Harga Singkong Anjlok di Lampung

MSI Desak Pemerintah Selamatkan Industri Singkong di Lampung

Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mendesak pemerintah agar segera menyelamatkan industri singkong di Lampung, terutama terkait harga jual - beli.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Noval Andriansyah
Tribunlampung.co.id/Fajar Ihwani Sidiq
CABUT SINGKONG - Petani singkong di Lampung Tengah saat memanen tanaman singkongnya. | Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mendesak pemerintah agar segera menyelamatkan industri singkong di Lampung, terutama terkait harga jual - beli di petani. Desakan tersebut muncul lantaran saat ini sejumlah industri tapioka di Lampung menutup pabrik dan menghentikan pembelian umbi kayu atau singkong dari petani. 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mendesak pemerintah agar segera menyelamatkan industri singkong di Lampung, terutama terkait harga jual - beli di petani.

Desakan tersebut muncul lantaran saat ini sejumlah industri tapioka di Lampung menutup pabrik dan menghentikan pembelian umbi kayu atau singkong dari petani.

Melihat itu, MSI memberikan pernyataan tertulis meminta pemerintah segera mengambil sikap dan melakukan terobosan untuk mengurai persoalan yang ada.

MSI mengimbau adanya koordinasi antarlembaga maupun kementerian terkait untuk menyelamatkan industri singkong di Lampung.

Dalam keterangan tertulisnya, Ketua Umum MSI Arifin Lambaga menyatakan, dampak dari polemik singkong apabila tidak segera diurai, dikhawatirkan menimbulkan masalah-masalah baru di tingkat petani, pabrik maupun masyarakat pekerja.

Terlebih katanya, Lampung merupakan sentra produksi singkong utama di Tanah Air.

Pada tahun 2022, Lampung menghasilkan 6,7 juta ton umbi singkong segar atau sekitar 40 persen dari total produksi singkong nasional.

Lalu sekitar 90 persen dari produksi singkong di Lampung diserap industri tapioka yang menghasilkan devisa sekitar Rp 10 triliun, belum termasuk hasil samping seperti onggok dan lainya.

"Jadi, sangat disayangkan jika potensi ini tidak terkelola dengan baik yang akhirnya merugikan semua pihak," kata Ketum MSI Arifin Lembaga, Selasa (28/1/2025).

Lanjut Arifin, besarnya potensi singkong dalam meningkatkan ketahanan pangan dapat menyejahterakan petani dan menjadi penyumbang devisa negara.

Menurutnya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah pusat dan daerah untuk mengurai permasalahan yang ada.

"Langkah jangka pendek, perlu kebijakan menyelamatkan singkong hasil panen petani yang tidak terserap pabrik."

"Hal ini perlu untuk menghindari kerugian lebih besar pada petani yang menggantungkan hidupnya pada singkong.

"Lalu, memberikan dukungan dan akses kepada petani untuk mendapatkan bantuan/subisidi pembiayaan dan sarana produksi seperti bibit dan pupuk," jelasnya.

Kemudian, pemerintah daerah terus melakukan pendekatan dan fasilitasi agar kedua pihak abtara petani dan pelaku industri tapioka dapat terus berkomunikasi mencapai kesepakatan harga yang diterima bersama.

"Perlu adanya keterbukaan (transparansi) semua pihak terkait komponen biaya produksi di tingkat usaha tani dan pabrik tapioka," ucapnya.

Dia menerangkan, untuk mengurai persoalan yang ada, MSI secara khusus mengusulkan harga singkong di tingkat petani minimal Rp. 1.200/kg dengan refaksi maksimal 15 persen.

"Usulan ini sudah dikaji tim MSI dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan tetap fleksibel untuk direvisi," kata dia.

Dia menyampaikan, perlu segera ada koordinasi pemerintah pusat, terutama Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan instansi terkait lainnya.

"Koordinasi sangat penting karena solusi singkong secara komprehensif melibatkan banyak aspek yang terkait."

"Satu di antaranya, perlu transparansi kebutuhan tapioka dalam negeri sehingga ada skala prioritas untuk menyerap produksi lokal sebelum diputuskan impor," bebernya.

Selain itu lanjut Arifin ada langkah Jangka panjang seperti, mewajibkan pelaku industri tapioka untuk bermitra dengan petani singkong lokal.

"Dengan kemitraan ini, maka pabrik terlibat dalam pembinaan petani meningkatkan produktivitas usaha dan umbi yang dihasilkan sesuai spesifikasi pabrik dengan harga yang sudah disepakati bersama. Selain itu, transaksi pembelian umbi dapat langsung dilakukan antara petani dan pabrik," katanya.

Selain itu dapat menyusun peta jalan (road map) pengembangan industri berbasis singkong di Lampung dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pemerintah, perbankan, pengusaha, trader, petani, peneliti, akademisi, organisasi perkumpulan (seperti MSI) dan LSM.

Menjadikan singkong sebagai pangan strategis nasional sehingga mempercepat kebijakan dan memudahkan pengembangannya seperti tanaman pangan lainnya.

"Kemudian, mendorong investasi hilirisasi berbagai produk berbahan baku singkong, disamping memperkuat industri tapioka yang sudah ada sekarang," pungkasnya.

Sekjen MSI Heri Soba menambahkan, dalam waktu dekat MSI dan stakeholder terkait akan segera melakukan pertemuan dengan menteri pertanian untuk membahas polemik singkong di Lampung.

"Rencananya kami MSI perwakilan kelompok tani, industri dan stagholeder terkait akan melakukan pertemuan dengan Menteri Pertanian yang rencananya pada 3 Febuari 2025 untuk membahas dan mencari solusi terkait polemik singkong ini," kata Heri Soba saat di wawancarai Tribun Lampung, Selasa (28/1/2025).

Dia menjelaskan, selama tidak ada komitmen menjadikannya sebagai pangan strategis, maka sulit mengharapkan pengembangan secara komprehensif.

"Maka selain mengeri pertanian, menteri perdagangan juga musti turut serta untuk mengurai persoalan impor singkong, kami berharap ini segera teratasi kasian hasil panen petani jika tidak bisa dijual terlebih ini mau puasa," pungkasnya.

Terancam Busuk

Sejumlah petani singkong di Lampung Tengah kini tengah dihadapkan dengan kekhawatiran hasil panen mereka mengalami kebusukan lantaran tak terjual.

Hal tersebut lantaran sejumlah pabrik tapioka menutup operasionalnya dan menyetop pembelian singkong dari petani lokal.

Diketahui, sejumlah pabrik tapioka yang ada di Lampung mendadak menutup operasional dan pembelian singkong dari petani lokal. Satu di antara alasannya yakni lantaran para pengusaha tidak sanggup membeli singkong berdasarkan ketetapan Pemprov Lampung yang telah disepakati yakni Rp 1.400 per kilogram.

Dalam beberapa hari terakhir, mereka tidak bisa menjual singkong hasil panennya ke pabrik. 

Tidak sedikit pabrik tapioka yang tidak beroperasi karena menghentikan pasokan singkong dari petani. 

Faktor penyebabnya mulai dari harga yang tinggi hingga kadar aci yang tidak sesuai standar.

Seperti yang diungkapkan Firman, petani asal Kampung Muji Rahayu, Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah. 

Ia sedang berduka karena sudah lima hari terakhir tidak bisa menjual singkongnya.

Firman terpaksa memarkirkan truk bermuatan singkong tersebut. 

Ia khawatir singkongnya bakal busuk karena sudah berhari-hari menumpuk begitu saja. 

"Sudah lima hari lima ton singkong saya menumpuk di dalam truk. Nggak terjual karena tidak ada pabrik yang mau membeli," kata dia, Senin (27/1/2025).

Menurut Firman, pabrik tidak mau menerima singkongnya karena tidak lolos standar aci yang ditetapkan. 

"Mobil panen saya sudah ke pabrik, tapi terpaksa putar balik karena nggak memenuhi standar kadar aci 24 persen per kilogram," ungkapnya.

Firman bisa saja menjual singkongnya ke lapak-lapak kecil. 

Pasalnya, lapak tersebut mau menerima singkong dalam semua kondisi. 

Namun, harga yang ditetapkan lapak jauh dari standar dan rafaksi sebesar 30-32 persen.

"Kalau nekat jual di lapak sebenarnya rugi juga. Harga cuman Rp 1.000 lebih dikit, potongannya 32 persen," kata dia.

Di sisi lain, tutupnya sejumlah pabrik juga berdampak ke buruh jasa cabut singkong dan angkut panen. 

Sebab, banyak petani yang menunda panen singkongnya.

Situasi itu dirasakan pria bernama Gunawan. 

Ia bersama 17 rekannya sesama buruh cabut singkong terpaksa kehilangan penghasilan. 

"Kami nggak dapat penghasilan karena nggak ada yang panen karena banyak pabrik tutup. Mobil nganggur, pekerja juga nganggur," kata Gunawan.

Gunawan mengatakan, untuk mencari penghasilan lain, ia terpaksa bekerja serabutan, misalnya dengan mencari rumput untuk pakan ternak. 

Namun, hasil dari pekerjaan tersebut tidak menentu. 

"Saya nggak tahu kapan bisa kerja cabut dan muat singkong lagi. Soalnya udah berhari-hari nggak ada yang mau panen singkong," tutur dia.

( Tribunlampung.co.id / Riyo Pratama )

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved