Wawancara Eksklusif
Pakar Hukum Unila Sebut Pemisahan Pemilu Rancu dan Membingungkan
Dalam putusan itu, MK memerintahkan agar Pileg dan Pilpres tetap diselenggarakan secara serentak.
Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Padahal, Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Pemisahan waktu ini menimbulkan tafsir konstitusional yang rancu.
Saya menilai, MK saat ini tidak hanya pasif, tapi juga sering melakukan eksperimen yang berubah-ubah, seperti yang terlihat dalam putusan soal batas usia calon wakil presiden, ambang batas pencalonan, hingga masa jabatan kepala daerah.
Sejak munculnya putusan yang meloloskan Gibran (Rakabuming Raka), saya melihat MK seperti sedang melakukan bersih-bersih citra, namun cenderung mengeluarkan putusan yang terkesan berpihak kepada pihak-pihak tertentu.
Alasan pemisahan ini disebut untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan meringankan beban penyelenggara. Bagaimana pendapat Anda?
Terkait alasan beban penyelenggara, MK sebenarnya sudah pernah mempertimbangkan hal itu dalam putusan sebelumnya saat menetapkan Pilkada serentak.
Tapi dalam putusan terbaru ini, kita belum bisa memastikan efektivitasnya karena belum dijalankan. Kita harus menunggu pelaksanaannya dulu.
Beberapa pihak menilai putusan ini inkonstitusional. Bagaimana pandangan Anda?
Ya, ini kembali kepada ketidakkonsistenan MK. Putusan ini menunjukkan bahwa MK kerap melakukan eksperimen dalam bentuk putusan baru. Sejak putusan soal Gibran, MK terkesan mencoba membenahi citra diri.
Padahal, MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. Maka, meskipun ada perdebatan, putusan MK tetap final dan mengikat, dan harus dijalankan.
Putusan ini dianggap bertentangan dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan Pemilu harus serentak. Tapi MK berdalih telah mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 dan 2024. Bagaimana tanggapan Anda?
Ini memang membingungkan. Ketika putusan sebelumnya menyatakan Pemilu harus serentak, lalu tiba-tiba dipisahkan, tentu menimbulkan ketidakpastian hukum.
MK seharusnya konsisten dan membuat aturan yang stabil agar tidak membingungkan penyelenggara dan masyarakat. Evaluasi tidak bisa dijadikan alasan tunggal untuk mengubah konstitusi yang bersifat permanen.
Lalu bagaimana nasib masa jabatan DPRD jika Pemilu daerah dilaksanakan dua tahun setelah Pemilu nasional?
Secara logika konstitusional, masa jabatan DPRD harus diperpanjang. Karena dalam sistem pemerintahan daerah, eksekutif dan legislatif adalah satu kesatuan.
Korwil Astra Group Lampung Nurul Fadil Bicara soal Kampung Berseri Astra |
![]() |
---|
Bincang dengan Kepala BPTD Kelas II Lampung Jonter Sitohang, Menuju Zero ODOL |
![]() |
---|
Hamartoni Ahadis Usung Program Puskesmas Mider di Lampung Utara |
![]() |
---|
Rektor Itera Sebut Panen Padi Bisa 3 Kali Setahun |
![]() |
---|
Perubahan Siklus Tanam Bisa Tingkatkan Produksi Panen Padi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.