Tribun Bandar Lampung

Buntut Pemilihan Raya BEM UIN Raden Intan: Mahasiswa Saling Lempar Kursi, 10 Orang Luka-luka

Editor: Yoso Muliawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa mahasiswa masuk ke dalam Gedung Rektorat UIN Raden Intan Lampung untuk menyampaikan aspirasi terkait hasil Pemilihan Raya, Rabu, 28 November 2018.

LAPORAN REPORTER TRIBUN LAMPUNG BAYU SAPUTRA DAN EKA AHMAD SHOLICHIN

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Kericuhan terjadi di kampus Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Rabu (28/11/2018) pagi. Ini buntut dari Pemilihan Raya (Pemira) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Peristiwa berawal dari puluhan mahasiswa yang berkumpul di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, tepatnya di sekitar Tempat Pemungutan Suara Pemira. Dalam pemira tersebut, mahasiswa mencoblos sebanyak lima kali.

Pertama, mencoblos calon presiden dan wakil presiden mahasiswa BEM universitas. Kedua, calon gubernur dan wakil gubernur mahasiswa BEM fakultas. Ketiga, calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) tingkat jurusan. Keempat, calon Senat Mahasiswa universitas. Dan terakhir, calon Senat Mahasiswa fakultas.

Di dekat TPS Pemira di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan itu, puluhan mahasiswa menyatakan penolakan hasil Pemira BEM UIN Raden Intan. Mereka bahkan menuntut pemira ulang.

Di lain pihak, ada kubu mahasiswa yang tidak sependapat dengan aspirasi tersebut. Sempat terjadi saling sindir hingga memuncak menjadi baku hantam di antara kedua kubu sekitar pukul 10.30 WIB.

Dalam peristiwa itu, kedua kubu saling lempar kursi. Satu unit kemudian tenda roboh.

Aparat keamanan kampus pun berupaya melerai. Tak kurang 10 mahasiswa dari kedua belah pihak mengalami luka-luka akibat kericuhan ini.

Belum puas menyuarakan tuntutan di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, massa salah satu kubu melakukan unjuk rasa di depan Gedung Rektorat. Jumlah massa pun bertambah dari puluhan menjadi ratusan orang.

Sebagian mahasiswa di antaranya masuk ke dalam gedung. Sementara di luar gedung, beberapa mahasiswa membakar ban.

Calon Presiden Mahasiswa Imam Setia Hagi menilai, proses demokrasi kampus UIN telah tercederai. Ia berharap pemira berjalan lancar tanpa hal negatif.

"Ini kan miniatur demokrasi, harusnya yang baik, bukan sebaliknya. Karena harapannya nanti, demokrasi yang baik ini kami aplikasikan ke dunia nyata," kata capres dari Fakultas Ushuluddin itu melalui ponsel.

Calon Wakil Presiden Mahasiswa dari kubu lainnya, M Ali Marza Dinata, menyatakan, proses dan tahapan pemira telah tertuang dalam peraturan. Selain itu, ada perangkat pemilihan seperti halnya pemilu, mulai dari komisi pemilihan dan panitia pengawas.

"Kami berharap ada keadilan dari pihak panwas pemira universitas," ujar Ali melalui ponsel.

Rektorat Mediasi

Terkait peristiwa mahasiswa UIN Raden Intan bentrok ini, pihak Rektorat UIN berupaya memediasi dua kubu mahasiswa yang berseberangan. Rektorat pun meminta penghentian sementara aktivitas pemira.

"Untuk sementara, rektorat meminta pemira dihentikan dulu. Rektorat melalui Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan akan memanggil pihak panitia untuk dimintai kronologinya," kata Kepala Subbagian Hubungan Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Hayatul Islam.

Hayatul membenarkan ada sejumlah mahasiswa yang terluka akibat kericuhan.

"Sudah diproses secara hukum," imbuhnya.

Dugaan Penggelembungan Suara

Dalam Pemira BEM UIN Raden Intan tersebut, mencuat dugaan penggelembungan suara. Mirhasan, anggota tim pemenangan salah satu capres-cawapres mahasiswa, mengungkapkan, penggelembungan suara diduga dilakukan dengan cara memanipulasi slip pembayaran sebagai syarat mencoblos.

"Seharusnya, mahasiswa menyertakan slip pembayaran sekali saja untuk mencoblos. Bukannya berulang kali. Malah ada yang ambil slip mahasiswa lainnya untuk mencoblos lagi," bebernya saat diwawancarai awak media di depan Gedung Rektorat UIN Raden Intan.

Kedepankan Akal, Jangan Emosional

Kericuhan antarmahasiswa terkait pemilihan pemimpin lembaga kemahasiswaan di UIN Raden Intan, menurut Karwono dari Dewan Pendidikan Lampung, telah mencoreng dunia pendidikan di Lampung.

Ia menjelaskan, demokrasi pada prinsipnya hanyalah alat, bukan tujuan.

"Sebenarnya, apa yang ingin mereka capai dari pelaksanaan pemilihan tersebut? Ini menjadi problem. Ketika ingin mencapai suatu kebenaran, maka sepatutnya menggunakan langkah-langkah yang benar," katanya.

Karwono menilai, kampus sebenarnya bukan tempat ajang politik praktis.

"Boleh saja belajar teori politik dan menerapkannya di kampus. Namun, jika sudah berpolitik praktis, seyogianya bukan di kampus," ujarnya. "Sama halnya dengan belajar teori sepak bola di kelas, tetapi tempat untuk bermain sepak bola bukanlah di kelas."

Pihaknya mengimbau mahasiswa berpikir secara rasional tanpa mengedepankan emosional.

"Jika menonjolkan emosional, bukan akal, maka akan sulit menerima suatu kebenaran. Walaupun ada perbedaan, mahasiswa sepatutnya mengambil langkah-langkah yang baik untuk untuk mencapai kata sepakat. Bukannya melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu," sesalnya.

"Lingkungan kampus seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat. Bahwa, tatanan kehidupan yang ilmiah itu tercapai melalui suatu proses dan tahapan-tahapan yang baik," imbuh Karwono.

Berita Terkini