Berita Lampung

Ramai soal Pengukuran Lahan PT SGC, Yusuf Kohar: Ada Aturannya

Yusuf Kohar angkat bicara soal permasalahan PT Sugar Group Companies (SGC) yang tengah menjadi perbincangan di tingkat pusat.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
ADA ATURAN - Ketua GPEI Lampung Yusuf Kohar angkat bicara soal permasalahan lahan PT Sugar Group Companies (SGC). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Lampung Yusuf Kohar angkat bicara soal permasalahan PT Sugar Group Companies (SGC) yang tengah menjadi perbincangan di tingkat pusat.

Menurut alumni Lemhanas RI ini, pengukuran ulang lahan HGU, HGB dan SHM dapat dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan dan permintaan yang bersangkutan.

"Jadi tidak bisa lembaga atau DPR RI main ukur-ukur saja. Semua ada aturannya. Toh ya selama ini semua berjalan," kata Yusuf Kohar kepada Tribun Lampung, Rabu (16/7/2025).

Yusuf yang juga aktif di Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI) Lampung ini menyampaikan saat ini ekonomi menuju 8 persen.

"Jangan sampai karena persoalan ini justru terdampak dengan pertumbuhan ekonomi kita dan justru menimbulkan kegaduhan," tuturnya.

"Sah-sah saja diukur, tapi berdasarkan aturan, atau ukur semua HGU dan HGB di Lampung ini," sambungnya.

Bukan Barang Baru

Sebelumnya permasalahan PT SGC diungkap oleh Ketua Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR) Lampung Indra Musta’in dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi II DPR RI bersama Dirjen ATR/BPN serta Kakanwil BPN di Jakarta, dan disiarkan melalui Tv Parlemen, Selasa (15/7/2025).

Dalam kesempatan itu, Indra membuka paparannya dengan menegaskan bahwa persoalan yang melibatkan PT SGC bukan barang baru, baik di DPR RI maupun di lingkungan ATR/BPN.

“Masalahnya PT SGC ini sederhana, masyarakat tidak mau mengambil hak negara, masyarakat berharap haknya tidak diambil oleh negara. Karena negara memberikan hak kepada SGC dengan hak guna usaha (HGU) untuk mengelola lahan perkebunan tebu di Lampung,” ujar Indra.

Namun, lanjut Indra, justru dari HGU inilah berbagai konflik muncul, mulai dari konflik agraria berdarah, tarik-menarik kepentingan politik, hingga soal ketimpangan hukum.

“Ada perbedaan luas lahan bahkan data pemerintah juga tidak sinkron. Data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) 62 hektar HGU yang dikelola PT SGC,” ucapnya.

Perbedaan mencolok juga tampak dalam data resmi dari berbagai institusi.

“Menurut data BPN Tahun 2019, PT SGC mengelola 75,6 ribu hektare. Sementara data ATR BPN Tulangbawang 86 ribu hektare. Lalu, data di website DPR RI, PT SGC miliki 116 ribu hektare. Kemudian, Data BPS 2013 mencatat 141 ribu hektare,” jelasnya.

“Pertanyaannya, angka mana yang mau kita pegang?” tanya Indra.

Tak hanya soal HGU, lanjut Indra, perbedaan data tersebut juga turut berdampak pada ketidakjelasan kewajiban pajak yang harus dibayarkan PT SGC.

Saat ini, SGC tengah disorot akibat tunggakan pajak kendaraan bermotor sebanyak 303 unit, termasuk pajak air permukaan yang baru akan dibayar.

“Bagaimana PT SGC akan membayar PPN dan PPH jika HGU-nya belum jelas, dan bagaimana negara menentukan besaran pajak yang harus dibayarkan SGC?” tanyanya.

Lebih lanjut, Indra menjelaskan bahwa telah banyak pertumpahan darah akibat persoalan lahan dengan SGC.

Dia berharap Komisi II periode ini bisa memberi solusi terbaik untuk masyarakat dan Pemprov Lampung.

“Bupati Tulangbawang Qudratul pun tidak punya data HGU PT SGC. Jadi yang melindungi SGC ini siapa?” ucapnya.

Menurutnya, SGC sudah berpolitik. Bahkan petinggi SGC Purwanti Lee tidak malu berdiri satu panggung saat kampanye.

“Kita tahu 10 tahun ke belakang, Lampung dipimpin oleh pemerintah ‘gula’. Masyarakat mau mengadu ke siapa jika gubernurnya juga disponsori gula,” ungkapnya gamblang.

“Persoalannya kenapa dia harus dilindungi? Ini semua karena sengketa masyarakat dan persoalan pajak. Ini yang harus dibungkus.” katanya lagi.

Ia turut menyinggung fakta lain yang menyeret Lee dalam kasus dugaan politik uang salah satu calon gubernur.

“Akhirnya di kasus Zarof Ricar (Mahkamah Agung) membuktikan bahwa hukum pun bisa dikendalikan,” ucap Indra.

Ia juga menyoroti terbitnya Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 pada masa Gubernur Arinal Djunaidi.

Regulasi ini mengatur tata kelola panen dan produktivitas tanaman tebu di Lampung, sekaligus melegitimasi praktik pembakaran tebu yang selama ini dikeluhkan warga.

“Kebijakan itu mengesahkan pembebasan pembakaran perkebunan tebu. Dari 2020 sudah terjadi pembakaran yang tidak sedikit dengan luas lahan puluhan hektare. Bayangkan saja, kita satu-dua rumah saja dibakar asapnya sampai mana, bagaimana kalau ribuan hektare?” sambungnya.

Beruntung, lanjutnya, Pergub bermasalah tersebut akhirnya dicabut setelah gugatan publik dikabulkan Mahkamah Agung.

“Kami berharap di pemerintahan Presiden Prabowo, kami punya harapan penuh dengan komisi II. Jika ini terus dibiarkan, maka ini menjadi pengkhianatan terhadap rakyat,” lanjutnya.

AKAR Lampung, kata dia, siap mendukung pengukuran ulang HGU PT SGC.

Dukungan serupa juga telah dinyatakan Ketua DPRD Lampung dan Ketua DPRD Tulangbawang.

Adapun RDPU ini turut dihadiri oleh pejabat tinggi ATR/BPN, antara lain Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Dirjen Tata Ruang, serta Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang.

Hadir pula Kakanwil BPN Provinsi Banten dan Lampung, Kepala Kantor Pertanahan Kota Tangerang, Tulangbawang, dan Lampung Utara, serta sejumlah perwakilan korban penggusuran dari Panunggangan Barat (KPLW-Panbar), dan AKAR Lampung.

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved