Tribunlampung.co.id, Pringsewu - Kekerasan terhadap anak rentan terjadi pada keluarga broken home.
Hal tersebut dikatakan Avi Risdyanti, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) (DP3AP2KB) Pemkab Pringsewu Lampung pada Tribun Lampung, Rabu (15/3/2023).
Avi menjelaskan keluarga broken home merupakan salah satu faktor dalam lingkungan keluarga yang memiliki risiko tinggi terhadap kekerasan anak.
Sebab, bilamana pola asuh tidak dilakukan oleh orangtua langsung secara lengkap, dikhawatirkan akan berdampak pada pola pengasuhan yang salah.
Dipaparkan oleh Avi, dalam satu contoh, pola asuh semestinya dilakukan oleh kasih sayang baik dari seorang ayah maupun ibu.
Sehingga, dari lengkapnya pola asuh dan peran kedua orangtua kepada anak berdampak dengan psikologi anak.
Selain dari kategori broken home, Avi menyebut contoh adalah bila dari keluarga, misal ibu menjadi TKW dan anak diasuh oleh ayah.
“Dan memang itu bukan seperti keluarga yang broken home, akan tetapi itu pun pengawasannya juga tidak lengkap, dan menciptakan terjadinya potensi,” ungkap Avi.
Baca juga: Wali Kota Eva Dwiana Diskusi Pencegahan Kekerasan Anak dan Perempuan dengan Menteri PPPA
Baca juga: Kemenag Pesisir Barat Lampung Evaluasi Seluruh Ponpes dan Madrasah Cegah Kekerasan Anak
Bahkan, kehilangan figur salah satu peran orangtua terhadap anak pun menjadi pemicu anak menjadi rentan kehilangan semangat hidup.
Seperti adanya anak tanpa peran orangtua yang mengalami putus sekolah pada usia dini.
“Putus orangtua karena tidak ada motivasi untuk belajar dari keluarga yang berisiko tersebut,” papar Avi.
Dari potensi dan faktor penyebab kekerasan terhadap anak di Pringsewu tersebut, pihaknya nanti akan memetakan keluarga-keluarga berisiko yang berpotensi terjadi kekerasan.
Memetakan keluarga berisiko tersebut merupakan program dari PPA Pringsewu sebagai tindakan pencegahan kekerasan pada anak.
“Kendati demikian, memang tidak sepenuhnya keluarga berisiko menjadi penyebab terjadinya kekerasan anak,” kata Avi.
Namun, ada lagi faktor yang lainnya, seperti stigma keluarga.