Narasi Gender pada Media Sosial dalam Perspektif Filsafat Jacques Derrida

Media sosial menciptakan ruang untuk membongkar oposisi biner ini dengan menampilkan narasi yang lebih cair.

Istimewa
Agustin Diana Wardaningsih (Dosen Ilmu Komunikasi UPH). 

Oleh Agustin Diana Wardaningsih (Dosen Ilmu Komunikasi UPH)

Tampilan layar salah satu platform media sosial menampilkan iklan sosok perempuan cantik berpakaian terbuka dengan suara manja mempromosikan produk kendaraan yang banyak diminati laki-laki.

Beranjak dari satu platform ke platform lainnya, muncul kampanye hak reproduksi dan kekerasan berbasis gender online yang memberikan ruang positif untuk perempuan berbicara.

Tidak dipungkiri  di era digital, media sosial telah menjadi ruang utama untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri.

Platform seperti Twitter, TikTok, Instagram dan lainnya, bukan hanya digunakan memberikan informasi, berbagi cerita dan hiburan, tetapi juga untuk menyuarakan dan memperjuangkan isu-isu sosial, termasuk narasi tentang peran gender.

Konsep gender merupakan pembedaan peran karena jenis kelamin sehingga wanita dan laki-laki yang kodratnya sejak awal telah memiliki perannya masing-masing sesuai dengan yang dikonstruksikan oleh budaya setempat sesuai dengan peran, sifat, kedudukan, dan posisi dalam masyarakat (Hamid, 2023).

Pembagian peran ini menunjukkan posisi laki-laki sebagai peran produktif, publik, maskulin dan sebagai pencari nafkah, membedakan dengan perempuan pada posisi reproduktif, domestik, pencari nafkah tambahan (fakih, 1997).

Dalam konteks Indonesia, sistem patriarki menjadikan laki-laki sebagai sosok yang mendominasi dalam kehidupan masyarakat, karena dalam struktur budaya menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, berada pada posisi yang tinggi (Rokhmansyah, (2013). Hal ini menyebabkan standar perempuan diletakkan lebih rendah serta adanya pembatasan peran, diskriminasi yang
menciptakan kesenjangan semakin besar.

Hal ini juga dikonstruksikan lewat media, termasuk lewat platform-platform media sosial saat tubuh perempuan dieksploitasi untuk keuntungan, misalnya mempromosikan judi online yang tidak berkaitan sama sekali antara perempuan dan isi pesannya.

Terdapat tantangan besar, di satu sisi platform seperti twitter, tiktok, Instagram, dan platform media sosial memberikan peluang bagi dekonstruksi norma gender tradisional tersebut dengan kampanye perjuangan kesetaraan melalui media sosial.

Keberadaan media sosial membuka peluang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk bebas mengekspresikan identitas masing-masing. Namun pada sisi lainnya, media sosial justru semakin memperkuat stereotip lama hanya dalam bentuk format yang baru di dunia digital.

Perempuan dijadikan wajah kampanye pemasaran produk karena daya tarik visual yang dianggap efektif dalam meningkatkan penjualan produk, mempromosikan produk kecantikan, mode, atau gaya hidup.

Di satu sisi memberikan peluang adanya penghasilan bagi perempuan tetapi pada saat yang sama juga menekan perempuan untuk memenuhi standar yang ditentukan masyarakat sosial.

Juga adanya tren tantangan tarian atau gaya pada platform media sosial sebagai konten viral dengan menonjolkan kecantikan serta keindahan tubuh perempuan.

Eksploitasi estetika perempuan untuk meningkatkan ketertarikan yang akhirnya bisa memberikan keuntungan pada platform atau pengiklan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved