Berita Terkini Nasional
Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK, Tidak Mau Masuk Politik dan Pilih Jadi Budak Korporat
Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mencatatkan nama mereka dalam buku sejarah politik Indonesia.
Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, Tsalis, dan Faisal. Tsalis misalnya, menyebut keluarganya sangat awam politik.
"Bahkan orang tua saya saja presidential threshold itu apa, masih belum tahu gitu. Jadi mungkin saya tidak akan memproyeksikan ke sana," kata dia.
“Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi. Karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya jadi politisi agar mereka punya akses yang sama,” tambahnya.
Gugatan yang diajukan empat mahasiswa itu jadi tonggak sejarah baru politik Indonesia, karena dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru gugatan mereka yang dikabulkan MK.
Berdasarkan putusan MK yang dibacakan Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi, serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan inilah yang jadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat mahasiswa itu.
Enika dan kawan-kawan sempat merasakan tidak percaya diri karena permohonan mereka ke MK dirasa kurang baik.
Bahkan, mereka tidak yakin permohonan itu bisa masuk ke sidang selanjutnya, apalagi sampai sidang putusan.
“Awalnya, kami tidak optimistis. Karena jujur, ini pertama kali kami membuat draft permohonan yang nyata, meski kami paham dasarnya,” kata Enika, Jumat (3/1/2025).
“Saat kami masuk ke sidang pendahuluan, itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim MK. Kami pikir, kesempatan untuk lanjut ke sidang permohonan pokok saja sepertinya sangat kecil, tapi alhamdulillah, tetap bisa lanjut,” beber dia.
Keraguan itu tervalidasi dari hasil diskusi dengan rekan-rekan pegiat konstitusi lain.
Sembilan orang menyebut permohonan ditolak, meski delapan lainnya yakin permohonan akan dikabulkan.
“Kami rasa, permohonan kami tidak ada kesempatan karena kalau itu diputuskan, itu mengubah peta perpolitikan di Indonesia,” ucapnya lagi.
Enika, Rizki, Fasial dan Tsalis merupakan mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), organisasi resmi di FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keempatnya memiliki visi sama, yaitu menciptakan ruang demokrasi yang lebih beragam dan tidak terpolarisasi.
Alasan TNI AD Simpan Rudal Balistik KHAN di Kalimantan Timur |
![]() |
---|
Jenazah Yurike Sanger, Istri ke-7 Soekarno Akan Dimakamkan di TPU Tanah Kusir |
![]() |
---|
Nasib Anggota DPRD Wahyudin Moridu yang Viral karena Ingin Rampok Uang Negara |
![]() |
---|
Dicopot dari PCO, Hasan Nasbi Kini Jabat Komisaris PT Pertamina |
![]() |
---|
PDIP Pecat Anggota DPRD Wahyudin Moridu yang Ingin Rampok Uang Negara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.