"Biasanya pandemi yang sudah-sudah (Influenza, Cholera, Black Death) itu redanya sekitar tiga tahunan. Jadi sudah pasang badan gak travelling dulu tiga tahun ini," ujar perempuan pemilik rambut bergelombang itu.
Mengisi momen Lebaran mendatang, sambungnya, biasanya dengan melakukan salat Idul Fitri di kampus atau masjid.
"Selesai salat makan siang bareng dengan mahasiswa dan penduduk dari beberapa kota yang dekat," kata alumni S1 Sosiologi Unila ini.
Rilda mengatakan, kebetulan penduduk Indonesia di Lancaster yang muslim hanya keluarganya saja.
"Jadi kami kumpul sama komunitas lintas negara. Muslim Inggris, Filipina, Pakistan, Mesir, negara-negara Afrika, dan lainnya" jelasnya.
Sering juga ia dan keluarga melakukan kunjungan balasan ke komunitas muslim di Kendal.
"Lalu makan malam bersama di masjid," ujar Rilda.
Namun begitu suasana Lebaran di luar negeri dengan di Lampung menurutnya tetap beda.
"Lebarannya nggak seramai di Lampung dan jauh dari keluarga. Tapi lumayan terhibur karena sekarang ada Zoom," imbuh dia.
Mengenai masakan yang paling dirindukannya di Lampung diantaranya adalah pempek hingga nasi padang.
"Kalau bicara Lampung, buanyaaak bangeet yang saya kangenin dari makanannya. Terutama pempek, tekwan, segubal, hingga nasi Padang," urainya.
Ketika tidak bisa pulang kampung, dirinya mengobati kerinduan dengan masak sendiri.
"Buat ketupatnya dari beras boil-in-the-bag, dimasak pakai pressure cooker," kata penulis buku Seekor Capung Merah itu.
Lalu dipadukan dengan rendang, opor ayam dan sayur ketupat.
Mengenai harapannya di Ramadan ini, dia ingin semua diberi kesehatan dan kekuatan menghadapi banyak kesulitan yang ada.
Seperti pandemi dan perang, juga naiknya harga-harga barang.
(Tribunlampung.co.id/sulis setia m)