Narasi Gender pada Media Sosial dalam Perspektif Filsafat Jacques Derrida
Media sosial menciptakan ruang untuk membongkar oposisi biner ini dengan menampilkan narasi yang lebih cair.
Penulis: sulis setia markhamah | Editor: Endra Zulkarnain
Kemudahan dan beragam kelebihan yang dimiliki media sosial bisa dimanfaatkan serta membuka peluang bagi dekonstruksi norma gender tradisional yang membedakan peran lakilaki dan perempuan dalam interaksi sosial.
Dekonstruksi adalah konsep yang dikembangkan oleh filsuf Perancis Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20. Dekonstruksi merupakan satu cara berpikir, bukan metode atau teknik.
Cara berpikir yang bertujuan untuk menganalisa teks, ide, konsep dengan menganalisa struktur makna yang terdapat di dalamnya(Culler, 1982).
Salah satu prinsip utama yang menjadi landasan dari teori Dekonstruksi adalah kritik terhadap “Metafisika Kehadiran” yang membuat makna dilihat sebagai sesuatu yang tetap lewat katakata.
Derrida menolak ide tersebut dan menyatakan bahwa makna memiliki sifat yang tergantung pada konteksnya, serta tertunda atau terpecah (Difference), sehingga tidak ada makna yang stabil atau sepenuhnya hadir tidak berubah(Derrida, 1976).
Prinsip lain yang menjadi landasan utama dari pemikiran Dekonstruksi adalah pembongkaran Struktur Biner, karena banyak ide filsafat barat dibangun atas pasangan biner yang saling berlawanan seperti, Kehadiran VS Ketiadaan, Rasionalitas VS Irasionalitas, Ucapan VS Tulisan, Laki-laki VS Perempuan (Culler, 1982).
Dalam sepasang biner ini, satu elemen di dalamnya sering dianggap lebih penting, lebih ungul daripada elemen yang lain, salah satunya perbedaan peran laki-laki dan perempuan.
Derrida menentang hierarki superior dan inferior dengan menunjukkan bahwa elemen yang dianggap inferior sebenarnya sama penting, bahkan mendasari keberadaan elemen yang dianggap superior (Derrida, 1981).
Gender, dalam konteks media sosial, dapat dilihat sebagai "teks" yang dibentuk oleh simbol, narasi, dan interaksi digital. Media sosial merepresentasikan gender melalui konten visual, narasi kampanye, dan algoritma yang menentukan apa yang terlihat dan tidak terlihat.
Narasi gender tradisional (misalnya, perempuan sebagai objek visual atau laki-laki sebagai pemimpin) dapat dianggap sebagai teks yang dikonstruksi oleh budaya patriarki dan diperkuat melalui media sosial.
Derrida menyoroti pada konteks gender, laki-laki sering dikonstruksi sebagai "subjek dominan," sementara perempuan menjadi "subjek subordinat."
Media sosial menciptakan ruang untuk membongkar oposisi biner ini dengan menampilkan narasi yang lebih cair. Media sosial seperti Instagram, Tiktok, Twitter, dan Youtube telah menjadi platform utama untuk menyarakan isu-isu kesetaraan gender, salah satunya di Indonesia.
Kecepatan penyebaran informasi dan keterlibatan pengguna yang tinggi memungkinkan kampanye kesetaraan gender bisa memperoleh audience yang luas, termasuk menjangkau generasi muda.
Umumnya isu yang sering diangkat lewat media sosial terkait kesetaraan gender, seperti hak reproduksi, stigma sosial terhadap perempuan, atau kekerasan berbasis gender.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Derrida bahwa dekonstruksi tidak hanya membongkar struktur tetapi juga menunjukkan bahwa struktur tersebut bisa direproduksi dalam bentuk baru.
Polda Lampung Bongkar Grup Penyuka Sesama Jenis di Medsos |
![]() |
---|
Aksi Tari Anak Pacu Jalur di Riau Viral di Medsos, Dipopulerkan Pemain PSG dan AC Milan |
![]() |
---|
DPRD Dorong Pemprov Lampung Terbitkan Raperda Larangan, Setelah Temukan 30 Grup LGBT di Medsos |
![]() |
---|
Polres Lampung Selatan Selidiki Video Medsos Rombongan Remaja Bawa Sajam |
![]() |
---|
Foto Harvey Moeis Lenyap di Media Sosial Sandra Dewi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.