yang sedang ditanganinya."

Ipda MI dan Aipda AM segera jalani sanksi

Dalam sidang etik, mantan Kapolsek Baito Ipda MI dan Kanit Reskrim Polsek Baito Aipda AM dinyatakan terbukti meminta uang kepada guru Supriyani dan keluarga.

Uang itu diminta supaya kasus yang menjerat Supriyani tidak dilanjutkan. Dalam kasusnya, Supriyani diduga menganiaya muridnya yang merupakan anak seorang polisi aktif.

Atas tindakannya, Ipda MI dan Aipda AM dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus).

Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) memberi Ipda MI sanksi patsus selama tujuh hari, sementara Aipda AM selama 21 hari.

Sanksi itu berdasarkan putusan majelis hakim sidang etik karena keduanya melanggar kode etik Polri.

Menurut Kabid Propam Polda Sultra Kombes Pol. Moch Sholeh, kedua polisi itu mulai menjalani patsus hari Senin, (9/12/2024).

"Karena yang bersangkutan ini tinggalnya di Konawe Selatan, kita mulainya hari Senin aja," kata Sholeh di Polda Sultra, Kamis.

Dia berujar Ipda MI menjalani patsus di Polda Sultra, sedangkan Aipda AM di Polres Konawe Selatan.

"Kalau Ipda MI di Polda Sultra, untuk AM ada di Polres Konawe Selatan. Bisa kita tarik patsus di mana aja karena masih rumah polisi bisa di sini (Polda) bisa juga di Polres."

"Tapi kemungkinan kita tarik ke Polda Sultra supaya lebih mudah pengawasannya."

Sanksi yang diberikan kepada Ipda MI adalah patsus tujuh hari dan demosi satu tahun. Adapun Aipda AM disanksi patsus 21 hari dan dua tahun demosi.

Sholeh menyebut keduanya memiliki pangkat berbeda. Bagi perwira, kata dia, sanksi teguran sudah termasuk keras.

"Dari segi pangkat berbeda ya, dengan melihat fakta-fakta persidangan dengan yang bintara beda. Untuk level perwira itu dengan teguran aja sudah keras apalagi dipatsus," kata Sholeh.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved