Narasi Gender pada Media Sosial dalam Perspektif Filsafat Jacques Derrida

Media sosial menciptakan ruang untuk membongkar oposisi biner ini dengan menampilkan narasi yang lebih cair.

Istimewa
Agustin Diana Wardaningsih (Dosen Ilmu Komunikasi UPH). 

Media sosial memang bisa menjadi alat untuk membongkar hierarki gender, mendukung narasi perempuan sebagai sebagai pemimpin atau menghapus stigma terhadap perempuan.

Di satu sisi kehadiran media sosial juga sering kali memperkuat norma lama dengan reproduksi menjadi format baru, seperti dengan mengangkat isu pemberdayaan perempuan, tetapi bermuatan iklan kecantikan terselubung yang dimanfaatkan oleh narasi kapitalis untuk mengeruk keuntungan, tetapi secara tidak langsung memperkuat standar kecantikan yang sudah ada sejak lama menekan perempuan.

Dalam pemikiran Derrida dengan dekonstruksi, makna selalu menyisakan jejak dari makna lain yang berlawanan atau bertentangan. Tidak ada makna yang sepenuhnya bebas dari konteksnya.

Sehingga saat media sosial menjadi ruang untuk membangun dan menciptakan narasi barutentang gender, jejak dari norma lama atau yang tradisional tetap ada, sehingga kampanye tentang pemberdayaan perempuan seringkali tanpa disadari memuat elemen eksploitatif yang merugikan bagi perempuan.

Hal ini dipengaruhi oleh jejak makna laki-laki dan perempuan yang sangat kuat mengakar pada interaksi sosial. Pada media sosial, Algoritma sering dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian berdasarkan preferensi yang sudah ada, sehingga memperkuat norma yang dominan.

Pemikiran Derrida dengan dekonstruksi bisa digunakan untuk membongkar dan meganalisa algoritma bekerja sehingga bisa digunakan untuk mengubah narasi inklusif yang perlu di prioritaskan.

Derrida menyebutkan setiap teks selalu terbuka untuk iterasi (pengulangan) dan reinterpretasi. Representasi gender di media sosial dapat diinterpretasikan ulang oleh tiap individu lewat konten-konten yang bisa mendekostruksikan ulang dengan mengkritik dan mentransformasi narasi lama yang ada.

Namun perlu literasi digital agar individu bisa memanfaatkan media sosial dengan bijak untuk membuat perubahan, bukan untuk memperkuat narasi yang sudah ada sebelumnya.

Misalnya isu tentang reproduksi yang dulunya menjadi beban dan tanggungjawab utama perempuan, tetapi bisa dinarasikan memperkuat peran laki-laki menjadi pria siaga, tetapi tidak melupakan keberadaan perempuan dalam perjuangan tersebut.

Konsep dekonstruksi Derrida memungkinkan kita untuk memahami media sosial sebagai ruang di mana makna gender terus dikonstruksi, direproduksi, dan dibongkar.

Media sosial berpotensi menjadi alat pembebasan dengan menciptakan ruang inklusif untuk narasi gender baru.

Namun, ia juga dapat menjadi alat eksploitasi yang memperkuat hierarki gender dalam bentuk yang lebih halus.

Dekonstruksi gender di media sosial memerlukan kesadaran kritis terhadap bagaimana narasi gender dibentuk, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana struktur tersebut dapat diubah. Dan ini butuh proses dan perjuangan agar masyarakat terliterasi digital serta bisa kritis memanfaatkan media sosial.

Referensi :
Culler, Jonathan. (1982). On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism. NY:
Cornell University Press.
Derrida, J. (1981). Dissemination (B. Johnson, Trans.). Chicago, IL: The University of
Chicago Press. (Original work published 1972)
Derrida, Jacques. (1976). Of Grammatology. Edited by Gayatri C. Spivak. US: the John
Hopkins University Press.
Fakih, M. (2016). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamid, N., & Zayd, A. (2011). Dekonstruksi Gender. Vol. 3, No. 2, Desember.
Rokhmansyah, A. (2013). Pengantar Gender dan Feminisme:: Pemahaman Awal Kritik Sastra
Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca

(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/rls)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved