Polemik Harga Singkong di Lampung

Banyak Pabrik Singkong di Lampung Tak Patuh Instruksi Gubernur, DPRD: Harus Ditindak!

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TINDAK PABRIK NAKAL: Petani saat sedang memanen singkong di Kota Baru, Jati Agung, Lampung Selatan, Kamis (30/1/2025). DPRD Lampung meminta kepada Pemprov Lampung untuk menindak pabrik pengolahan singkong yang tidak mematuhi instruksi Gubernur Lampung terkait rafaksi. Fakta di lapangan, masih banyak pabrik pengolahan singkong yang tidak mematuhi instruksi Gubernur Lampung terkait rafaksi.

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Bandar Lampung – DPRD Lampung meminta kepada Pemerintah Provinsi Lampung untuk menindak pabrik pengolahan singkong yang tidak mematuhi instruksi Gubernur Lampung terkait batas maksimal potongan atau rafaksi.

Diketahui, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal telah menetapkan harga dasar singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan atau rafaksi maksimal 30 persen, tanpa mempertimbangkan kadar pati (aci).

Kebijakan tersebut diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap petani dan respons atas gejolak harga yang merugikan produsen lokal.

Namun faktanya, di lapangan masih ada pabrik pengolahan singkong yang abai atas penetapan tersebut.

Hal itu disampaikan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tataniaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas.

Menurut Mikdar, masih banyak pabrik pengolahan singkong yang tidak mematuhi instruksi Gubernur Lampung terkait rafaksi.

Dalam sejumlah inspeksi yang dilakukan, kata Mikdar, pansus menemukan praktik rafaksi di lapangan masih mencapai angka 40 persen bahkan lebih.

Angka ini jauh di atas batas maksimal 30 persen yang telah disepakati sejumlah pabrik bersama Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal. 

“Kami temukan di lapangan, dan berdasarkan laporan dari para petani, masih banyak pabrik yang tidak mengindahkan instruksi dan kesepakatan bersama gubernur soal harga singkong Rp1.350 per kg dengan potongan refaksi maksimal 30 persen,” kata Mikdar, pada Senin (9/6/2025). 

Menurutnya, saat menjual singkong, petani masih dipotong sampai 40 persen dan menerima harga di bawah ketentuan.

“Ini jelas sangat memberatkan mereka,” ujar Mikdar. 

Persoalan lain, lanjut Mikdar, adalah ketidaksesuaian data antara laporan pabrik kepada pemerintah pusat dan kondisi riil di lapangan. 

"Informasi yang kami terima menunjukkan data singkong yang dibeli pabrik tidak riil. Hal ini menjadi celah bagi pemerintah pusat untuk membuka keran impor singkong."

"Akibatnya, harga singkong lokal menjadi murah dan kalah bersaing dengan singkong impor," ungkap politisi Gerindra tersebut. 

Menurut Mikdar, kondisi ini sangat merugikan petani singkong yang selama ini sudah berada dalam tekanan akibat harga yang rendah dan potongan yang tinggi. 

Ia menilai perlu ada langkah konkret dari pemerintah pusat untuk memastikan data dan kondisi petani di lapangan benar-benar terpantau dengan baik. 

“Kami minta pemerintah pusat segera turun langsung ke Lampung. Lihat bagaimana sulitnya petani bertahan dan lakukan pendataan ulang terhadap laporan dari industri,” tegasnya. 

Dia juga menegaskan, sebagaimana kesepakatan bersama gubernur, bakal ada sanksi bagi industri yang melanggar kesepakatan. 

"Hal ini akan kami sampaikan ke Pemerintah Provinsi, sesuai visi-misi pemerintah untuk mensejahterakan petani," ucapnya. 

Pansus Tataniaga Singkong DPRD Lampung dibentuk sebagai respons atas berbagai keluhan petani terkait ketimpangan dalam tata niaga singkong. 

Mikdar menegaskan pihaknya akan terus mengawal isu ini dan mendesak adanya sanksi tegas terhadap pabrik-pabrik yang tidak mematuhi kebijakan pemerintah. 

“Kalau ada pabrik yang langgar instruksi, harus ada tindakan. Jangan biarkan petani terus yang jadi korban,” pungkasnya. 

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Berita Terkini