Wawancara Khusus
UMKM Masih Gratis Pakai QRIS, Eksklusif Bersama KPwBI Lampung Bimo Epyanto
Lampung termasuk daerah yang mencatat kemajuan pesat, dengan capaian indeks ETPD mencapai 97,5 persen pada Triwulan II Tahun 2024.
Penulis: Riyo Pratama | Editor: Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Bandar Lampung – Percepatan digitalisasi transaksi keuangan menjadi arus utama transformasi tata kelola pemerintahan di era modern.
Provinsi Lampung termasuk daerah yang mencatat kemajuan pesat, dengan capaian Indeks Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) mencapai 97,5 persen pada Triwulan II Tahun 2024.
Capaian tersebut bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dalam mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, dan akuntabel.
Transformasi digital ini berdampak nyata terhadap peningkatan layanan publik, pengelolaan keuangan daerah, serta partisipasi masyarakat dalam penggunaan transaksi digital sehari-hari.
Langkah percepatan ini selaras dengan kebijakan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2021 tentang pembentukan Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD).
Pemerintah pusat mendorong seluruh daerah untuk mengimplementasikan sistem digital, baik dalam proses penerimaan maupun belanja keuangan daerah.
Lalu, seperti apa realisasi dan tantangan di lapangan?
Tribun Lampung berkesempatan mewawancarai Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung, Bimo Epyanto, dalam sesi wawancara khusus membahas progres digitalisasi keuangan daerah.
Wawancara ini mengupas secara mendalam bagaimana strategi percepatan digitalisasi dijalankan, tantangan yang dihadapi di lapangan, sinergi antarinstansi dan lembaga perbankan, serta dampaknya terhadap efisiensi belanja daerah dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tak hanya itu, Bimo Epyanto juga memaparkan sejauh mana kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur teknologi informasi di Lampung dalam mendukung keberlanjutan program digitalisasi ini ke depan.
Simak selengkapnya wawancara eksklusif Tribun Lampung dengan Bimo Epyanto berikut ini.
Mengenai Indeks Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) yang mencapai 97,5 persen, bagaimana kita melihat hal ini?
Jawab: Tentu saja itu merupakan capaian yang perlu diapresiasi. Angka ini menjamin bahwa hampir seluruh transaksi keuangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Lampung, sudah dilakukan secara digital. Elektronifikasi ini mencerminkan tiga hal.
Pertama, kondisi infrastruktur teknologi informasi di Provinsi Lampung sudah cukup baik, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, meskipun ada beberapa daerah yang masih tertinggal.
Kedua, capaian ini menunjukkan komitmen kuat dari para pemimpin daerah dalam mendukung percepatan dan perluasan digitalisasi ekonomi dan keuangan.
Ketiga, ini merupakan hasil kolaborasi yang apik antara pemerintah daerah, BI, perbankan, pihak-pihak lain, dan tentunya masyarakat.
Apakah sudah terlihat relevansi antara digitalisasi transaksi keuangan pemerintah dengan peningkatan realisasi PAD?
Jawab: Ya, ada hubungan positif antara indeks ETPD yang tinggi dengan peningkatan PAD. Digitalisasi melalui berbagai aplikasi menciptakan transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah daerah dapat mengumpulkan PAD dari berbagai sumber seperti pajak kendaraan bermotor, retribusi pasar, dan lainnya secara lebih efisien, sekaligus menekan kebocoran.
Dari data yang kami miliki, rata-rata penerimaan digitalisasi di Pulau Sumatera meningkat sekitar 10 persen dibanding tahun lalu.
Apa saja capaian dan tantangan dalam realisasi ETPD?
Jawab: Potensi masih besar. Banyak objek pajak dan retribusi yang belum digali optimal. Hampir seluruh kabupaten/kota di Lampung sudah menerapkan elektronifikasi retribusi, meskipun ada satu daerah yang masih berada di kategori "maju" karena sistemnya belum sepenuhnya digital.
Tantangan utamanya ada pada akses teknologi, khususnya di wilayah pesisir dan pedalaman. Selain itu, budaya masyarakat juga perlu disesuaikan. Tak sedikit pelaku usaha belum sepenuhnya beradaptasi. Kami terus mendorong edukasi, namun belum maksimal karena kolaborasi dengan pemangku kepentingan belum optimal.
Apa langkah yang sudah dilakukan sejak Keppres Nomor 3 Tahun 2021 terbit?
Jawab: Langkah pertama adalah penguatan kelembagaan melalui pembentukan TP2DD di masing-masing daerah. Mereka bertugas menyusun roadmap dan strategi digitalisasi.
Lalu, kami dorong penerapan sistem digital serta edukasi dan sosialisasi, tidak hanya kepada masyarakat umum, tapi juga ASN.
ASN punya peran penting dalam mendorong peningkatan PAD. Tapi dukungan dari perbankan dan penyedia jasa sistem pembayaran juga sangat penting.
Bagaimana perbandingan transaksi cashless dan tradisional di Lampung?
Jawab: Jika melihat data, dari 16 daerah Provinisi dan kabupaten/kota, 15 di antaranya sudah menerapkan digitalisasi.
Kota Metro dan Bandar Lampung adalah dua wilayah yang dominan dengan transaksi non-tunai. Sementara daerah seperti Pesisir Barat, Lampung Barat, dan Tulangbawang masih tinggi transaksi tunainya.
Namun, ini bukan hal buruk. Transaksi tunai tidak akan sepenuhnya hilang. Tapi, akan lebih baik proporsi transaksi digital semakin besar.
Jenis transaksi digital apa yang paling diminati masyarakat?
Jawab: Berkaitan dengan jenis aktivitas. Untuk transfer uang atau pembayaran jumlah besar, masyarakat cenderung menggunakan mobile banking, karena dianggap lebih nyaman dan aman.
Sedangkan untuk transaksi ritel, QRIS lebih banyak digunakan, karena praktis.
Apakah penggunaan QRIS mengurangi penggunaan kartu?
Jawab: Iya, dalam banyak kasus. Penggunaan kartu tergantung nilai transaksi. Transaksi kecil lebih nyaman menggunakan QRIS. Tapi kembali lagi, semuanya tergantung preferensi pengguna.
Berapa jumlah pengguna QRIS di Lampung?
Jawab: Hingga Juni 2025, pengguna QRIS di Lampung mencapai hampir 1,4 juta orang. Jumlah merchant yang menggunakan QRIS sudah lebih dari 695.000 unit usaha.
Lampung menjadi provinsi dengan merchant QRIS terbanyak di Sumatera. Biasanya merchant UMKM yang mendominasi. Volume transaksinya juga naik lebih dari 168 persen dibanding tahun sebelumnya.
Terkait maraknya penipuan menggunakan QRIS, apa yang harus dilakukan masyarakat?
Jawab: Kami bekerja sama dengan perbankan dan penyedia jasa lain untuk mengedukasi masyarakat dan pelaku usaha tentang keamanan dan kenyamanan bertransaksi digital. Khususnya non-tunai, karena rawan tindak kejahatan seperti scamming.
Bagaimana dengan fenomena tarif tambahan bagi pengguna QRIS?
Jawab: Biaya tambahan tidak diperbolehkan kepada konsumen. Untuk pelaku usaha pun sebenarnya hanya 0,7 persen per transaksi, dan bagi UMKM, biaya ini saat ini ditiadakan sebagai bentuk stimulus sejak pandemi Covid-19.
Kemudian, pedagang tidak perlu lagi menyediakan uang kembalian, risiko uang palsu berkurang, dan semua transaksi tercatat otomatis. Uang juga tidak menganggur di laci. Biaya 0,7 persen jauh lebih kecil dibanding risiko atau kerugian karena uang tidak diputar.
Apakah sulit membuat QRIS untuk pelaku UMKM?
Jawab: Sama sekali tidak sulit. Cukup hubungi bank tempat mereka memiliki rekening usaha, ajukan permohonan, dan jika dokumen lengkap, prosesnya hanya butuh dua hari kerja, sampai dapat logo QRIS.
Apakah ada upaya jemput bola dari bank?
Jawab: Ya, terutama saat awal peluncuran QRIS, perbankan sangat aktif jemput bola. Saat ini pun masih terus didorong agar mereka lebih proaktif. Kami menargetkan peningkatan jumlah pengguna dan merchant QRIS, termasuk memperluas kanal pembayaran non-tunai ke daerah-daerah yang belum tersentuh.
Bagaimana target digitalisasi keuangan Lampung ke depan?
Jawab:
Kami terus berupaya meningkatkan, tidak hanya pengguna QRIS, tetapi tentu saja perluasan dan percepatan digitalisasi daerah. Saat ini fokusnya memang di QRIS dulu, karena masih menjadi tulang punggung, istilahnya. Kami mendorong akseptasi pembayaran digital, dari sisi pengguna QRIS, masyarakat dan merchant. Tetapi yang tidak kalah penting juga yakni ETPD, karena potensinya belum 100 persen.
Kemudian juga masalah edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Target kami, internal, itu angkanya ada di minimal 85 persen tercapai, untuk literasi digital ini. Tanda adanya literasi digital masyarakat, akan berat untuk mewujudkan target digitalisasi keuangan ini. Karena ini juga berkaitan dengan budaya dan perilaku masyarakat.
Harapannya di Tahun 2026 bisa tercapai (85 persen literasi digital masyarakat). Tetapi kan ini banyak faktornya yang memengaruhi, namun kami optimistis. Tentu juga ini didukung dengan data yang ada, sehingga kami bisa menganalisis dan memperbaiki strategi ke depan.
( TRIBUNLAMPUNG.CO.ID / RIYO PRATAMA )
Putar Musik Wajib Bayar? Eksklusif Bersama Yanvaldi Yanuar |
![]() |
---|
Novriwan Jaya Bicara soal Bolo Ngarit untuk Majukan Peternakan di Tulangbawang Barat |
![]() |
---|
Jody Saputra Ingin Mesuji Punya Brand Beras Sendiri |
![]() |
---|
Makanan Bergizi Tak Harus Mahal, Eksklusif Bersama Wakil Ketua DPD PCPI Lampung |
![]() |
---|
Bincang dengan Ketum dan Sekum Kormi Lampung, Olahraga Jangan Dibatasi Usia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.